Monday 16 April 2018

Teori Belajar Gagne

A.     Teori Belajar Menurut Robert M. Gagne


Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya ia banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk mengujipenerapan teorinya (Depdiknas, 2005:13).
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang paling besar pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Lingkungan indiviu seseorang meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai lingkungan sosial. Berbagai lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh seseorang dan selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa ia nantinya.
Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu bersifat kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan mengakibatkan perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan sikap, perubahan minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap meskipun hanya sementara.
Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru.

B.      Objek Belajar Matematika

Menurut Gagne belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, ketekunan, ketelitian, disiplin diri, bersikap positif terhadap matematika. Sedangkan objek tak langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip.

1.    Fakta
Fakta adalah konvensi (kesepakatan) dalam matematika seperti simbol-simbol matematika. Fakta bahwa 2 adalah simbol untuk kata ”dua”, simbol untuk operasi penjumlahan adalah ”+” dan sinus suatu nama yang diberikan untuk suatu fungsi trigonometri. Fakta dipelajari dengan cara menghafal, drill, latiahan, dan permainan.

2.    Ketrampilan
Keterampilan(Skill) adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil tertentu. Contohnya; keterampilan melakukan pembagian bilangan yang cukup besar, menjumlahkan pecahan dan perkalian pecahan desimal. Para siswa dinyatakan telah memperoleh keterampilan jika ia telah dapat menggunakan prosedur atau aturan yang ada dengan cepat dan tepat. Ketrampilan menunjukkan kemampuan memberikan jawaban dengan cepat dan tepat.

3.     Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengelompokkan suatu objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Contohnya ; konsep himpunan, segitiga, kubus, lingkaran, dll. Siswa dikatakan telah mempelajari suatu konsep jika ia telah dapat membedakan contoh dan bukan contoh. Untuk sampai ke tingkat tersebut, siswa harus dapat menunjukkan atribut atau sifat-sifat khusus dari objek yang termasuk contoh dan yang bukan contoh.

4.     Prinsip
Prinsip adalah pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau lebih. Prinsip merupakan yang paling abstrak dari objek matematika yang berupa sifat atau teorema. Contohnya, teorema Pytagoras yaitu kuadrat hipotenusa pada segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat dari dua sisi yang lain. Untuk mengerti teorema Pytagoras harus mengetahui konsep segitiga siku-siku, sudut dan sisi. Seorang siswa dinyatakan telah memahami prinsip jika ia dapat mengingat aturan, rumus, atau teorema yang ada; dapat mengenal dan memahami konsep-konsep yang ada pada prinsip tersebut; serta dapat menggunakannya pada situasi yang tepat.

C.     Sistematika ”Delapan Tipe Belajar”

Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu:

1.     Belajar Isyarat (Signal Learning)
Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya. Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, stimulus-stimulus tertentu secara berulang kali. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional, selainnya timbulnya dengan tak sengaja dan tidak dapat dikuasai.
Beberapa ucapan kasar untuk mempermalukan, siswa yang gelisah pada saat pelajaran matematika mungkin karena kondisi tidak suka matematika pada orang itu. Belajar isyarat sukar dikontrol oleh siswa dan dapat mempunyai pengalaman yang pantas dipertimbangkan pada tindakannya. konsekuensinya, seorang guru matematika, seharusnya mencoba membangkitkan stimulus yang tidak dikondisikan yang akan menimbulkan perasaan senang pada siswa dan berharap mereka akan mengasosiasikan beberapa perasaan senang dengan isyarat netral pada pelajaran matematika. Apabila perlakuan yang disenangi membangkitkan hal-hal positif, stimulus yang tidak diharapkan mungkin gagal menimbulkan asosiasi keinginan positif dengan isyarat netral, kecerobohan menimbulkan stimulus negatif, pada satu waktu akan merusak keinginan siswa untuk mempelajari pelajaran yang diajarkan.

2.     Belajar Stimulus-Respons (Stimulus-Respon Learning)
Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat penguatannya. Kemampuan tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respon dapat diatur dan dikuasai. Respon bersifat spesifik, tidak umum, dan kabur. Respon diperkuat dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respon itu.

3.      Rantai atau Rangkaian hal (Chaining)
Tipe belajar ini masih mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik. Chaining ini terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi, jadi berdasarkan ”contiguity”. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe balajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Kebanyakan aktivitas dalam matematika memerlukan manipulasi dari peralatan fisik seperti mistar, jangka, dan model geometri membutuhkan chaining. Belajar membuat garis bagi suatu sudut dengan menggunakan jangka membutuhkan penerapan keterampilan tipe stimulus respn yang telah dipelajari sebelumnya. Diantaranya kemampuan menggunakan jangka untuk menarik busur dan membuat garis lurus antara dua titik.
Ada dua karakteristik dari belajar stimulus respon dan belajar rangkaian dalam pengajaran Matematika yaitu siswa tidak dapat menyempurnakan rangkaian stimulus respon apabila tidak menguasai salah satu keterampilan dari rangkaian tersebut, dan belajar stimulus respon dan rangkaian diafasilitasi dengan cara memberikan penguatan bagi tingkah laku yang diinginkan. Meskipun memberi hukuman dapat digunakan untuk meningkatkan belajar stimulus respon, tetapi hal tersebut dapat berakibat negatif terhadap emosi, sikap, dan motivasi belajar.

