Friday 23 May 2014

Teori Belajar Van Hiele

A. Konsep Dasar Teori Belajar Van Hiel
Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van Hiele (dalam Ismail, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan.  
1. Tahap Pengenalan 
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, anak dapat memilih dan menunjukkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga bila kita ajukan pertanyaan seperti "apakah pada sebuah persegipanjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?", "apakah pada suatu persegipanjang kedua diagonalnya sama panjang?". Untuk hal ini, siswa tidak akan bisa menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter anak pada tahap pengenalan, jangan sampai, anak diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri tersebut, karena anak akan menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian. 
2. Tahap Analisis 
Bila pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, tidak demikian pada tahap Analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri, seperti pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok? maka anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan tersebut karena anak pada tahap ini belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Anak pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. 
3. Tahap Pengurutan 
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya, siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Karena masih pada tahap awal siswa masih belum mampu memberikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus. 
4. Tahap Deduksi 
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360o secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360o belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.” 
5. Tahap Keakuratan 
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang sampai pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMA.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut:
Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah jajargenjang adalah 360o, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah sudut-sudutnya adalah 360°. Contoh yang lain, seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah balok, belah ketupat itu layang-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebut tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.

B. Vase-Vase Pembelajaran geometri
Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingkat-tingkat pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut tingkat-tingkat sebagai berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat sophisticated dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti. Teori ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Belajar adalah suatu proses yang diskontinu, yaitu ada loncatan-loncatan dalam kurva belajar yang
    menyatakan adanya tingkat-tingkat pemikiran yang diskrit dan berbeda secara kualitatif.
2. Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa dapat berperan dengan baik pada suatu
    tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, ia harus menguasai sebagian besar dari tingkat yang
    lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung
    dari pembelajaran daripada umur atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi
    materi pelajaran ke tingkat yang lebih rendah, dapat membimbing untuk mengingat-ingat hafalan,
    tetapi seorang siswa tidak dapat mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan berhasil mencapai
    pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting dari tingkat manapun. Untuk mencapai
    pengertian dibutuhkan kegiatan tertentu dari fase-fase pembelajaran.
3. Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami secara eksplisit
    pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik dari sesuatu yang intrinsik
    pada tingkat sebelumnya. Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga tertentu oleh sifat-
    sifatnya, tetapi seseorang yang berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu akan
    sifat-sifat itu.
4. Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol linguistiknya sendiri dan sistem
    relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu relasi yang benar pada suatu
    tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain. Misalnya pemikiran tentang persegi dan
    persegi panjang. Dua orang yang berpikir pada tingkat yang berlainan tidak dapat saling mengerti,
    dan yang satu tidak dapat mengikuti yang lain. (Van Hiele, 1959/1985/p:246). Struktur bahasa
    adalah suatu faktor yang kritis dalam perpindahan tingkat-tingkat ini. (Clements, 1992).

Model Van Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran geometrik. Menurut Van Hiele (dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingat yang satu ke tingkat berikutnya tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada akibat pembelajarannya. Guru memegang peran penting dan istimewa untuk memperlancar kemajuan, terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan. Walaupun demikian, teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi tentang belajar mengajar. Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung menurut pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula, anak-anak sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa bantuan guru. Oleh karena itu, maka ditetapkan fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu.
Fase-fase pembelajaran tersebut adalah:

1). Fase informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Dalam hal ini objek yang dipelajari adalah sifat komponen dan hubungan antar komponen bangun-bangun segi empat. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah: (1) guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki siswa tentang topik yang dibahas. (2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.

2). Fase orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat atau pun bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan respon khusus.

3). Fase eksplisitasi
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan sesedikit mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir mulai tampak nyata.

4). Fase orientasi bebas
Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa tugas yang memerlukan banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang open-ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi jelas.

5). Fase integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu siswa dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap apa yang telah dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang baru. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya. Setelah selesai fase kelima ini, maka tingkat pemikiran yang baru tentang topik itu dapat tercapai. Pada umumnya, hasil penelitian di Amerika Serikat dan negara lainnya menetapkan bahwa tingkat-tingkat dari Van Hiele berguna untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai Perguruan Tinggi.

