Thursday, 26 September 2019

Reliabilitas : Pengertian, Jenis-jenis dan Metode Pengujian Reliabilitas

A. Pengertian Reliabilitas
Berikut ini pengertian Reliabilitas menurut para Ahli:
1. Sugiono (2005)
Pengertian reliabilitas menurut Sugiono adlah serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur yang memiliki konsistensi jika pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur itu dilakukan secara berulang. Reliabilitas tes, merupakan tingkat konsistensi suatu tes, adalah sejauh mana tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang konsisten, relatif tidak berubah meskipun diteskan pada situasi yang berbeda.

2. Nursalam (2003)
Pengertian reliabilitas menurut Nursalam adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan jika fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berulang kali dalam waktu yang berlainan.

3. Sukadji (2000)
Pengertian reliabilitas suatu tes menurut Sukadji adalah sebarapa besar derajat tes mengukur secara konsisen sasaran yang diukur. Reliabilitas dinyatakan dalam bentuk angka, biasana koefiesien.

4. Gronlund dan Linn (1990)
Pengertian reliabilitas menurut Gronlund dan Linn adalah ketepatan hasil yang diperoleh dari suatu pengukuran.

Pengertian Validitas Dan Reliabilitas Menurut Para Ahli, Jenis, Prinsip, Cara Menghitung
5. Sugiono (2005) dalam Suharto (2009)
Pengertian reliabilitas menurut Sugiono adalah serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur yang memiliki konsistensi bila pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur itu dilakukan secara berulang.

6. Anastasia dan Susana (1997)
Pengertian reliabilitas menurut Anastasia dan Susana adalah sesuatu yang merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen (equivalent items) yang berbeda, atau dibawah kondisi pengujian yang berbeda

7. Suryabrata (2004)
Pengertian reliabilitas menurut Suryabrata adalah sejauh mana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya.

8. Walizer (1987)
Walizer menyebutkan pengertian Reliability (Reliabilitas) adalah keajegan pengukuran.

9. John M. Echols dan Hasan Shadily (2003: 475)
John M. Echols dan Hasan Shadily reliabilitas adalah hal yang dapat dipercaya. Popham (1995: 21) menyatakan bahwa reliabilitas adalah "...the degree of which test score are free from error measurement"

10. Masri Singarimbun
Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat pengukur tersebut reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam pengukur gejala yang sama.

11. Brennan (2001: 295)
Menurut Brennan reliabilitas merupakan karakteristik skor, bukan tentang tes ataupun bentuk tes.

12. Sumadi Suryabrata (2004: 28)
Menurut Sumadi Suryabrata reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil pengukuran harus reliabel dalam artian harus memiliki tingkat konsistensi dan kemantapan.


Dalam pandangan Aiken (1987: 42) sebuah tes dikatakan reliabel jika skor yang diperoleh oleh peserta relatif sama meskipun dilakukan pengukuran berulang-ulang.

Dengan demikian, keandalan sebuah alat ukur dapat dilihat dari dua petunjuk yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas. Kedua statistik tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Feldt & Brennan, 1989: 105)

Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang) akan memberikan hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai). Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya pengukuran yang dapat diandalkan akan mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur.

Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa diandalkan bila pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda.

Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat statistik (Feldt & Brennan, 1989: 105)
Berdasarkan sejarah, reliabilitas sebuah instrumen dapat dihitung melalui dua cara yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas (Feldt & Brennan: 105). Kedua statistik di atas memiliki keterbatasannya masing-masing. Kesalahan pengukuran merupakan rangkuman inkonsistensi peserta tes dalam unit-unit skala skor sedangkan koefisien reliabilitas merupakan kuantifikasi reliabilitas dengan merangkum konsistensi (atau inkonsistensi) diantara beberapa kesalahan pengukuran.

Reliabilitas alat ukur tidak dapat diketahui dengan pasti tetapi dapat diperkirakan. Dalam mengestimasi reliabilitas alat ukur, ada tiga cara yang sering digunakan yaitu (1) pendekatan tes ulang, (2) pendekatan dengan tes pararel dan (3) pendekatan satu kali pengukuran.

Pendekatan tes ulang merupakan pemberian perangkat tes yang sama terhadap sekelompok subjek sebanyak dua kali dengan selang waktu yang berbeda. Asumsinya adalah bahwa skor yang dihasilkan oleh tes yang sama akan menghasilkan skor tampak yang relatif sama. Estimasi dengan pendekatan tes ulang akan menghasilkan koefisien stabilitas. Untuk memperoleh koefisien reliabilitas melalui pendekatan tes ulang dapat dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi linear antara distribusi skor subyek pada pemberian tes pertama dengan skor subyek pada pemberian tes kedua. Pendekatan tes ulang sangat sesuai untuk mengukur ketrampilan terutama ketrampilan fisik.

B. Jenis-jenis Reliabilitas
Walizer (1987) menyebutkan bahwa ada dua cara umum untuk mengukur reliabilitas, yaitu:
1. Relibilitas stabilitas.
Menyangkut usaha memperoleh nilai yang sama atau serupa untuk setiap orang atau setiap unit yang diukur setiap saat anda mengukurnya. Reliabilitas ini menyangkut penggunaan indicator yang sama, definisi operasional, dan prosedur pengumpulan data setiap saat, dan mengukurnya pada waktu yang berbeda. Untuk dapat memperoleh reliabilitas stabilitas setiap kali unit diukur skornya haruslah sama atau hampir sama.

