A.
Riwayat Edwin Ray Guthrie
Guthrie
lahir di Lincoln Nebrazka tanggal 9 Januari
pada tahun 1886 dan meninggal pada tahun 1959. Setelah SMA kemudian
meneruskan studinya ke universitas Nebraska dan lulus dengan sarjana matematika
dan kemudian mengajar matematika di beberapa sekolah menengah sambil
memperdalam filsafat di Universitas Pennsylvania dan lulus sebagai doktor.
Kemudian menjadi instruktur filsafat di Universitas Washington. Setelah lima
tahun ia pindah ke Departemen Psikologi sampai karirnya berakhir. Guthrie
adalah profesor psikologi di University of Washington dari tahun 1914 sampai pensiun pada tahun
1952. Gaya tulisan Gutrie lebih mudah untuk dipelajari karena penuh humor, dan
menggunakan banyak kisah untuk menunjukkan contoh ide-idenya supaya mudah
dipahami oleh mahasiswanya. Dia sangat menekankan pada aplikasi praktis dari
gagasanya dan dalam hal ini mirip dengan Thorndike dan Skinner. Dia sebenarnya
bukan eksperimentalis meskipun jelas dia punya pandangan dan orientasi dan
eksperimental. Bersama dengan Horton ia melakukan satu percobaan yang tekait
dengan teori belajarnya.
Pada usia 33 tahun
Guthrie pemenang nobel yang diberikan asosiasi psikologi Amerika dalam
kontribusi terakhir. Karya dasarnya adalah The Psycholoy of Learning, yang
dipublikasikan pada 1935 dan direvisi pada 1952.
Pada publikasi
terahirnya sebelum meninggal, Guthrie sempat merevisi hukum kontiguitasnya
menjadi, “apa-apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa- apa yang
dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimulus yang dihadapi
oleh organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk
asosiasi dengan semua stimulus itu. Organisme hanya akan memproses secara
efektif pada sebagian kecil dari stimulus yang dihadapinya, dan selanjutnya
proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respons.
Meskipun Guthrie
menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap
akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya
asosiasi antara stimulus lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di
lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan
karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya
mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimulus (stimulus yang dihasilkan oleh gerakan),
yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon
berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita
sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak
sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimulus dari gerakan kita
sendiri menuju pesawat telepon.
B.
Konsep Teoritis Utama
1.
Pandangan Guthrie Tentang Hukum Belajar
Sebagian besar teori
belajar dapat dianggap sebagai usaha untuk menentukan kaidah yang mengatur
terjadinya asosiasi antara stimulus dan respons. Guthrie (1952) berpendapat
bahwa kaidah yang dikemukakan oleh parateoritis seperti Thorndike dan Pavlov
adalah terlalu ruwet dan tak perlu, dan sebagai penggantinya dia mengusulkan
satu hukum belajar, Law of contiguity
(hukum kontiguitas), yang dinyatakan sebagai berikut : “kombinasi stimulus yang
mengirirngi suatu gerakan akan cenderung diikuti oleh gerakan itu jika
kejadiannya berulang. Perhatikan bahwa disini tidak dikatakan tentang
“gelombang konfirmasi” atau penguatan atau efek menyenangkan”. Cara lain
menyatakan hukum kontiguitas adalah jika anda cenderung akan melakukan hal yang
sama. Kunci teori guthrie terletak pada prinsip tunggal bahwa kontiguitas
merupakan fondasi pembelajaran.
Guthrie juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan
sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena itu dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sering diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon
bersifat lebih kuat dan menetap dan karena itu pula diperlukan pemberian
stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Selain itu,
suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) bila respon
tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Hukum tersebut
diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh Thorndike
dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan bahwa, jika
respons menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi
lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model kondisional
berupa CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan.
Stimulus dan respon
cendrung bersifat sementara, persetujuan umum di kalangan psikolog, bahwa
kontiguitas stimulus dan respon merupakan kondisi yang penting bagi proses
belajar, maka dari itu diperlukan pemberian stimulus yang sering, agar hubungan
itu menjadi lebih langgeng, suatu respon akan lebih kuat dan menjadi kebiasaan
bila respon tersebut berhubungan dengan berbagaimacam stimulus, situasi belajar
merupakan gabungan stimulus dan respon, akan tetapi asosiasi ini bisa benar dan
bisa salah.
