Saturday 30 August 2014

Teori Belajar Ausubel


A.   Pengertian Belajar Menurut Ausubel
Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupaun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep-konsep atau lain-lain) yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkan pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan. Kedua dimensi ,yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu continuum. Ausubel menyatakan, bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuan. Maka, belajar penerimaan pun dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Sedangkan belajar penemuan rendah kebermaknaannya, dan merupakan belajar hafalan, yakni memecahkan suatu masalah hanya dengan coba-coba seperti menebak suatu teka-teki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang bersifat ilmiah.
B.     Prinsip dan Karakteristik belajar Menurut Ausubel
1.      Belajar Bermakna
Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna (Ausubel, 1996). Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori atau disimpannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Banyak sel otak yang terlibat dalam penyimpanan pengetahuan itu. Dengan berlangsungnya belajar, dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari.
Dasar-dasar biologi belajar bermakna menyangkut perubahan-perubahan dalam jumlah atau cirri-ciri neron yang berpartisipasi dalam belajar bermakna. Peristiwa psikologi tentang belajar bermakna menyangkut asimilasi informasi baru pada pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Jadi, dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsume-subsumer relevan yang telah ada dalam struktur kognitif. Belajar bermakna yang baru berakibatkan perubahan dan modifikasi subsume-subsumer yang telah ada itu. Tergantung pada sejarah pengalaman seseorang, maka subsumer itu dapat relatif besar dan berkembang.
2.      Belajar Hafalan
Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau subsumer-subsumer relevan, maka informasi baru dipelajari secara hafalan. Bila tidak dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan. Pada kenyataannya, banyak guru dan bahan-bahan pelajaran jarang sekali menolong para siswa untuk menentukan dan menggunakan konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif mereka untuk mengasimilasikan pengetahuan baru, dan akibatnya pada para siswa hanya terjadi hafalan. Lagi pula sistem evaluasi di sekolah menghendaki hafalan, jadi timbul pikiran pada para siswa untuk apa bersusah payah belajar secara bermakna. 
Kerap kali siswa-siswa diminta untuk mengemukakan prinsip-prinsip yang sebenarnya tidak mereka mengerti apa yang mereka katakana. Suatu contoh pada, bahwa memang belajar hafalan yang terjadi pada anak-anak diberikan dalam buku Wiliam James yang berjudul Talks to Teachers.
C.    Langkah-langkah Pembelajaran
Sebelum dimulainya suatu proses belajar, maka penting untuk memperhatikan apa-apa saja yang telah diketahui siswa, sebab ini merupakan faktor dalam mempengaruhi keberhasilan belajar. Untuk itu perlu dibuat langkah-langkah pembelajaran agar tidak terjadi kerancuan dalam kegiatan belajar. Berikut merupakan langkah-langkah pembelajaran menurut teori Ausubel:
  1. Menentukan tujuan pembelajaran.
  2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awwal, motivasi, gaya belajar, dan sebagainya)Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti. 
  3. Menentukan topik-topik dan menampilkanya dalam bentuk advance organizer yang akan dipelajari siswa.
  4. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.
  5. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
D.    Kegiatan Pembelajaran
Hakikat belajar merupakan suatu aktivitas yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi, perceptual, dan proses internal. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Berikut merupakan bentuk kegiatan kegiatan pembelajaran.
  1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melaui tahap-tahap tertentu.
  2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
  3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
  4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si pelajar.
  5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dan sederhana ke kompleks.
  6. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
  7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
E.     Faktor - faktor yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (1963), ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demiklian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif  itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul, dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya, jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.Prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut:
  1. Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial.
  2. Anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna
Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Banyak siswa mengikuti pelejarn – pelajaran yang kelihatannya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pelajaran – pelajaran demikian materi pelajaran dipelajari secara hafalan.para siswa kelihatannya dapat memberikan jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek – aspek lain dalam struktur kognitif mereka.Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada dua faktor:
  1. Materi itu harus memiliki kebermaknaan logis
  2. Gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.
Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang nonarbitrer ( materi yang konsisten dengan apa yang telah diketahui) dan substantif ( materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara tanpa mengubah arti ). Contoh dari nonarbitrer anak yang sudah mempelajari konsep – konsep segi empat dan bujur sangkar dapat memasukkan kedua konsep ini secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi yang lebih luas, yaitu kuadrilateral ( persegi empat) , sebab sifat – sifat dari bentuk–bentuk bersegi empat akan cocok dengan konsep – konsep segi empat dan bujur sangkar yang sudah dipelajari. Selanjutnya contoh yang substantif suatu segi tiga ekilateral adalah segitiga yang mempunyai tiga sisi yang sama dapat diubah menjadi “ bila sebuah segitiga mempunyai semua sisi sama maka segitiga itu adalah segi tiga ekilateral”. Dengan mengubah urutan kata – kata, kita tidak mengubah artinya; pernyataan itu ekivalen.Aspek kedua tentang kebermaknaan potensial adalah bahwa dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan yang relevan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan pengalaman anak – anak, tingkat perkembangan mereka, intelegensi mereka, dan usia.isi pelajaran harus dipelajari secara hafalan, bila anak – anak itu tidak mempunyai pengalaman yang diperlukan mereka untuk mengatkan atau menghubungkan isi pelajaran itu.Oleh karena itu, agar terjadi belajar bermakna materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memasukkan materi itu kedalam struktur kognitifnya, dan dalam struktur kognitif anak harus terdapat unsure – unsure yang cocok untuk mengaitkan atau menghubungkan materi baru secara nonarbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada maka materi itu walaupun dipelajari akan dipelajari secara hafalan.
F.     Kelebihan dari belajar menurut teori Ausubel
Proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimiliknya dengan pengetahuan baru. Proses belajar aka terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Menurut Ausubel dan juga Novak (1997), ada tiga kebaikan dari belajar bermakna,yaitu:
  1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
  2. Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual pada subsume, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi “lupa”.