2. Reliabilitas ekivalen.
Menyangkut usaha memperoleh nilai relatif yang sama dengan jenis ukuran yang berbeda pada waktu yang sama. Definisi konseptual yang dipakai sama tetapi dengan satu atau lebih indicator yang berbeda, batasan-batasan operasional, paeralatan pengumpulan data, dan / atau pengamat-pengamat.
Menguji reliabilitas dengan menggunakan ukuran ekivalen pada waktu yang sama bias menempuh beberapa bentuk. Bentuk yang paling umum disebut teknik belah-tengah. Cara ini seringkali dipakai dalam survai.Apabila satu rangkaian pertanyaan yang mengukur satu variable dimasukkan dalam kuesioner, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi dua bagian persis lewat cara tertentu. (Pengacakan atau pengubahan sering digunakan untuk teknik belah tengah ini.) Hasil masing-masing bagian pertanyaan diringkas ke dalam skor, lalu skor masing-masing bagian tersebiut dibandingkan. Apabila dalam skor kemudian skor masing-masing bagian tersebut dibandingkan. Apabila kedua skor itu relatif sama, dicapailah reliabilitas belah tengah.

Reliabilitas ekivalen dapat juga diukur dengan menggunakan teknik pengukuan yang berbeda. Kecemasan misalnya, telah diukur dengan laporan pulsa. Skor-skor relatif dari satu indikator macam ini haruslah sesuai dengan skor yang lain. Jadi bila seorang subyek nampak cemas pada ”ukuran gelisah” orang tersebut haruslah menunjukkan tingkatan kecermatan relatif yang sama bila tekanan darahnya yang diukur.

C. Metode Pengujian Reliabilitas
Tiga tehnik pengujian realibilitas instrument antara lain :
1. Teknik Paralel (Paralel Form atau Alternate Form)
Teknik paralel disebut juga tenik ”double test double trial”. Sejak awal peneliti harus sudah menyusun dua perangkat instrument yang parallel (ekuivalen), yaitu dua buah instrument yang disusun berdasarkan satu buah kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrument yang satu selalu harus dapat dicarikan pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen tersebut diujicobakan semua. Sesudah kedua uji coba terlaksana, maka hasil instrumen tersebut dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus product moment (korelasi Pearson).

2. Teknik Ulang (Test Re-test)
Disebut juga teknik ”single test double trial”. Menggunakan sebuah instrument, namun dites dua kali. Hasil atau skor pertama dan kedua kemudian dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks reliabilitas.Teknik perhitungan yang digunakan sama dengan yang digunakan pada teknik pertama yaitu rumus korelasi Pearson.

Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas tes-retest adalah seberapa besat derajat skor tes konsisten dari waktu ke waktu. Realibilitas diukur dengan menentukan hubungan antara skor hasil penyajian tes yang sama kepada kelompok yang sama, pada waktu yang berbeda.

Metode pengujian reliabilitas stabilitas yang paling umum dipakai adalah metode pengujian tes-kembali (test-retest). Metode test-retest menggunakan ukuran atau “test” yang sama untuk variable tertentu pada satu saat pengukuran yang diulang lagi pada saat yang lain. Cara lain untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas, bila kita menggunakan survai, adalah memasukkan pertanyaan yang sama di dua bagian yang berbeda dari kuesioner atau wawancara. Misalnya the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MPPI) mengecek reliabilitas test-retest dalam satu kuesionernya dengan mengulang pertanyaan tertentu di bagian-bagian yang berbeda dari kuesioner yang panjang.

Kesulitan terbesar untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas adalah membuat asumsi bahwa sifat/ variable yang akan diukur memang benar-benar bersifat stabil sepanjang waktu. Karena kemungkinan besar tidak ada ukuran yang andal dan sahih yang tersedia. Satu-satunya faktor yang dapat membuat asumsi-asumsi ini adalah pengalaman, teori dan/atau putusdan terbaik. Dalam setiap kejadian, asumsi ini selalu ditantang dan sulit rasanya mempertahankan asumsi tersebut atas dasar pijakan yang obyektif.

3. Teknik Belah Dua (Split Halve Method)
Disebut juga tenik “single test single trial”. Peneliti boleh hanya memiliki seperangkat instrument saja dan hanya diujicobakan satu kali, kemudian hasilnya dianalisis, yaitu dengan cara membelah seluruh instrument menjadi dua sama besar. Cara yang diambil untuk membelah soal bisa dengan membelah atas dasar nomor ganjil-genap, atas dasar nomor awal-akhir, dan dengan cara undian.

Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas ini diukur dengan menentukan hubungan antara skor dua paruh yang ekuivalen suatu tes, yang disajikan kepada seluruh kelompok pada suatu saat. Karena reliabilitas belah dua mewakili reliabilitas hanya separuh tes yang sebenarnya, rumus Spearman-Brown dapat digunakan untuk mengoreksi koefisien yang didapat.

Apa penyebab ketidakandalan?
Ada beberapa sumber ketidakandalan (unreliability), beberapa di antaranya telah dituangkan. Satu sumber ketidakandalan yang terbesar adalah ketidaksahihan (invalidity). Berikut ini adalah daftar periksa (check list) sumber-sumber yang menyebabkannya (Walizer ,1987) :
1. Orang atau unit yang diukur mungkin telah berubah sejak pengukuran pertama dan kedua. (Tentu saja perubahan dalam skor, haruslah ditafsirkan bukan sebagai ketidakandalan.)