Dalam publikasinya
terakhir sebelum dia meninggal, Guithrie (1959) merevisi kontiguitasnya
menjadi, “apa-apa yang dilihat akan
menjadi sinyal untuk apa-apa yang dilakukan”. ini adalah cara Guithrie
mengakui begitu banyaknya jumlah stimulus yang dihadapi organisme pada satu
waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimulus
itu. Organisme akan merespons secara selektif pada sebagian kecil dari stimulus
yang dihadapinya, dan proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respon.
Disini kita dapat melihat ada kemiripan antara pemikiran Guthrie dengan konsep
Thorndike tentang “prapotensi elemen”,
yang juga menyatakan bahwa organism merespon secara selektif terhadap
aspek-aspek ligkungan yang berbeda-beda.
2.
Belajar Satu Percobaan
Unsur lain dari hukum
asosiasi Aristoteles adalah hukum frekuensi, yang menyatakan bahwa kekuatan
asosiasi akan tergantung pada frekuensi kejadiannya. Jika hukum frekuensi
dimodifikasi untuk merujuk pada asosiasi antara respons yang menimbulkan
“keadaan yang memuaskan” dengan kondisi pemicu yang mendahului respons,
Thorndike, Skinner, dan Hull akan menerimanya. Semakin sering suatu proses
dikuatkan dalam situasi tertentu akan semakin besar kemungkinan respons itu
akan dilakukan saat situasi itu terjadi lagi. Jika asosiasinya adalah antara CS
dan US, Pavlov akan menerima hukum frekuensi. Semakin banyak jumlah penyandingan
antara CS dan US, semakin besar respons yang dikondisikan yang diakibatkan oleh
CS.
Namun prinsip One-Trial Learning (belajar suatu
percobaan) dari Guthrie (1942) menolak hukum frekuensi sebagai prinsip belajar
: “Suatu pola stimulus mendapatkan kekuatan asosiatif penuh pada saat pertama
kali dipasangkan dengan suatu respons”. Jadi, menurut Guithrie, belajar adalah
hasil dari kontiguitas antara pola stimulus dengan satu respon, dan belajar
akan lengkap (asosiasi penuh) hanya setelah penyandingan antara stimulus dan
respon.
3.
Prinsip kebaruan
Prinsip kontiguitas
dan belajar satu percobaan membutuhkan recency principle (prinsip kebaruan),
yang menyatakan bahwa repsons yang dilakukan terakhir kali dihadapat
seperangkat stimulus adalah respons yang akan dilakukan ketika kombinasi
stimulus itu terjadi lagi di waktu lain. Dengan kata lain, apapun yang kita
lakukan terakhir kali dalam situasi tertentu akan cenderung kita lakukan lagi
jika situasi itu kita jumpai lagi.
4.
Stimulus yang Dihasilkan oleh Gerakan
Meskipun Guthrie
menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia
menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian
hanya asosiasi antara stimulus lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian
di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan
karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya
mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimulus yang dihasilkan oleh gerakan),
yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon
berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita
sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak
sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimulus dari gerakan kita
sendiri menuju pesawat telepon.
5. Mengapa Praktik latihan Meningkatkan Performa?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, Guthrie membedakan antara acts
(tindakan) dengan movement (gerakan).
Gerakan adalah kontraksi otot; tindakan terdiri dari berbagai macam gerakan.
Tidakan biasanya didefinisikan dalam term apa- apa yang dicapainya, yakni
perubahan apa yang mereka lakukan dalam lingkungan. Sebagai contoh tindakan,
Guthrie menyebut misalnya mengetik surat, makan pagi, melempar bola, membaca
buku, atau menjual mobil.
Adapun untuk belajar
tindakan membutuhkan praktik latihan. Belajar bertindak, yang berbeda dari
gerakan, jelas membutuhkan praktik sebab ia mengharuskan gerakan yang tepat
telah diasosiasikan dengan petunjuknya. Bahkan menurut Guthrie, tindakan
sederhana seperti memegang raket membutuhkan beberapa gerakan berbeda sesuai
jarak dan arah posisi subjek itu.Untuk itulah diperlukan sebuah latihan, karena
dengan menguasai sebuah tindakan tidak menjamin pada saat waktu, jarak, dan
posisi yang berbeda tindakan itu masih dapat dilakukan.