Friday 23 May 2014

Teori Belajar Van Hiele

A. Konsep Dasar Teori Belajar Van Hiel
Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van Hiele (dalam Ismail, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan.  
1. Tahap Pengenalan 
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, anak dapat memilih dan menunjukkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga bila kita ajukan pertanyaan seperti "apakah pada sebuah persegipanjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?", "apakah pada suatu persegipanjang kedua diagonalnya sama panjang?". Untuk hal ini, siswa tidak akan bisa menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter anak pada tahap pengenalan, jangan sampai, anak diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri tersebut, karena anak akan menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian. 
2. Tahap Analisis 
Bila pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, tidak demikian pada tahap Analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri, seperti pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok? maka anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan tersebut karena anak pada tahap ini belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Anak pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. 
3. Tahap Pengurutan 
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya, siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Karena masih pada tahap awal siswa masih belum mampu memberikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus. 
4. Tahap Deduksi 
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360o secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360o belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.” 
5. Tahap Keakuratan 
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang sampai pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMA.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut:
Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah jajargenjang adalah 360o, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah sudut-sudutnya adalah 360°. Contoh yang lain, seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah balok, belah ketupat itu layang-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebut tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.

B. Vase-Vase Pembelajaran geometri
Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingkat-tingkat pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut tingkat-tingkat sebagai berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat sophisticated dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti. Teori ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Belajar adalah suatu proses yang diskontinu, yaitu ada loncatan-loncatan dalam kurva belajar yang
    menyatakan adanya tingkat-tingkat pemikiran yang diskrit dan berbeda secara kualitatif.
2. Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa dapat berperan dengan baik pada suatu
    tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, ia harus menguasai sebagian besar dari tingkat yang
    lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung
    dari pembelajaran daripada umur atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi
    materi pelajaran ke tingkat yang lebih rendah, dapat membimbing untuk mengingat-ingat hafalan,
    tetapi seorang siswa tidak dapat mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan berhasil mencapai
    pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting dari tingkat manapun. Untuk mencapai
    pengertian dibutuhkan kegiatan tertentu dari fase-fase pembelajaran.
3. Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami secara eksplisit
    pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik dari sesuatu yang intrinsik
    pada tingkat sebelumnya. Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga tertentu oleh sifat-
    sifatnya, tetapi seseorang yang berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu akan
    sifat-sifat itu.
4. Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol linguistiknya sendiri dan sistem
    relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu relasi yang benar pada suatu
    tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain. Misalnya pemikiran tentang persegi dan
    persegi panjang. Dua orang yang berpikir pada tingkat yang berlainan tidak dapat saling mengerti,
    dan yang satu tidak dapat mengikuti yang lain. (Van Hiele, 1959/1985/p:246). Struktur bahasa
    adalah suatu faktor yang kritis dalam perpindahan tingkat-tingkat ini. (Clements, 1992).