2. Selama wawancara unit yang sedang diukur berubah, karena:
a. Pewawancara memperoleh pengalaman
b. Kelelahan pewawancara
c. Subyek mengalami hal-hal yang menyebabkan penafsiran mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan berubah (sebagai kebalikan dari perubahan seharusnya dari apa yang sedang diukur).
d. Kesalahan-kesalahan diperbuat.

3. Aspek situasi tempat pengukuran berlangsung mungkin berubah sejak pengukuran pertama dan yang kedua. Hal-hal seperti waktu (pagi, siang, sore), tempat berlangsungnya pengukuran, orang-orang yang berada dekat di sekitar yang mungkin mempengaruhi respon mereka dan sebagainya mungkin berbeda.

4. Pertanyaan-pertanyaan mungkin mendua artinya, sehingga ditafsirkan secara berbeda pada saat pengisian kuesioner yang berbeda.

5. Pengkode dan/atau pengamat mungkin membuat penafsiran sendiri-sendiri.

6. Apa yang nampak sebagai satu teknik ekivalen sebenarnya tidaklah demikian karena pemilihan pembandingan yang kurang baik.

7. Terjadi kekeliruan dalam mencatat hasil pengamatan atau memberi kode-kodenya.

8. Atau mungkin kombinasi penyebab-penyebab terdahulu.

Sering kita dengar baik dalam kuliah atau dalam ruang ujian, jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan "Apa yang dimaksud reliabilitas?" seperti ini: "Taraf Kepercayaan, yaitu seberapa besar tes dapat dipercaya. Tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama jika diteskan beberapa kali pada subjek yang sama . Dengan kata lain seberapa ajeg sebuah tes jika diteskan beberapa kali pada subjek yang sama di waktu yang berbeda."

Jika demikian adanya, maka secara logis, satu-satunya cara untuk mengestimasi reliabilitas adalah dengan melakukan pengetesan paling tidak dua kali pada sekelompok subjek yang sama. Tapi benarkah begitu?
Pada prakteknya kita mengenal paling tidak ada 3 pendekatan terhadap estimasi reliabilitas. Dan orang yang memberikan jawaban seperti di atas juga memilih metode estimasi reliabilitas yang hanya melakukan 1 kali administrasi tes. Jadi mana tingkat keajegannya?

Reliabilitas seperti yang sering diucapkan atau ditulis di buku, memiliki arti tingkat kepercayaan. Kita coba pilah kata ini menjadi Rely dan Ability atau dapat dipercaya. Tapi apa maksud dari dapat dipercaya ini? Yang dimaksud dapat dipercaya disini adalah seberapa besar kita bisa mempercayai hasil tes yang kita dapatkan, atau juga seberapa besar tingkat kesalahan yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes. Semakin besar tingkat kesalahan yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes, hasil yang diperoleh dari tes tersebut makin tidak dapat dipercaya, makin tidak reliabel.

Misalnya: seseorang dites (tes apa saja, karena reliabilitas tidak terlalu peduli dengan isu materi yang diteskan) kemudian memperoleh hasil sebesar 100. Nah jika tes tersebut reliabel, maka kita bisa yakin bahwa kapasitas orang tersebut memang 100. Atau dengan kata lain, angka 100 itu diperoleh bukan karena faktor lain selain kapasitas orang tersebut. Jika angka 100 ini diperoleh lebih banyak karena faktor lain (faktor lain ini yang disebut error), maka kita akan berkata bahwa tes tersebut tidak reliabel.

Konsep reliabilitas didasarkan pada asumsi bahwa dalam tiap pengetesan selalu ada
1.  X, skor yang kita peroleh dari hasil pengetesan (skor Tampak)
2. T, skor yang menggambarkan kapasitas seseorang yang sesungguhnya (skor Murni)
3. e, faktor lain selain kapasitas yang juga menyumbang terhadap perolehan X yang disebut juga error.
Dan ketiganya terkait satu sama lain dalam persamaan seperti ini :
X = T + e

Ini dapat dibaca seperti berikut : dalam setiap pengetesan, hasil tes yang kita peroleh merupakan fungsi penjumlahan dari skor Murni dan error. Tes dapat dikatakan reliabel jika Tes menghasilkan error yang kecil, sehingga hasil tes makin mencerminkan kapasitas yang sebenarnya (atau X = T ).

Lalu dari mana ide "keajegan" muncul?

Diasumsikan bahwa nilai T memiliki sifat ajeg dalam beberapa kali pengukuran pada subjek yang sama. Tapi keajegan ini hanya ada dalam abstraksi teoretik saja, karena keajegan yang dimaksud di sini adalah keajegan T jika memenuhi syarat tertentu :
 Tiap pengetesan bersifat saling independen, pengukuran pertama tidak mempengaruhi pengukuran berikutnya. Jadi anggaplah seseorang dites lalu dihipnotis untuk membuatnya lupa dengan jawaban dan soal yang telah diberikan.
 Kapasitas orang itu sendiri belum berubah. Jadi keajegan ini hanya mungkin jika setelah dites, orang ini dimasukkan dalam mesin waktu dan dikembalikan ke keadaannya saat dites pertama kali.

Mustahil? Ya jelas! maka dari itu ide mengenai keajegan ini hanya ada dalam abstraksi teoretik.

Namun demikian tentu saja kita tetap dapat mengestimasi reliabilitas dengan cara melakukan tes berulang lalu mengkorelasikan hasil tes pertama dengan tes kedua. Dengan mempertimbangkan beberapa kelemahan dan persyaratannya.