6. Sifat
Penguatan menurut Edwin Ray Guthrie
Gutrie menggunakan
isu yang dibahas Thorndike, ketika satu respons menimbulkan keadaan yang
memuaskan, maka selanjutnya terulangnya respons akan meningkat. Guthrie
menganggap hukum efek tidak dibutuhkan. Menurut Guthrie, reinformance
(penguatan) hanyalah aransemen mekanis, yang dianggap dapat dijelaskan dengan
hukum belajaranya.
Gutrie menganggap,
penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi, dan karenanya mencegah terjadinya
nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka teki, hal yang dilakukan hewan sebelum
menerima satu penguat adalah menggerakkan satu tuas atau menarik cincin, yang
membuatanya bisa keluar dari kotak itu, dan seterusnya. Oleh karena itulah,
Guthrie dan Horton mengatakan, menurut pendapat mereka tindakan yang dilakukan
oleh kucing itu akan selalu sama, karena kucing itu menganggap itulah caranya
membebaskan diri dari kotak. Oleh karena itu, tidak memungkinkan adanya respons
baru yang dihubungkan dengan kotak tersebut.
7. Eksperimen
Guthrie-Horton
Guthrie dan Horton
(1946) secara cermat mengamati sekitar delapan ratus kali tindak melepaskan
diri dari kontak teka teki yang dilakukan oleh kucing. Observasi ini dilaporkan
dalam buku berjudul Cats in a Puzlle Box. Kotak yang mereka pakai sama dengan
yang dipakai Thorndike dalam melakukan eksperimennya. Guithrie dan Horton
menggunakan banyak kancing sebagai subjek percobaan, tetapi mereka melihat
setiap kucing belajar keluar dari kotak dengancara sendiri-sendiri yang
berbeda-beda. Repons khusus yang dipelajari oleh hewan tertentu adalah respons
yang dilakukan hewan sebelum ia keluar dari kotak.karena respons ini cenderung
diulang lagi saat kucing diletakkan di kotak di waktu yang lain, maka dinamakan
stereotyped behavior (perilaku stereotip). Misalnya, kucing A akan menekan tuas
dengan pantatnya, kucing B dengan kepalanya, atau kucing C dengan cakarnya.
Guthrie mengatakan bahwa dalam masing-masing kaus, terbykanya pintu kotak
merupakan perubahan yang mendadak dalam kondisi yang menstimulasi.demham
mengubah kondisi yang menstimulasi, respons menggerakan tuas dengan pantas,
misalnya, tidak akan dilupakan. Hal terakhir yang dilakukan hewan sebelum pintu
terbuka adalah mendorong tuas dengan pantat, dank arena ia mendorong dengan
pantat itulah kondisi yang menstimulasi berubah. Jadi, berdasarkan hukum
kebaruan, ketika kita menempatkan hewan itu lagi ke kotak diwaktu lain, hewan
itu akan merespons dengan mendorong tuas dengan pantatnya, dan inilah yang
dilihat oleh Guthrie dan Horton dalam percobaannya.
Guthrie dan Horton
(1946) mengamati baehwa sering kali hewan, setelah bebas dari kotak, akan
mengabaikan ikan yang diberikan kepadanya. Meskipun hewan itu mengabaikan objek
yang disebut penguatan tersebut, hewan itu tetap bisa keluar dari kotak dengan
lancer ketika diwaktu yang lain ia dimasukkan lagi ke dalam kotak. Observasi
ini, menurut Guthrie, memperkuat pendapatnya bahwa penguatan hanyalah aransemen
mekanis yang mencegah terjadinya unlearning. Guthrie menyimpulkan bahwa setiap
kejadian yang diikuti dengan respons yang diinginkan dari hewan akan mengubah
kondisi yang menstimulasi dan karenanya mempertahankan respons didalam kondisi
yang menstimulasi sebelumnya. Tetapi, seperti yang akan kita lihat nanti, ada
alternative untuk interpretasi Guthrie atas observasi ini.
8. Lupa
Menurut Guthrie
Menurut Guthrie, lupa
disebabkan oleh munculnya respons alternatif dalam satu pola stimulus. Setelah
pola stimulus menghasilkan respons alternatif, pola stimulus itu kemudian akan
cenderung menghasilkan respons baru. Jadi menurut Guthrie, lupa pasti
melibatkan proses belajar baru. Ini adalah bentuk retroactive inhibition
(hambatan retroaktif) yang ekstrem, yakni fakta bahwa proses belajar lama
diintervensi oleh proses belajar baru.
