Thursday, 5 February 2015

Teori Belajar Thorndike


Edward Lee Thorndike ialah seorang fungsionalis. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun 1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti kelasnya Williyams James dan mereka pun menjadi akrab. Thorndike menerima beasiswa di Colombia, dan dapat menyelesaikan gelar PhD-nya tahun 1898. Kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombiaa sampai pensiun tahun 1940. Thorndike berhasil menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal”. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah asosiasi. 
Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori stimulus-respon (S-R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (hewan, orang) belajar dengan cara coba salah (trial end error). Apabila suatu organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan tingkah laku yang serentak dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Sebagai contoh seekor kucing yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.

1.      Definisi Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike (Budiningsih, 2005: 21) belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Thorndike dalam teori belajarnya mengungkapkan bahwasanya setiap tingkah laku makhluk hidup itu merupakan hubungan antara stimulus dan respon, adapun teori Thorndike ini disebut teori konesionisme. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Dengan artian dengan adanya stimulus itu maka diharapkan timbul respon yang maksimal. Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error  dalam teori ini orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan.
Dalam teori trial dan error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme ini dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba atau bisa juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus itu pasti ditemui respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu menimbulkan perbuatan atau tindakan yang cocok atau memuaskan maka tindakan ini akan disimpan dalam benak seseorang atau organisme lainnya karena dirasa diantara tindakan-tindakan yang paling cocok adalah tindakan itu, selama yang telah dilakukan dalam menanggapi stimulus adalah situasi baru. Jadi dalam teori ini pengulangan-pengulangan respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau stimulus baru itu sangat penting sehingga seseorang atau organisme mampu menemukan tindakan yang tepat dan dilakukan secara terus-menerus agar lebih tajam dan tidak terjadi kemunduran dalam tindakan atau respon terhadap stimulus.
Dalam membuktikan teorinya Thorndike melakukan percobaan terhadap seekor kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh di kandang, yang mana kandang tersebut terdapat celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat makanan yang berada di luar kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri apabila seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang tersebut. Mula-mula kucing tersebut mengitari kandang beberapa kali sampai ia menemukan jeruji yang bisa membuka pintu kandang, kucing ini melakukan respon atau tindakan dengan cara coba-coba, ia tidak mengetahui jalan keluar dari kandang tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada. Thorndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut dalam menemukan jalan keluar memerlukan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan jumlah yang banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang ada, maka kucing tadi dalam menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari kandang, ia pegang tindakan ini sehingga kucing ini dapat keluar untuk mendapatkan makanan dan tidak perlu lagi mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok. Akan tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk makan.
2.      Ciri-ciri Belajar Menurut Thorndike
Adapun beberapa ciri-ciri belajar menurut Thorndike (Kartika, 2013: 6), antara lain:
a.       Ada motif pendorong aktivitas.
b.      Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
c.       Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah.
d.      Ada kemajuan reksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
3.      Hukum-hukum yang Digunakan Edward Lee Thorndike
Thorndike menyatakan bahwa belajar pada hewan maupun manusia berlangsung berdasarkan tiga macam hukum pokok belajar, yaitu :
a.      Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang hendak belajar agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik maupun psikis. Siap fisik seperti seseorang tidak dalam keadaan sakit, yang mana  bisa mengganggu kualitas konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa dan lain-lain. Disamping seseorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecalapan-kecakapan yang mendasarinya.
Menurut Thorndike (Ayuni, 2011: 9) ada tiga keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini, yaitu :
a.       Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan.
b.      Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku, dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kekecewaan.
c.       Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.
Di samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan transfer of training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting, sebab seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan dipelajari tidak akan bermakna.
b.      Hukum Latihan (Law of Exercise)
Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang-ulang, adapun latihan atau pengulangan perilaku yang cocok yang telah ditemukan dalam belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan existensi dari perilaku yang cocok tersebut semakin kuat (Law of Use). Dalam suatu teknik agar seseorang dapat mentransfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke long time memory ini dibutuhkan pengulangan sebanyak-banyaknya dengan harapan pesan yang telah didapat tidak mudah hilang dari benaknya.
c.       Hukum Akibat (Law of Effect)
Hukum akibat Thorndike mengemukakan (Dahar, 2011: 18) jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.
Thorndike mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang hanya bertindak jika ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya. Dalam dunia pendidikan Law of Effect ini terjadi pada tindakan  seseorang dalam memberikan punishment atau reward. Akan tetapi dalam dunia pendidikan menurut Thorndike yang lebih memegang peranan adalah pemberian reward dan inilah yang lebih dianjurkan. Teori Thorndike ini biasanya juga disebut  teori koneksionisme karena dalam hukum belajarnya ada “Law of Effect” yang mana di sini terjadi hubungan antara tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh stimulus dan situasi dan tingkah laku tersebut mendatangkan hasilnya (effect). 