Dari beberapa asumsi yang mendasari pemikiran mengenai reliabilitas, kemudian diturunkanlah beberapa pendekatan untuk mengestimasi reliabilitas.
1. Pendekatan Tes-Retes.
Pendekatan ini mengestimasi reliabilitas tes dengan melakukan tes ulang, kemudian mengkorelasikan hasil tes pertama dengan hasil tes kedua. Hasil korelasi ini yang merupakan estimasi reliabilitasnya, sering juga disebut sebagai koefisien stabilitas atau keajegan. Jadi definisi reliabilitas =keajegan hanya berlaku untuk pendekatan ini. Tapi tentu saja karena tidak mungkin memenuhi persyaratan di atas, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
a. Hanya dapat diterapkan pada tes yang mengukur konstruk yang bersifat cenderung ajeg, misalnya kepribadian.
b. Estimasi reliabilitas akan dipengaruhi oleh adanya carry over effect. Maksudnya, jika jarak pengetesan pertama dan kedua sangat dekat, maka subyek akan cenderung mengingat jawaban yang diberikan pada pengetesan pertama. Ini membuat makin besarnya kemungkinan subyek akan memberikan jawaban pada pengetesan kedua yang cenderung sama dengan jawaban yang diberikan pada pengetesan pertama.Hal ini akan menyebabkan overestimasi reliabilitas, tes terkesan/ terlihat lebih reliabel daripada yang sebenarnya.
c. Estimasi reliabilitas juga dipengaruhi adanya practice effect. Ini terjadi ketika subyek, dalam rentang waktu antara tes pertama dan kedua, belajar atau berlatih untuk meningkatkan kapasitasnya, ini terjadi khususnya dalam estimasi reliabilitas tes performansi maksimal seperti tes prestasi. Practice effect akan menyebabkan underestimasi reliabilitas, tes terkesan tidak ajeg karena adanya pembelajaran, sehingga hasil tes kedua akan cenderung lebih baik dari hasil tes pertama.
2. Pendekatan Tes Paralel,
Pendekatan ini mengestimasi reliabilitas dengan menggunakan dua tes paralel, dua tes yang mengukur hal /konstruk yang sama, kemudian mengkorelasikan hasil pengetesan dari tes pertama dengan hasil tes paralelnya. Koefisien korelasi yang didapatkan disebut juga koefisien ekuivalensi. Namun demikian pendekatan ini sangat jarang (kalaupun ada) dilakukan karena sulitnya menghasilkan dua tes yang benar-benar paralel.
3. Pendekatan Konsistensi Internal
Pendekatan ini mengestimasi reliabilitas dengan membelah tes menjadi beberapa bagian, lalu "mengkorelasikan" bagian-bagian tersebut. "Korelasi" di sini sebenarnya tidak benar-benar mengkorelasikan bagian-bagian secara harafiah, tapi menggunakan formula-formula yang dikembangkan untuk mengestimasi reliabilitasnya. Koefisien yang diperoleh dinamai juga koefisien konsistensi internal. Pendekatan inilah yang paling sering digunakan selama ini karena lebih praktis dan ekonomis. Meskipun demikian pendekatan ini tidak dapat mengestimasi error yang diakibatkan oleh keadaan temporer karena hanya dilakukan satu kali. Jadi pendekatan ini memang bukan "jawaban terhadap segala masalah" dalam hal mengestimasi reliabilitas.

Validitas : Pengertian, Jenis-Jenis, dan Prinsip Validitas

A. Pengertian Validitas
Berikut ini beberapa pengertian validitas menurut para ahli:
1. Azwar (1986)
Menurut Azwar Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.

2. Sudjana (2004:12)
Pengertian validitas menurut Sudjana adalah ketepatan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang harus dinilai.

3. Suryabrata (2000:41)
Pengertian validitas menurut Suryabrata adalah derajat fungsi pengukuran suatu tes, atau derajat kecermatan ukurnya sesuatu tes. Validitas suatu tes mempermasalahkan apakah tes tersebut benar-benar mengukur atap yang hendak diukur.

4. Azwar (1987:173)
Pengertian validitas menurut Azwar adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menajalankan fungsi ukur secara tepat atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut.

5. Arikunto (1999:65)
Pengertian validitas menurut Arikunto adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesalihan suatu tes. Suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Tes memiliki validitas yang tinggi jika hasilnya sesuai denga kriteria, dalam arti memiliki kesejajaran antara tes dan kriteria.

6. Kusaeri (2012:75)
Pengertian validitas menurut Kusaeri adalah ketepatan (appropriateness), kebermaknaan (meaningfull) dan kemanfaatan (usefulness) dari sebuah kesimpulan yang didapatkan dari interpretasi skor tes.

7. Nursalam (2003)
Pengertian validitas menurut Nursalam adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau keshalihan suatu instrumen.

8. Neuman (2007)
Pengertian validitas menurut Neuman adalah menunjukkan keadaan yang sebenarnya dan mengacu pada kesesuaian antara konstruk, atau cara seorang peneliti mengkonseptualissasikan ide dalam definisi konseptual dan suatu ukuran. Hal ini mengacu pada seberapa baik ide tentang realitas “sesuai” dengan realitas aktual. Dalam istilah sederhana, validitas membahas pertanyaan mengenai seberapa baik realitas sosial yang diukur melalui penelitian sesuai dengan konstruk yang peneliti gunakan untuk memahaminya.