Untuk menunjukkan
hambatan retroaktif, contohnya sebagai berikut: Seseorang yang belajar tugas A
dan kemudian belajar tugas B lalu diuji untuk tugas A. satu orang lainnya
belajar tugas A, tetapi tidak belajar tugas B, dan kemudian diuji pada tugas A.
secara umum akan ditemukan bahwa orang pertama mengingat tugas A lebih sedikit
ketimbang orang kedua. Jadi, tampak bahwa mempelajari hal baru (tugas B) telah
mencampuri retensi dari apa yang dipelajari sebelumnya (tugas A).
Guthrie menerima
bentuk hambatan retroaktif ekstrim ini. Pendapatnya adalah bahwa setiap kali
mempelajari hal yang baru, maka proses itu akan menghambat sesuatu yang lama.
Dengan kata lain, lupa disebabkan oleh intervensi. Tak ada intervensi, maka
lupa tidak akan terjadi.
C. Penerapan
Teori dalam Memutuskan Kebiasaan
Kebiasaan adalah
respon yang diasosiasikan dengan sejumlah besar stimulus. Semakin banyak stimulus
yang menimbulkan respon, semakin kuat kebiasaan. Untuk memutus kebiasaan
aturannya selalu sama, yaitu cari petunjuk yang memicu kebiasaan buruk dan
lakukan respon lain saat petunjuk itu muncul. Berikut ini metode-metode yang
dinyatakan oleh Guthrie:
[ Metode
Ambang: dengan memperkenalkan stimulus lemah yang tidak menimbulkan respon dan
kemudian pelan-pelan menaikkan intensitas stimulus itu, tetapi selalu
berhati-hati agar ia tetap berada di bawah “ambang batas” respon. Contoh
memasang pelana kuda: mulai dengan selimut yang ringan, kemudian yang lebih
berat, baru kemudian pelana kuda.
[ Metode
Kelelahan: dengan mendorong stimulus secara terus menerus sampai respon yang
diberikan berhenti atau tidak ada respon lagi. Contoh penjinakan dimana pelana
dilempar ke punggung kuda kemudian penunggangnya menaikinya dan berusaha
mengendarai kuda itu sampai kuda itu menyerah.
[ Metode
Respon yang Tidak Sesuai: stimulus untuk respon yang tidak diinginkan disajikan
bersama stimulus lain yang menghasilkan respon yang tidak sesuai dengan respon
yang tidak diinginkan tersebut. Contoh seorang anak mendapat hadiah boneka
panda namun reaksi pertamanya takut dan menghindar. Sebaliknya ibu si anak
memberikan rasa kehangatan dan kenyamanan pada diri si anak. Dengan menggunakan
metode respon yang tak kompatibel anda akan memasangkan ibu dan boneka panda
diharapakkan ibu akan menjadi setimulus dominan. Jika ibu menjadi stimulus
dominan, reaksi anak terhadap kombinasi ibu-boneka itu akan berupa relaksasi.
Setelah reaksi relaksai muncul ketika ada boneka panda, maka boneka itu dapat
dihadirkan sendirian dan akan muncul relaksasi dalam diri anak.
1.
Membelokkan Kebiasaan
Ada perbedaan antara
memutus kebiasaan dengan membelokkan kebiasaan. Membelokkan kebiasaan dilakukan
dengan menghindari petujnjuk yang menimbulkan perilaku yang tak diinginkan.
Jika anda mengumpulkan sejumlah besar pola perilaku tak efektif atau
menyebabkan kecemasan, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah meningkatkan
situasi itu. Guthrie menyarankan agar anda pergi kesuatu lingkungan baru yang
memberi anda kesegaran baru karena anda tidak punya banyak asosiasi dengan
lingkungan baru itu. Pergi kelingkungan baru akan membuat anda legah dan bisa
mengembangkan pola perilaku yang baru. Tetapi ini hanyalah pelarian parsial
karena banyak stimulus yang menyebabkan perilaku yang tak diinginkan adalah stimulus
internal anda, dan anda karenanya akan membawa stimulus itu ke lingkungan yang
baru. Juga stimulus dalam lingkungan baru yang identik atau mirip dengan stimulus
di lingkungan lama akan cenderung menimbulkan respon yang sebelumnya di kaitkan
dengannya.