Selain hukum pokok belajar tersebut di atas, masih terdapat hukum subside atau hukum-hukum minor lainnya, yaitu :
a.      Law of Multiple Response
Supaya sesuatu respons itu memperoleh hadiah atau berhasil, maka respons itu harus terjadi. Apabila individu dihadapkan pada sesuatu soal, maka dia akan mencoba-coba berbagai cara, apabila tingkah laku yang tepat (yakni yang membawa penyelesaian atau berhasil) dilakukan maka sukses terjadi, dan proses belajar pun terjadi. Hal tersebut akan berlaku sebaliknya.
b.      Law of Attitude (Law of Set, Law of Disposition)
Respons-respons apa yang dilakukan oleh individu itu ditentukan oleh cara penyelesaian individu yang khas dalam menghadapi lingkungan kebudayaan tertentu. Sikap (attitude) tidak hanya menentukan apa yang akan dikerjakan oleh seseorang tetapi juga cara yang kiranya akan memuaskan atau tidak memuaskan baginya. Proses belajar ini dapat berlangsung bila ada kesiapan mental yang positif pada siswa
c.       Law of Partial Activity (Law of Prepotency Element)
Pelajar dapat bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Manusia dapat memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal-hal yang pokok itu serta meninggalkan hal-hal yang kecil.
d.      Law of Response by Analogy (Law of Assimilation)
Orang bereaksi terhadap situasi yang baru sebagaimana dia bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan itu yang dihadapinya diwaktu yang lalu, atau dia bereaksi terhadap hal atau unsur tertentu dalam situasi yang telah berulang kali dihadapinya. Jadi, respons-respons selalu dapat diterangkan dengan apa yang telah pernah dikenalnya, dengan kecenderungan asli yang berespons.
e.       Law of Assosiative Shifting
Bila suatu respons dapat dipertahankan berlaku dalam serangkaian perubahan -perubahan bahan dalam situasi yang merangsang, maka respons itu akhirnya dapat diberikan kepada situasi yang sama sekali baru.
4.      Prinsip-prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Thorndike
a.       Pada saat berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon ia lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatlan respon atau tindakan yang  cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua dihadapkan dengan perilaku anak yang kurang wajar.
b.      Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa perkembangan dan menyongsong masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah mengetahui unsur yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.
c.       Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan, sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
d.      Orang cenderung memberi respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka tentu ia akan merespon situasi tersebut seperti yang ia lakuan seperti dahulu ia lakukan.
e.       Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai hubungan.
f.       Manakala suatu respon cocok dengan situasinya maka relatif lebih mudah untuk dipelajari.
5.      Keunggulan-keunggulan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike
1.      Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error  dalam teori ini orang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya sehingga orang akan terbiasa berpikir dan terbiasa mengembangkan pikirannya.
2.      Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
6.      Kelemahan-kelemahan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike
1.      Terlalu memandang manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia. 
2.      Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus-menerus.
3.      Karena belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemempuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

6 comments:
Write komentar
  1. Sangat bermanfaat :)
    Kalau boleh saya tau sumbernya didapat darimana ya?

    ReplyDelete
  2. Sangat bermanfaat :)
    Kalau boleh saya tau sumbernya didapat darimana ya?

    ReplyDelete
  3. Izin buat referensi tugas kuliah kak �� terimakasih ^^

    ReplyDelete
  4. lihat juga:
    http://www.ruangwacana.com/2017/01/teori-belajar-thorndike-dan-penerapanya.html
    semoga bisa menjadi komparasi

    ReplyDelete