9. Anastasia dan Urbina (1998)
Pengertian validitas menurut Anastasia dan Urbina adalah mengenai apa dan seberapa baik suatu alat tes dapat mengukur, sedangkan reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika diuji berulang kali dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen (equivalent items) yang berbeda, atau dibawah kondisi pengujian yang berbeda.

10. Gronlund dan Linn (1990)
Pengertian validitas menurut Gronlund dan Linn adalah ketepatan interpretasi yang dibuat dari hasil pengukuran atau evaluasi.

11. Sukadji (2000)
Pengertian validitas menurut Sukadji adlaah derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang seharusnya diukur.

12. Walizer (1987)
Pengertian validitas menurut Walizer (1987) adalah tingkaat kesesuaian antara suatu batasan konseptual yang diberikan dengan bantuan operasional yang telah dikembangkan.


13. Aritonang (2997)
Menurut Aritonang R. (2007) validitas suatu instrumen berkaitan dengan kemampuan instrument itu untuk mengukur atu mengungkap karakteristik dari variabel yang dimaksudkan untuk diukur. Instrumen yang dimaksudkan untuk mengukur sikap konsumen terhadap suatu iklan, misalnya, harus dapat menghasilkan skor sikap yang memang menunjukkan sikap konsumen terhadap iklan tersebut. Jadi, jangan sampai hasil yang diperoleh adalah skor yang menunjukkan minat konsumen terhadap iklan itu.

14. Suharsimi Arikunto
Menurut Suharsimi Arikunto, validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen bersangkutan yang mampu mengukur apa yang akan diukur.

15. Menurut Soetarlinah Sukadji, validitas adalah derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas suatu tes tidak begitu saja melekat pada tes itu sendiri, tapi tergantung penggunaan dan subyeknya.

16. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Pengertian validitas menurut KBBI adalah sifat benar menurut bahan bukti yang ada, logika berpikir atau kekuatan hukum; sifat valid; kesahihan


Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki validitas rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.

Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat ukur tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A’ atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A’ atau B (Azwar 1986).

Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.

Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat ukur berat badan.

Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Azwar 1986).

Pengertian validitas juga sangat erat berkaitan dengan tujuan pengukuran. Oleh karena itu, tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan demikian, anggapan valid seperti dinyatakan dalam “alat ukur ini valid” adalah kurang lengkap. Pernyataan valid tersebut harus diikuti oleh keterangan yang menunjuk kepada tujuan (yaitu valid untuk mengukur apa), serta valid bagi kelompok subjek yang mana? (Azwar 1986)

Validitas suatu instrumen banyak dijelaskan dalam konteks penelitian sosial yang variabelnya tidak dapat diamati secara langsung, seperti sikap, minat, persepsi, motivasi, dan lain sebagainya. Untuk mengukur variabel yang demikian sulit, untuk mengembangkan instrumen yang memiliki validitas yang tinggi karena karakteristik yang akan diukur dari variabel yang demikian tidak dapat diobservasi secara langsung, tetapi hanya melalui indikator (petunjuk tak langsung) tertentu. (Aritonang R. 2007)

B. Jenis-jenis Validitas

Ebel (dalam Nazirz 1988) membagi validitas menjadi :
1. Concurrent Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja.

2. Construct Validity adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk tertentu dapat menyebabkan kinerja yang baik dalam pengukuran.

3. Face Validity adalah validitas yang berhuubungan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur.

4. Factorial Validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan faktor-faktor yang bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya, di mana validitas ini diperoleh dengan menggunakan teknik analisis faktor.

5. Empirical Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria. Kriteria tersebut adalah ukuran yang bebas dan langsung dengan apa yang ingin diramalkan oleh pengukuran.

6. Intrinsic Validity adalah validitas yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bhwa suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang seharusny diukur.

7. Predictive Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerj seorang di msa mendatang.

8. Content Validity adalah validitas yang berkenaan dengan baik buruknya sampling dari suatu populasi.

9. Curricular Validity adalah validitas yang ditentukan dengan cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pungukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-aspek sesuai dengan tujuan instruksional.

Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga yaitu:
1. Content validity (Validitas isi) adalah validitas yang diperhitungkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah “sejauh mana item-item dalam suatu alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur oleh alat ukur yang bersangkutan?” atau berhubungan dengan representasi dari keseluruhan kawasan.

Validitas isi suatu instrumen berkaitan dengan kesesuaian antara karakteristik dari variaabel yang dirumuskan pada definisi konseptual dan operasionalnya. Apabila semua karakteristik variabel yang dirumuskan pada definisi konseptualnya dapat diungkap melalui butir-butir suatu instrument, maka instrument itu dinyatakan memiliki validitas isi yang baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak akan pernah tercapai karena sulitnya untuk mendefinisikan keseluruhan karakteristik itu. Selain itu, dari seluruh karakteristik yang dirumuskan pada definisi konseptual suatu variabel seringkali sulit untuk mengembangkan butir-butir yang valid untuk mengungkap atau mengukurnya.

Validitas isi dapat dianalisis dengan cara memperhatikan penampakan luar dari instrument dan dengan menganalisis kesesuaian butir-butirnya dengan karakteristik yang dirumuskan pada definisi konseptual variabel yang diukur. Validitas yang dianalisis dengan memperhatikan penampilan luar instrument itu disebut validitas tampang (face validity). Validitas tampang dievaluasi dengan membaca dan menyelidiki butir-butir instrument serta sekaligus membandingkannya dengan definisi konseptual mengenai variabel yang akan diukur. Validitas yang dianalisis dengan memperhatikan kerepresentativan butir-butir instrument disebut validitas penyampelan (sampling validity) atau kuikulum (curriculum validity). Validitas tampang maupun penyampelan disebut juga sebagai validitas teoritis karena penganalisisannya lazim dilakukan tanpa didasarkan pada data empiris. Alat yang digunakan untuk menganalisis validitas itu adalah logika dari orang yang menganalisisnya.