2.
Hukuman Menurut Guthrie
Guthrie juga percaya
bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar.
Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku
seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi
stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang
harus dipelajari. Hukuman yang diberikan dalam proses pembelajaran harus sesuai
dengan asumsi dan ideologi yang ada dalam diri siswa.
Meskipun menurut
sekolah hukuman itu tidak edukatif dan tidak efektif, bisa saja menurut sekolah
yang lain sangat efektif. Hal ini disebabkan oleh asusmi ideologis yang
diyakini di kalangan siswa. Contoh jenis hukuman di pondok pesantren tidak
sesuai jika diterapkan di sekolah formal yang jauh dari budaya pondok
pesantren.
Sebagai contoh,
seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini dapat
terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam
stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain
seperti minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan
lain-lain.
Menurutnya suatu
hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan
seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang dari
sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya
menyuruh agar baju dan topik dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar,
dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat
gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi
dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian,
nantinya faktor hukuman ini tidak dominan dalam teori-teori tingkah laku.
Terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide tentang penguatan
(reinforcement).
Menurut Guthrie
hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa
alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie yaitu:
Pengaruh hukuman
terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
Dampak psikologis
yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila
hukuman berlangsung lama.
Hukuman yang
mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar
ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum
melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang
diperbuatnya.
Skinner lebih percaya
kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama
dengan hukuman.
Ketidak samaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang
muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang
siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya,
maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah
penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat
respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat
negatif adalah mengurangi agar memperkuat respon.
Efektifitas hukuman
ditentukan oleh apa penyebab apa penyebab tindakan yang dilakukan oleh
organisme yang dihukum itu. Hukuman bekerja dengan baik bukan kerena rasa sakit
yang dialami oleh individu yang terhukum, akan tetapi karena hukuman mengubah
cara indiviu merespons stimulus yang sama. Hukuman dikatakan berhasil ketika
hukuman berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena hukuman
menimbulkan perilaku yang tidak kompatibel dengan perilaku yang dihukum. Dan
hukuman dikatakan gagal apabila perilaku yang disebabkan oleh hukuman selaras dengan
perilaku yang dihukum.
Karena pandangan
Guthrie tentang asosiasi tergantung pada stimulus dan respon, peran penguatan
memiliki interpretasi unik. Guthrie percaya pada pembelajaran satu kali
mencoba, dengan kata lain kedekatan hubungan antara elemen-elemen stimulus dan
respon langsung menghasilkan ikatan asosiatif penuh.
3.
Dorongan Menurut Guthrie
Drives (dorongan)
fisiologis merupkan apa yang oleh Guthrie dikatakan maintaining stimulus (stimulus
yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai.
Misalnya, rasa lapar menghasilkan stimulus internal yang terus ada sampai
makanan dikonsumsi. Ketika makan diperoleh, maintaining stimulus akan hilang,
dan karenanya kondisi yang menstimulasi telah berubah.
4. Niat
Menurut Guthrie
Respons yang
dikondisikan ke maintaining stimuli
dinamakan intentions (niat). Respons tersebut dinamakan niat karena maintaining
stimuli dari dorongan biasanya berlangsung selama periode waktu tertentu
(sampai dorongan berkurang).
Gambarannya, ketika
seseorang lapar dan ada roti di dalam kantor, dia akan memakannya. Tetapi jika
dia lupa membawa bekal makan siang, dia akan berdiri dari kursi, mengenakan
jaket, mencari restoran, dsb. Perilaku yang dipicu oleh maintaining stimuli inilah yang tampak purposive atau intensional
(diniatkan).
5.
Transfer Training Menurut Guthrie
Gutrhrie dalam hal
ini kurang terlalu berharap. Karena pada dasarnya seseorang akan menunjukkan
respons yang sesuai dengan stimulus jika pada kondisi yang sama. Guthrie selalu
mengatakan pada mahasiswa universitasnya, jika anda ingin mendapat manfaat
terbesar dari studi anda, anda harus berlatih dalam situasi yang persis
sama-dalam kursi yang sama-di mana anda akan diuji. Jika anda belajar sesuatu
di kamar, tidak ada jaminan pengetahuan yang diperoleh disitu akan ditransfer
ke kelas.