C. Implementasi Teori Belajar Van Hiele dalam Pembelajaran Geometri

Pada sub unit ini Anda akan mempelajari suatu kegiatan belajar-mengajar yang mengacu pada fase-fase pembelajaran model Van Hiele. Kegiatan belajar di sini dimaksudkan untuk meningkatkan tahap berpikir siswa dari 0 (visualisasi) ke tahap 1 (analitik).
Ciri-ciri dari tahap visualisasi adalah sebagai berikut: Siswa mengidentifikasi, memberi nama, membandingkan, dan mengoperasikan gambar-gambar geometri seperti: segitiga, sudut, dan perpotongan garis berdasarkan penampakannya.
Sedangkan ciri-ciri tahap analitik adalah: Siswa menganalisis bangun berdasarkan sifat-sifat dari komponen dan hubungan antar komponen, menyusun sifat-sifat pada sebuah kelas bangun-bangun secara nyata, dan menggunakan sifat-sifat tersebut untuk memecahkan persoalan.
Teori-teori yang dikemukakan oleh Van Hiele memang lebih sempit dibandingkan teori-teori yang dikemukakan Piaget dan Dienes, karena ia hanya mengkhususkan pada pembelajaran geometri saja. Meskipun demikian sumbangan tidak sedikit dalam pembelajaran geometri. Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang dikemukakan. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dikemukakan Van Hiele. Guru dapat mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami bahwa kubus itu merupakan balok karena anak tersebut tahap berpikirnya masih berada pada tahap analisis ke bawah, anak belum masuk pada tahap pengurutan.
Supaya anak dapat memahami geometri dengan pengertian, pembelajaran geometri harus disesuaikan dengan tahap berpikir anak. Jadi, jangan sekali-kali memberi pembelajaran materi yang sebenarnya berada di atas tahap berpikirnya. Selain itu, hindarilah siswa untuk menyesuaikan dirinya dengan tahap pembelajaran guru tetapi yang terjadi harus sebaliknya.
Agar topik-topik pada materi geometri dapat dipahami dengan baik, anak dapat mempelajari topik-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukarannya dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks.
Mari kita perhatikan model pemahaman segi empat menurut Van Hiele


a).    Persegi 
    • Keempat sisinya sama panjang
    • Keempat sudutnya sama besar 


     b).    Persegi panjang 
    • Sisi yang berhadapan sama panjang.
    • Keempat sudutnya sama besar. 

    c).    Belah ketupat
    • Keempat sisinya sama panjang.
    • Sudut yang berhadapan sama besar.



    d).    Jajar genjang
    • Sisi yang berhadapan sama panjang. 
    • Sudut yang berhadapan sama besar.


     e).    Trapesium
    • Satu pasang sisi yang berhadapan sejajar.



    f).     Layang-layang
    • Dua pasang sisi yang tidak berhadapan sama panjang. 
    • Satu pasang sudut yang berhadapan sama besar.




    Adapun pembelajaran yang dilaksanakan pada setiap fase pembelajaran adalah sebagai berikut: 
    1. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 1 (Informasi) 
    • Dengan memakai gambar bermacam-macam bangun segiempat, siswa diinstruksikan untuk memberi nama masing-masing bangun. 
    • Guru mengenalkan kosa kata khusus, seperti: simetri lipat, simetri putar, sisi berhadapan, sudut berhadapan, dan sisi sejajar. 
    • Dengan metode tanya jawab, guru menggali kemampuan awal siswa.
     2. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 2 (Orientasiasi)
    • Siswa disuruh membuat suatu model bangun segiempat dari kertas.
    • Dengan menggunakan model bangun tersebut serta kertas berpetak siku-siku, siswa diinstruksikan untuk menyelidiki:
      * Banyaknya sisi berhadapan yang sejajar