Menurut Saifuddin Azwar, validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah ”sejauh mana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan ini (dengan catatan tidak keluar dari batasan tujuan ukur) objek yang hendak diukur” atau ”sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur”.

Selanjutnya, validitas isi terbagi lagi menjadi dua tipe (Saifuddin Azwar), yaitu:
1. Face Validity (Validitas Muka) adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak sesuai dengan apa yang ingin diukur maka dapat dikatakan maka validitas muka telah terpenuhi.
2. Logical Validity (Validitas Logis) disebut juga sebagai Validitas Sampling (Sampling Validity) adalah validitas yang menunjuk pada sejauh mana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek yang hendak diukur.

Validitas logis sangat penting peranannya dalam penyusunan prestasi dan penyusunan skala, yaitu dengan memanfaatkan blue-print atu table spesifikasi.
2. Construct validity (Validitas konstruk) adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana alat ukur mengungkap suatu trait atau konstruk teoritis yang hendak diukurnya. (Allen & Yen, dalam Azwar 1986).
Pengujian validitas konstruk merupakan prosesyang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang diukur.

Menurut Saifuddin Azwar, validitas konstruk adalah seberapa besar derajat tes mengukur hipotesis yang dikehendaki untuk diukur. Konstruk adalah perangai yang tidak dapat diamati, yang menjelaskan perilaku. Menguji validitas konstruk mencakup uji hipotesis yang dideduksi dari suatu teori yang mengajukan konstruk tersebut.
3. Criterion-related validity (Validitas berdasar kriteria). Validitas ini menghendaki tersedianya criteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan diprediksi oleh skor alat ukur.

Dilihat dari segi waktu untuk memperoleh skor kriterianya, prosedur validasi berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas (Saifuddinn Azwar), yaitu:
1. Validitas Prediktif.
Validitas Prediktif sangat penting artinya bila alat ukur dimaksudkan untuk berfungsi sebagai predictor bagi kinerja di masa yang akan datang. Contoh situasi yang menghendaki adanya prediksi kinerja ini antara lain adalah dalam bimbingan karir; seleksi mahasiswa baru, penempatan karyawan, dan semacamnya.
Menurut Saifuddin Azwar, validitas prediktif adalah seberapa besar derajat tes berhasil memprediksi kesuksesan seseorang pada situasi yang akan datang. Validitas prediktif ditentukan dengan mengungkapkan hubungan antara skor tes dengan hasil tes atau ukuran lain kesuksesan dalam satu situasi sasaran.

2. Validitas Konkuren.
Apabila skor alat ukur dan skor kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang sama, maka korelasi antara kedua skor termaksud merupakan koefisien validitas konkuren.

Menurut Saifuddin Azwar, validitas ini menunjukkan seberapa besar derajat skor tes berkorelasi dengan skor yang diperoleh dari tes lain yang sudah mantap, bila disajikan pada saat yang sama, atau dibandingkan dengan criteria lain yang valid yang diperoleh pada saat yang sama.

Asosiasi Psikologi Amerika (APA) (1974; dalam Anastasia, 1982) membedakan tiga tipe validitas, yaitu validitas isi, yang dikaitkan dengan criteria, dan konstruk. Ketiga tipe validitas tersebut dapat diuji dengan dan atau tanpa menggunakan instrument yang telah teruji validitas maupun reabilitasnya.

C. Prinsip Validitas
Ada beberapa prinsip ketika melakukan uji validitas, yaitu antara lain:

1. Interpretasi yang diberikan pada asesmen hanya valid terhadap derajat yang diarahkan ke suatu bukti yang mendukung kecocokan dan kebenarannya.
2. Penggunaan yang bisa dibuat dari hasil asesment hanya valid terhadap dejarat yang arahnya ke suatu bukti yang mendorong kecocokan dan kebenarannya.
3. Interpretasi dan kegunaan dari hasil asesment hanga valid ketika nilai (values) yang didapatkan sesuai
4. Interpretasi dan kegunaan dari hasil asesment hanya valid ketika konsekuensi (consequences) dari interpretasi dan kegunaan ini konsisten dengan nilai kecocokan.

Tuesday, 24 September 2019

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI)

A. Sejarah Group Investigation (GI)
Salah satu model pembelajaran yang mendukung keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar adalah model pembelajaran GI (Krismanto, 2003:6).
Sudjana (Mudrika, 2007:15) mengemukakan bahwa GI dikembangkan oleh Herbert Thelen sebagai upaya untuk mengkombinasikan strategi mengajar yang berorientasi pada pengembangan proses pengkajian akademis. Kemudian Joyce dan Weil (1980:230) menambahkan bahwa model pembelajaran GI yang dikembangkan oleh Thelen yang bertolak dari pandangan John Dewey dan Michaelis yang memberikan pernyataan bahwa pendidikan dalam masyarakat demokrasi seyogyanya mengajarkan demokrasi langsung.