Saran Guthrie adalah
selalu mempraktikkan perilaku yang persis sama yang akan diminta kita lakukan
nanti, selain itu, kita harus melatihnya dalam kondisi yang persis sama dengan
kondisi ketika nanti kita diuji. Gagasan mengenai pemahaman, wawasan dan
pemikiran hanya sedikit, atau tidak ada maknanya bagi Guthrie. Satu-satunya
hukum belajar adalah hokum kontiguitas, yang menyatakan bahwa ketika dua
kejadian terjadi bersamaan, keduanya akan dipelajari.
D. Teori
Conditioning dari Guthrie
Guthrie mengemukakan
bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang sebagai
deretan-deretan tingkah laku yang terdiri dari unit‑unit. Unit‑unit tingkah laku ini merupakan reaksi atau
respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut
menjadi pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku
yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga merupakan deretan‑deretan unit tingkah
laku yang terus-menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi
proses asosiasi antara unit‑unit tingkah laku
satu sama lain yang berurutan. Ulangan‑ulangan atau latihan
yang berkali‑kali memperkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang
satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
Sebagai penjelasan
dari percobaan Pavlov sebagai berikut: Pada mulanya anjing percobaan keluar air
liur ketika disodorkan makanan. Setelah berkali‑kali sambil
menyodorkan makanan dilakukan juga menyorotkan sinar merah kepada anjing itu;
pada suatu ketika hanya dengan menyorotkan sinar merah, anjing itu keluar juga
air liurnya. Jadi, dalam hal ini terjadi asosiasi yang makin kuat antara sinar
merah (stimulus) dengan keluarnya air liur (respons). Yang penting pula
diperhatikan dalam percobaan itu ialah; dapat diubahnya suatu stimulus (unit)
tertentu dengan stimulus yang lain. Karena itu, menurut Guthrie untuk mengubah
kebiasaan‑kebiasaan yang tidak
baik, harus dilihat dalam rentetan
deretan unit‑unit tingkah lakunya,
kemudian kita usahakan untuk menghilangkan unit yang tidak baik itu atau
menggantinya dengan yang lain yang seharusnya.
Berikut ini sebuah
contoh sebagai penjelasan. Seorang ibu datang menanyakan kepada Guthrie, bahwa
anak perempuannya setiap pulang dari sekolah selalu melemparkan tas dan
pakaiannya ke sudut kamarnya, kemudian ganti pakaian dan terus makan tanpa
meletakkan tas dan pakaiannya pada gantungan yang telah tersedia untuk itu.
Teguran‑teguran ibu untuk menggantungkan tas dan pakaian pada
tempatnya, hanya berlaku satu atau dua, hari saja, sesudah itu kebiasaan yang
buruk berulang lagi. Bagaimana cara memperbaiki kebiasaan buruk pada anak
tersebut?
Guthrie menyarankan
(sesuai dengan teori conditioning) perbaikan seperti berikut:
Teguran ibu jangan
hanya menyuruh menggantungkan tas dan pakaiannya sesudah anak itu makan, akan
tetapi anak tersebut harus disuruh memakai pakaian itu lagi dan menyandang
tasnya dan kemudian anak itu masuk ke rumah lagi terus menggantungkan tasnya
dan pakaiannya, berganti pakaian, dan selanjutnya makan. Jadi, proses berlangsungnya
unit‑unit tingkah.
E. Teori
Keterhubungan Guthrie
Guthrie lebih
menekankan pada hubungan antara stimulus dan respons, dan beranggapan bahwa
setiap respons yang didahului atau dibarengi suatu stimulus atau gabungan dari
beberapa stimulus akan timbul lagi bila stimulus tersebut diulang lagi. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa suatu stimulus tertentu akan menimbulkan respons
tertentu. Suatu respons hanya terbina oleh satu kali percobaan saja, oleh
karena itu pengulangan atau repetisi tidak memperkuat hubungan stimulus
respons. Namun demikian, Guthrie menekankan pada pentingnya pengulangan atau
drill. Pengulangan tersebut bukan dimaksudkan untuk memperkuat hubungan, tetapi
untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok dengan respons yang
diharapkan. Guthrie memulai proses pendidikannya dengan memaparkan tujuan-tujuannya
serta dengan mengemukakan respons-respons apa yang perlu dibuat terhadap
rangsangan tertentu. Kemudian dia akan menciptakan lingkungan belajar yang
tertata sedemikian rupa sehingga respons yang diinginkan dihasilkan sesuai
dengan rangsangan yang ada. Motivasi bagi Guthrie bahkan lebih tidak penting
lagi sebagaimana yang dianggap penting oleh Thorndike. Apa yang diperlukan
dalam proses belajar hanyalah agar siswa memberikan respons yang tepat ketika
hadir suatu rangsangan.