Model Van Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran geometrik. Menurut Van Hiele (dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingat yang satu ke tingkat berikutnya tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada akibat pembelajarannya. Guru memegang peran penting dan istimewa untuk memperlancar kemajuan, terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan. Walaupun demikian, teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi tentang belajar mengajar. Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung menurut pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula, anak-anak sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa bantuan guru. Oleh karena itu, maka ditetapkan fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu.
Fase-fase pembelajaran tersebut adalah:

1). Fase informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Dalam hal ini objek yang dipelajari adalah sifat komponen dan hubungan antar komponen bangun-bangun segi empat. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah: (1) guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki siswa tentang topik yang dibahas. (2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.

2). Fase orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat atau pun bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan respon khusus.

3). Fase eksplisitasi
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan sesedikit mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir mulai tampak nyata.

4). Fase orientasi bebas
Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa tugas yang memerlukan banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang open-ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi jelas.

5). Fase integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu siswa dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap apa yang telah dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang baru. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya. Setelah selesai fase kelima ini, maka tingkat pemikiran yang baru tentang topik itu dapat tercapai. Pada umumnya, hasil penelitian di Amerika Serikat dan negara lainnya menetapkan bahwa tingkat-tingkat dari Van Hiele berguna untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai Perguruan Tinggi.

C. Implementasi Teori Belajar Van Hiele dalam Pembelajaran Geometri

Pada sub unit ini Anda akan mempelajari suatu kegiatan belajar-mengajar yang mengacu pada fase-fase pembelajaran model Van Hiele. Kegiatan belajar di sini dimaksudkan untuk meningkatkan tahap berpikir siswa dari 0 (visualisasi) ke tahap 1 (analitik).
Ciri-ciri dari tahap visualisasi adalah sebagai berikut: Siswa mengidentifikasi, memberi nama, membandingkan, dan mengoperasikan gambar-gambar geometri seperti: segitiga, sudut, dan perpotongan garis berdasarkan penampakannya.
Sedangkan ciri-ciri tahap analitik adalah: Siswa menganalisis bangun berdasarkan sifat-sifat dari komponen dan hubungan antar komponen, menyusun sifat-sifat pada sebuah kelas bangun-bangun secara nyata, dan menggunakan sifat-sifat tersebut untuk memecahkan persoalan.
Teori-teori yang dikemukakan oleh Van Hiele memang lebih sempit dibandingkan teori-teori yang dikemukakan Piaget dan Dienes, karena ia hanya mengkhususkan pada pembelajaran geometri saja. Meskipun demikian sumbangan tidak sedikit dalam pembelajaran geometri. Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang dikemukakan. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dikemukakan Van Hiele. Guru dapat mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami bahwa kubus itu merupakan balok karena anak tersebut tahap berpikirnya masih berada pada tahap analisis ke bawah, anak belum masuk pada tahap pengurutan.
Supaya anak dapat memahami geometri dengan pengertian, pembelajaran geometri harus disesuaikan dengan tahap berpikir anak. Jadi, jangan sekali-kali memberi pembelajaran materi yang sebenarnya berada di atas tahap berpikirnya. Selain itu, hindarilah siswa untuk menyesuaikan dirinya dengan tahap pembelajaran guru tetapi yang terjadi harus sebaliknya.
Agar topik-topik pada materi geometri dapat dipahami dengan baik, anak dapat mempelajari topik-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukarannya dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks.
Mari kita perhatikan model pemahaman segi empat menurut Van Hiele


a).    Persegi 
    • Keempat sisinya sama panjang
    • Keempat sudutnya sama besar 


     b).    Persegi panjang 
    • Sisi yang berhadapan sama panjang.
    • Keempat sudutnya sama besar. 