Selanjutnya Aisyah (2006:15) mengutarakan bahwa model pembelajaran GI kemudian dikembangkan oleh Sharan dan sharen pada tahun 1970 di Israel. Sementara itu Tsoi, Goh, dan Chia (Aisyah, 2006:11) menambahkan bahwa model pembelajaran GI secara filosofis beranjak dari faradigma konstruktivis. Dimana belajar menurut pandangan konstruktivis merupakan hasil konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Pandangan penekanan bahwa pengetahuan kita adalah hasil pembentukan kita sendiri (Suparno, dalam Trianto, 2007:28)

B.Model Pembelajaran Group Investigation (GI)
Arifin dan Afandi (2015: 13) mengungkapkan bahwa Group Investigation (GI) merupakan, pembelajaran dimana siswa dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik/ sub topik maupun cara untuk pembelajaran secara investigasi dan model ini menuntut para siswa memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik dalam arti bahwa pembelajaran investigasi kelompok itu metode yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informan) pelajaran yang akan di pelajari melalui bahan-bahan yang tersedia misalnya dari buku pelajaran, masyarakat, internet. Group investigation (GI) dapat melatih siswa untuk menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.

Menurut Anwar (Aisyah, 2006:14) secara harfiah investigasi diartikan sebagai penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta-fakta, melakukan peninjauan dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang suatu peristiwa atau sifat. Selanjutnya Krismanto (2003:7) mendefinisikan investigasi atau penyelidikan sebagai kegiatan pembelajaran yang memberikan kemungkinan siswa untuk mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan dan hasil yang benar sesuai pengembangan yang dilalui siswa.

Height (Krismanto, 2003:7) menyatakan to investigation berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Dengan demikian akan dapat dibiasakan untuk lebih mengembangkan rasa ingin tahu. Hal ini akan membuat siswa untuk lebih aktif berpikir dan mencetuskan ide-ide atau gagasan, serta dapat menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusinya di kelas.

Model investigasi kelompok merupakan model pembelajaran yang melatih para siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial dan melalui pengalaman, secara bertahap belajar bagaimana menerapkan metode ilmiah untuk meningkatkan kualitas masyarakat. model ini merupakan bentuk pembelajaran yang mengkombinasikan dinamika proses demokrasi dengan proses inquiry akademik. melalui negosiasi siswa-siswa belajar pengetahuan akademik dan mereka terlibat dalam pemecahan masalah sosial. dengan demikian kelas harus menjadi sebuah miniatur demokrasi yang menghadapi masalah-masalah dan melalui pemecahan masalah, memperoleh pengetahuan dan menjadi sebuah kelompok sosial yang lebih efektif.

Selanjutnya Thelen (Joyce dan Weil, 1980:332) mengemukakan tiga konsep utama dalam pembelajaran GI, yaitu:
1. Inquiry
2. Knowledge
3. The dynamics of the learning group

Sementara itu Setiawan (2006:10) mendeskripsikan fase-fase dalam pembelajaran GI yaitu sebagai berikut:
1. Fase membaca, menerjemahkan, dan memahami masalah
Pada fase ini siswa harus memahami permasalahnnya dengan jelas. Apabila dipandang perlu membuat rencana apa yang harus dikerjakan, mengartikan persoalan menurut bahasa mereka sendiri dengan jalan berdiskusi dalam kelompoknya, yang kemudian didiskusikan dengan kelompok lain. Jadi pada fase ini siswa memperlihatkan kecakapan bagaimana ia memulai pemecahan suatu masalah, dengan:
a. Menginterpretasikan soal berdasarkan pengertiannya
b. Membuat suatu kesimpulan tentang apa yang harus dikerjakannya.

2. Fase pemecahan masalah
Pada fase ini mungkin siswa menjadi bingung apa yang harus dikerjakan pertama kali, maka peran guru sangat diperlukan, misalnya memberikan saran untuk memulai dengan suatu cara, hal ini dimaksudkan untuk memberikan tantangan atau menggali pengetahuan siswa, sehingga mereka terangsang untuk mecoba mencari cara-cara yang mungkin untuk digunakan dalam pemecahan soal tersebut, misalnya dengan membuat gambar, mengamati pola atau membuat catatan-catatan penting. Pada fase ini siswa diharapkan melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mendiskusikan dan memilih cara atau strategi untuk menangani permasalahan
b. Memilih dengan tepat materi yang diperlukan
c. Menggunakan berbagai macam strategi yang mungkin
d. Mencoba ide-ide yang mereka dapatkan pada fase a.
e. Memilih cara-cara yang sistematis
f. Mencatat hal-hal penting
g. Bekerja secara bebas atau bekerja bersama-sama (atau kedua-duanya)
h. Bertanya kepada guru untuk mendapatkan gambaran strategi untuk penyelesaian
i. Membuat kesimpulan sementara
j. Mengecek kesimpulan sementara yang didapat sehingga yakin akan kebenarannya

3. Fase menjawab dan mengkomunikasikan jawaban
Setelah memecahkan masalah, siswa harus diberikan pengertian untuk mengecek kembali hasilnya, apakah jawaban yang diperoleh itu cukup komunikatif atau dapat dipahami oleh orang lain, baik tulisan, gambar, ataupun penjelasannya. Pada intinya fase ini siswa diharapkan berhasil:
a. Mengecek hasil yang diperoleh
b. Mengevaluasi pekerjannya
c. Mencatat dan menginterpretasikan hasil yang diperoleh dengan berbagai cara
d. Mentransfer keterampilan untuk diterapkan pada persoalan yang lebih kompleks