Latihan dianggap
penting sekiranya hal ini menyebabkan lebih banyak terjadinya rangsangan yang
menghasilkan perilaku yang diinginkan. Karena setiap pengalaman sifatnya unik,
maka siswa harus mempelajarinya berulang-ulang. Tidak ada jaminan bahwa siswa
yang sudab belajan dua tambah dua sama dengan empat (2 + 2 = 4) di papan tulis
akan menjawab sama ketika ia telah duduk di bangkunya. Dengan demikian siswa
tidak hanya diharuskan belajar bahwa dua balok tambah dua balok sama dengan
empat balok, tetapi mereka harus juga membuat pertambahan yang baru dengan
menggunakan benda-benda lain, seperti apel, buku, kucing, dll.
Meskipun pembelajaran
secara konstan berlangsung terus, pendidikan dalam kelas merupakan suatu usaha
untuk menghubungkan stimulus tertentu dengan responsnya dengan penuh tujuan.
Seperti juga Thorndike, Guthrie percaya bahwa pendidikan formal harus
menyerupai situasi kehidupan nyata sebanyak mungkin. Para guru penganut teori
Guthrie akan diperbolehkan untuk kadang-kadang menggunakan hukuman untuk
menangani perilaku siswa yang menyimpang. Agar pemakaiannya efektif, hukuman
harus digunakan ketika perilaku menyimpang tadi terjadi.
Lebih jauh lagi
hukuman harus menyebabkan timbulnya perilaku yang bertentangan dengan perilaku
menyimpang tadi. Jika misalnya siswa yang sedang membuat kegaduhan di kelas
dihukum dengan cara diteriaki oleh guru, tetapi reaksinya malah membuat
kegaduhan yang lebih besar, maka hukuman itu malah akan menguatkan perilaku
yang sedang dilakukannya.
F.
Pendapat dan Penerapan Teori Belajar Behaviorisme Guthrie dalam
Pendidikan
Seperti halnya
Thorndike, Guthrie menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan
tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk stimulus. Dia
menyarankan lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang diinginkan
bersama dengan adanya stimulus yang akan diletakkan padanya. Jadi motivasi
dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa mesti merespons
dengan tepat dalam kehadiran stimulus tertentu.
Latihan (praktik)
adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimulus untuk menghasilkan
perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah unik, seseorang harus
“belajar ulang” berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa belajar 2 + 2 di papan
tulis tidak menjamin siswa bisa 2 + 2 ketika dibangku. Karena memungkinkan
siswa akan belajar meletakkan respons pada setiap stimulus (di dalam atau di
luar kelas).
Mengasosiasikan
rangsangan dan respons secara tepat merupakan inti dari teori belajar yang
dibangun oleh Guthrie. Untuk penerapan teori ini dalam proses belajar mengajar
di kelas. Guthrie memberikan beberapa saran bagi guru :
1. Guru harus dapat mengarahkan performa
siswa akan menjadi apa ketika mempelajari sesuatu. Dengan kata lain, apakah stimulus
yang ada dalam buku atau pelajaran yang menyebabkan siswa melakukan belajar.
2. Oleh karena itu, jika siswa mencatat atau
membaca buku secara sederhana mereka dapat mengingat lebih banyak informasi.
Maka dalam hal ini buku akan menjadi stimulus yang dapat digunakan sebagai
perangsang untuk menghafal pelajaran.
3. Dalam mengelola kelas, guru dianjurkan
untuk tidak memberikan perintah yang secara langsung akan menyebabkan siswa
menjadi tidak taat terhadap peraturan kelas. Misalnya permintaan guru agar
siswa tenang jika diikuti oleh kegaduhan dalam kelas akan menjadi tanda
(memunculkan stimulus) bagi munculnya perilaku distruptif.
No comments:
Write komentar