    c).    Belah ketupat
    • Keempat sisinya sama panjang.
    • Sudut yang berhadapan sama besar.



    d).    Jajar genjang
    • Sisi yang berhadapan sama panjang. 
    • Sudut yang berhadapan sama besar.


     e).    Trapesium
    • Satu pasang sisi yang berhadapan sejajar.



    f).     Layang-layang
    • Dua pasang sisi yang tidak berhadapan sama panjang. 
    • Satu pasang sudut yang berhadapan sama besar.




    Adapun pembelajaran yang dilaksanakan pada setiap fase pembelajaran adalah sebagai berikut: 
    1. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 1 (Informasi) 
    • Dengan memakai gambar bermacam-macam bangun segiempat, siswa diinstruksikan untuk memberi nama masing-masing bangun. 
    • Guru mengenalkan kosa kata khusus, seperti: simetri lipat, simetri putar, sisi berhadapan, sudut berhadapan, dan sisi sejajar. 
    • Dengan metode tanya jawab, guru menggali kemampuan awal siswa.
     2. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 2 (Orientasiasi)
    • Siswa disuruh membuat suatu model bangun segiempat dari kertas.
    • Dengan menggunakan model bangun tersebut serta kertas berpetak siku-siku, siswa diinstruksikan untuk menyelidiki:
      * Banyaknya sisi berhadapan yang sejajar

      * Sudut suatu bangun siku-siku atau tidak
       
    • Dengan menggunakan suatu model bangun, siswa diminta untuk melipat model bangun tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan sumbu simetri. Selanjutnya siswa diinstruksikan untuk menyelidiki banyaknya sumbu simetri yang dimiliki oleh suatu bangun. 
    • Melipat model tersebut pada diagonalnya, kemudian menempatkan yang satu di atas yang lain. Siswa diminta untuk menyelidiki banyaknya pasangan sudut berhadapan yang besarnya sama. 
    • Memotong pojok yang berdekatan, kemudian menempatkan salah satu sisi potongan pertama berimpit dengan salah satu sisi potongan yang kedua. Siswa diminta untuk menyelidiki apakah sudut yang berdekatan membentuk sudut lurus. 
    • Memotong semua pojoknya dan menempatkan potongan-potongan tersebut sedemikian sehingga menutup bidang rata. Selenjutnya siswa diminta untuk menyelidiki apakah keempat sudut itu membentuk sudut putaran.
      * Siswa diinstruksikan untuk mengukur panjang sisi-sisi suatu segiempat, apakah ada sisi
         yang sama panjang?
      * Siswa diinstruksikan untuk mengukur diagonal suatu segi empat, apakah diagonalnya sama
         panjang?
    3. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 3 (Penjelasan) 
    Siswa diberi bemacam-macam potongan segiempat. Mereka diminta untuk mengelompokkan segiempat berdasarkan sifat-sifat tertentu, seperti: 
    • a) segiempat yang mempunyai sisi sejajar 
    • segiempat yang mempunyai sudut-sudut siku-siku 
    • segiempat yang mempunyai sisi-sisi sama panjang 
    4. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 4 (Orientasi Bebas) 
    Dengan menggunakan potongan segitiga, siswa diminta untuk membentuk segiempat, dan menyebutkan nama segiempat yang telah terbentuk. 
    5. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 5 (Integrasi) 
    Siswa dibimbing untuk menyimpulkan sifat-sifat segiempat tertentu, seperti:
    • sifat persegi adalah: .... 
    • sifat persegipanjang adalah .... 
    • sifat belahketupat adalah .... 
    • sifat jajargenjang adalah .... 
    • sifat layang-layang adalah ....
    • sifat trapesium adalah ....