Sejalan dengan pendapat Setiawan di atas, Sharen et al (Krismanto, 2003:8) mendisain model pembelajaran GI menjadi enam tahapan, yaitu:
a. Tahap mengidentifikasi topik dan pengelompokan
Para Siswa menelaah sumber-sumber informasi, memilih topik, dan mengategorisasi saran-saram; para siswa bergabung ke dalam kelompok belajar dengan pilihan topik yang sama; komposisi kelompok didasarkan atas ketertarikan topik yang sama dan heterogen;  mengusulkan sejumlah topik, dan mengkategorikan saran-saran. Guru membantu atau memfasilitasi dalam memperoleh informasi.

b. Tahap merencakan penyelidikan kelompok
Direncanakan secara bersama-sama oleh para siswa dalam kelompoknya masing-masing, yang meliputi: apa yang kita selidiki; bagaimana kita melakukannya, siapa sebagai apa-pembagian kerja; untuk tujuan apa topik ini diinvestigasi.

c. Tahap melaksakan penyelidikan
Siswa mencari informasi, menganalisis data, dan membuat kesimpulan kelompok; Setiap kelompok-kelompok berkontribusi kepada usaha kelompok; para siswa bertukar pikiran, mendiskusikan, mengklarifikasi, dan mensintesis ide-ide.

d. Tahap menyiapkan laporan akhir
Anggota kelompok menentukan pesan-pesan esensial proyeknya; merencanakan apa yang akan dilaporkan dan bagaimana membuat presentasinnya; membentuk panitia acara untuk mengoordinasikan rencana presentasi.

e. Tahap menyajikan laporan
Presentasi dibuat untuk keseluruhan kelas dalam berbagai macam bentuk; bagian-bagian presentasi harus secara aktif dapat melibatkan pendengar (kelompok lainnya); pendengar mengevaluasi kejelasan presentasi menurut kriteria yang telah ditentukan keseluruhan kelas.

f. Tahap evaluasi
Para siswa berbagi mengenai balikan terhadap topik yang dikerjakan, kerja yang telah dilakukan, dan pengalaman-pengalaman afektifnya; guru dan siswa berkolaborasi untuk mengevaluasi pembelajaran; asesmen diarahkan untuk mengevaluasi pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis.

C. Peran guru dalam model pembelajaran GI
Setiawan (2006:12) mendeskripsikan peranan guru dalam pembelajaran GI sebagai berikut:
a. Memberikan informasi dan instruksi yang jelas
b. Memberikan bimbingan seperlunya dengan menggali pengetahuan siswa yang menunjang pada pemecahan masalah (bukan menunjukan cara penyelesaianya)
c. Memberikan dorongan sehingga siswa lebih termotivasi
d. Menyiapkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh siswa
e. Memimpin diskusi pada pengambilan kesimpulan akhir

D. Kelebihan Pembelajaran GI
Setiawan (2006:9) mendeskripsikan beberapa kelebihan dari pembelajaran GI, yaitu sebagai berikut:
1. Secara Pribadi
a. dalam proses belajarnya dapat bekerja secara bebas
b. memberi semangat untuk berinisiatif, kreatif, dan aktif
c. rasa percaya diri dapat lebih meningkat
d. dapat belajar untuk memecahkan, menangani suatu masalah
2. Secara Sosial / Kelompok
a. meningkatkan belajar bekerja sama
b. belajar berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun guru
c. belajar berkomunikasi yang baik secara sistematis
d. belajar menghargai pendapat orang lain
e. meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan

E.Kekurangan model belajar GI
1.Sedikitnya materi yang tersampaikan pada satu kali pertemuan
2.Sulitnya memberikan penilaian secara personal
3.Tidak semua topik cocok dengan model pembelajaran GI, meodel pembelajran GI cocok untuk diterapkan pada suatu topik yang menuntut siswa untuk memahami suatu bahasan dari pengalaman yang dialami sendiri
4.Diskusi kelompok biasanya berjalan kurang efektif
Berdasarkan pemaparan mengenai model pembelajaran GI tersebut, jelas bahwa model pembelajaran GI mendorong siswa untuk belajar lebih aktif dan lebih bermakna. Artinya siswa dituntut selalu berfikir tentang suatu persoalan dan mereka mencari sendiri cara penyelesaiannya. Dengan demikian mereka akan lebih terlatih untuk selalu menggunakan keterampilan pengetahuannya, sehingga pengetahuan dan pengalaman belajar mereka akan tertanam untuk jangka waktu yang cukup lama (Setiawan, 2006:9).

Hal ini sesuai dengan pendapat Pieget (Sagala, 2007:24) bahwa dalam proses perkembangan dan pertumbuhan kognitif anak terjadi proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi merupakan penyesuaian atau mencocokan informasi yang baru dengan apa yang telah ia ketahui. Sedangkan proses akomodasi adalah anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru itu dapat disesuaikan dengan lebih baik. Sementara itu menurut Suherman (2003:36) bahwa proses asimilasi dan akomodasi merupakan perkembangan skemata. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak.

Kemudian jika dilihat dari fase-fse pembelajaran GI, terlihat adanya proses interaksi antara siswa dalam pembelajaran, memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara berkelompok dalam menyelidiki, menemukan, dan memecahkan masalah. Dengan demikian diharapkan kompetensi penalaran siswa dapat lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Pieget (Sagala, 2007:190) bahwa pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat distimulasi oleh konfrontasi kritis, khususnya dengan teman-teman setingkat. Oleh karena itu diharapkan dengan menggunakan model pembelajaran GI ini, kompetensi penalaran siswa dapat lebih baik daripada pembelajaran secara ekspositori.