      * Sudut suatu bangun siku-siku atau tidak
       
    • Dengan menggunakan suatu model bangun, siswa diminta untuk melipat model bangun tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan sumbu simetri. Selanjutnya siswa diinstruksikan untuk menyelidiki banyaknya sumbu simetri yang dimiliki oleh suatu bangun. 
    • Melipat model tersebut pada diagonalnya, kemudian menempatkan yang satu di atas yang lain. Siswa diminta untuk menyelidiki banyaknya pasangan sudut berhadapan yang besarnya sama. 
    • Memotong pojok yang berdekatan, kemudian menempatkan salah satu sisi potongan pertama berimpit dengan salah satu sisi potongan yang kedua. Siswa diminta untuk menyelidiki apakah sudut yang berdekatan membentuk sudut lurus. 
    • Memotong semua pojoknya dan menempatkan potongan-potongan tersebut sedemikian sehingga menutup bidang rata. Selenjutnya siswa diminta untuk menyelidiki apakah keempat sudut itu membentuk sudut putaran.
      * Siswa diinstruksikan untuk mengukur panjang sisi-sisi suatu segiempat, apakah ada sisi
         yang sama panjang?
      * Siswa diinstruksikan untuk mengukur diagonal suatu segi empat, apakah diagonalnya sama
         panjang?
    3. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 3 (Penjelasan) 
    Siswa diberi bemacam-macam potongan segiempat. Mereka diminta untuk mengelompokkan segiempat berdasarkan sifat-sifat tertentu, seperti: 
    • a) segiempat yang mempunyai sisi sejajar 
    • segiempat yang mempunyai sudut-sudut siku-siku 
    • segiempat yang mempunyai sisi-sisi sama panjang 
    4. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 4 (Orientasi Bebas) 
    Dengan menggunakan potongan segitiga, siswa diminta untuk membentuk segiempat, dan menyebutkan nama segiempat yang telah terbentuk. 
    5. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 5 (Integrasi) 
    Siswa dibimbing untuk menyimpulkan sifat-sifat segiempat tertentu, seperti:
    • sifat persegi adalah: .... 
    • sifat persegipanjang adalah .... 
    • sifat belahketupat adalah .... 
    • sifat jajargenjang adalah .... 
    • sifat layang-layang adalah ....
    • sifat trapesium adalah ....

    Sunday 27 April 2014

    Kapan ditemukannya angka dan perhitungan?

    Ketika melihat angka, pernahkah kita berpikir kenapa bentuk angka yang kita kenal seperti itu?. Seolah-olah menemukan lekukan gendut angka delapan seperti boneka salju yang lucu. Dari mana angka-angka itu berasal dan siapa yang menemukannya? Mungkin hal sama yang harus kita tanyakan tentang asal usul penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Kita sangat beruntung hidup dijaman yang sudah mengenal perhitungan. Coba bayangkan bagaimana jadinya jika ga ada angka dan perhitungan. Pasti pasar jadi sepi karena ga ada pembeli dan penjual, toko-toko tutup, dan hampir semua aktivitas yang memerlukan perhitungan akan terhenti. Ngeri kan?. 

    Sejarah ditemukannya angka dan perhitungan 
    Dahalu kala ketika manusia masih hidup berburu, mereka sudah memahami arti besar kecilnya jumlah sesuatu. Mereka bisa mengatakan bahwa jumlah kambing yang ada di sebuah peternakan lebih besar dari jumlah kambing di tempat lain, tetapi mereka belum bisa menghitung jumlahnya. Beberapa sumber mengatakan kalau kemungkinan orang-orang jaman dahulu sudah bisa berpikir jumlah sesuatu ittu 1,2, atau 3 dan menyatakan 4,5,6 dan seterusnya dengan ‘beberapa’.
    Menyatakan jumlah benda lebih dari 3 dengan ’beberapa’ tentu membuat frustasi. Makanya orang-orang mulai berpikir bagaimana caranya menghitung jumlah ternak atau hasil panen secara tepat. Mau ga mau, mereka harus tau jumlahnya. Bagiamana caranya?. Mereka membuat tanda dengan cara menggores atau melubangi tongkat kayu dari setiap kambing yang mereka hitung yang dinamakan ’Tally’. Bahkan bangsa Inca di Peru menghitung jumlah ternak dan hasil panennya dengan cara mengikatkan knot pada tali. Tali ini kemudian dinamakan quipus. Perhitungan cara ini kadang masih digunakan oleh anak-anak SD pada saat pemilihan ketua kelas bahkan dalam perhitungan suara pemilu. 

    Penemuan angka.
    Setelah ditemukannya "Tally", orang-orang menemukan simbol yang disebut dengan angka untuk menyatakan jumlah sesuatu, karena pastilah repot menyatakan jumlah sesuatu tanpa simbol (angka). Masing-masing kebudayaan menemukan angka yang berbeda. Angka enam yang kamu kenal berbeda dengan angka enam yang dikenal oleh orang Arab dan Romawi. Bentuk yang kamu kenal lebih lucu karena ada perutnya.


    Penemuan angka mesir kuno  
    Menurut sejarah, 5000 tahun yang lalu bangsa mesir kuno telah menggunakan simbol untuk angka. Mereka menulis angka 1 dengan simbol garis vertikal dan simbol ^ untuk 10. Mereka akan menulis bilangan 23 dengan III^^ karena mereka nggak seperti kita yang  menulis dari kiri ke kanan. Namun, mereka menulis dari kanan ke kiri. Coba kamu praktekkan untuk bilangan 87?. Ada berapa simbol yang kamu gunakan?. Wah banyak yah, kamu perlu 15 simbol. 

    Lalu kisah ini berlanjut ke penemuan angka Romawi, apa kamu pernah mendengarnya?
    Ya, tentu kamu sudah pernah mendengarnya. Tapi apakah kamu tahu artinya?. Belumkan?. Sebenarnya angka Romawi kuno merupakan gabungan dari tanda Tally yang telah kamu pelajari, dengan huruf atau alfabet. Jika angka di sebelah kanan lebih kecil atau sama dengan angka di sebelah kiri, maka jumlahkan. Lihat gambar yang kutunjukkan padamu. Jika angka di sebelah kiri lebih kecil maka kurangilah dengan angka yang di sebelah kanan. Nah, sekarang kamu sudah bisa kan membentuk angka Romawi?Angka Romawi telah digunakan di Eropa lebih dari 1500 tahun. Dimanakah kamu bisa menemukannya saat ini?  

    Cerita ini lalu berkembang dengan ditemukannya Variasi Angka.
    Simbol yang telah kita gunakan untuk menulis angka ternyata ditemukan 1500 tahun yang lalu di India oleh Matematikawan Hindustan. Namun, saat itu mereka hanya menggunakan sembilan simbol yaitu 1,2,3,4,5,6,7,8, dan 9. Ada sumber yang mengatakan kalau orang-orang Arab kemudian mempelajari angka dari mereka sekitar 1200 tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 800 M ada seorang matematikawan arab yang memperkenalkan simbol ’0’ untuk angka nol. Nah, lengkaplah sekarang simbol untuk angka seperti yang kita kenal sekarang. Lalu para pedagang Arab memperkenalkan angka-angka itu ke Eropa sekitar 900 tahun yang lalu, sehingga orang-orang Eropa menyebut angka-angka itu sebagai angka Arab.  
    Coba perhatikan gambar yang kutunjukkan padamu. Angka Arab terlihat lebih pendek dan sederhana dibanding angka Romawi, karena dalam angka Romawi jumlah dari masing-masing angka berubah bergantung pada posisinya. Sebagai contohnya bila kamu menuliskan angka 2987 ke dalam bentuk Romawi, bentuknya angkanya akan berubah menjadi MMCMLXXXVII. Lebih rumit kan?
    Kelebihan angka arab yang lain adalah adanya simbol angka nol. Hal ini memudahkan kita untuk membedakan angka 2, 20, dan 200 karena angka nol memperkenalkan adanya nilai tempat dalam bilangan. Kita jadi tahu angka 2 dalam 222 mempunyai nilai yang berbeda-beda.

    Friday 14 March 2014

    Berpikir dan Pengetahuan

    Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal, bila digambarkan nampak sebagai beriku:

    Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam:
    • Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial) 
    • Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu)
    • Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat)
    Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di atas mempunyai poisisi dan manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah bersifat gradual, sebab semuanya tetap merupakan sifat yang inheren dengan manusia. Sifat inheren berfikir dan berpengetahuan pada manusia telah menjadi pendorong bagi upaya-upaya untuk lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar (logika), dan semua ini makin memerlukan keakhlian, sehingga makin rumit tingkatan berfikir dan pengetahuan makin sedikit yang mempunyai kemampuan tersebut, namun serendah apapun gradasi berpikir dan berpengetahuan yang  dimiliki seseorang tetap saja mereka bisa menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh pengetahuan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga manusia dapat mempertahankan hidupnya (pengetahuan macam ini disebut pengetahuan eksistensial). Gradasi berfikir dan berpengetahuan sebagai dikemukakan terdahulu dapan dibagankan sebagai berikut:
    Berpengetahuan merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk itu dalam diri manusia telah terdapat akal yang dapat dipergunakan berfikir untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua alasan mengapa manusia memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu:

    1. Manusia tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara binatang siap hidup di alam asli dengan berbagai kemampuan bawaannya. 
    2. Manusia merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun eksplisit dan kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk menjawabnya.
    Dengan demikian berfikir dan pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen penting untuk mengatasi berbagai persoalah yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat hanya kemusnahan manusia (meski kenyataan menunjukan bahwa dengan berfikir dan pengetahuan manusia lebih mampu membuat kerusakan dan memusnahkan diri sendiri lebih cepat.

     
    Penulis: Drs. UHAR SUHARSAPUTRA,M.Pd