4.    Asosiasi Verbal (Verbal Association)
Asosiasi verbal adalah rangkaian dari stimulus verbal yang merupakan hubungan dari dua atau lebih tindakan stimulus respon verbal yang telah dipelajari sebelumnya. Tipe paling sederhana dari belajar rangkaian verbal adalah asosiasi antara suatu objek dengan namanya yang melibatkan belajar rangkaian stimulus respon dari tampilan objek dengan karakteristiknya dan stimulus respon dari pengamatan terhadap suatu objek dan memberikan tanggapan dengan menyebutkan namanya.
Asosiasi verbal melibatkan proses mental yang sangat kompleks. Asosiasi verbal yang memerlukan penggunaan rangkaian mental intervening yang berupa kode dalam bentuk verbal, auditory atau gambar visual. Kode ini biasanya terdapat dalam pikiran siswa dan bervariasi pada tiap siswa dan mengacu kepada penyimpanan kode-kode mental yang unik. Contoh seseorang mungkin menggunakan kode mental verbal ”y ditentukan oleh x” sebagai petunjuk kata fungsi, orang lain mungkin memberi kode fungsi dengan menggunakan simbol ”y=f(x)” dan orang yang lain lagi mungkin menggunakan visualisasi diagram panah dari dua himpunan.

5.     Belajar Diskriminasi (Discrimination Learning)
Discrimination learning atau belajar menmbedakan sejumlah rangkaian, mengenal objek secara konseptual dan secara fisik. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua peransang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Contohnya: anak dapat membedakan manusia yang satu dengan yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak-anak.
Terdapat dua macam diskriminasi yaitu diskriminasi tunggal dan diskriminasi ganda. Contoh mengenalkan angka 2 pada anak dengan memperlihatkan 50 angka 2 pada kertas dan menggambar angka 2. Melalui stimulus respon sederhana anak belajar mengenal (nama ”dua” untuk konsep dua). Sedangkan untuk diskriminasi ganda anak belajar mengenal angka 0, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan membedakan angka-angka tersebut.

6.     Belajar konsep (Concept Learning)
Belajar konsep adalah mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan mengelompokan objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal ini belajar konsep adalah lawan dari belajar dari diskriminasi. Belajar diskriminasi menuntut siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam karakteristik yang berbeda sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek karena dalam karakteristik umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum.
Dalam belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari prasyarat harus dilibatkan. Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan dengan prasyarat rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan diskriminasi dari karakteristik yang berbeda . Sebagai contoh, tahap pertama belajar konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai suatu membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat mengulangi kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda sebagai lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa mungkin belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti dan lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran. Kemampuan membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang baru merupakan Kemampuan yang membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar lain. Ketika siswa telah mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan waktu lama untuk mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari suatu konsep, sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah dipelajari adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu konsep baru kepada siswa:
a. Memberikan variasi hal-hal yang berbeda konsep untuk menfasilitasi generalisasi.
b. Memberikan contoh-contoh perbedaan dikaitkan dengan konsep untuk membantu diskriminasi.
c. Memberikan yang bukan contoh dari konsep untuk meningkatkan pemahaman diskriminasi dan generalisasi.
d. Menghindari pemberian konsep yang mempunyai karakteristik umum.

7.      Belajar Aturan (Rule Learning)
Belajar aturan (Rule learning) adalah kemampuan untuk merespon sejumlah situasi (stimulus) dengan beberapa tindakan (Respon). Kebanyakan belajar matematika adalah belajar aturan. sebagai contoh, kita ketahui bahwa 5 x 6 = 6 x 5 dan bahwa 2 x 8 = 8 x 2; akan tetapi tanpa mengetahui bahwa aturannya dapat dinyatakan dengan a x b = b x a. Kebanyakan orang pertama belajar dan menggunakan aturan bahwa perkalian komutatif adalah tanpa dapat menyatakan itu, dan biasanya tidak menyadari bahwa mereka tahu dan menerapkan aturan tersebut. Untuk membahas aturan ini, harus diberikan verbal(dengan kata-kata) atau rumus seperti “ urutan dalam perkalian tidak memberikan jawaban yang berbeda” atau “untuk setiap bilangan a dan b, a x b = b x a.
Aturan terdiri dari sekumpulan konsep. Aturan mungkin mempunyai tipe berbeda dan tingkat kesulitan yang berbeda. Beberapa aturan adalah definisi dan mungkin dianggap sebagai konsep terdefinisi.
konsep terdefinisi n! = n (n – 1) (n -2). . . (2)(1) adalah aturan yang menjelaskan bagaimana mengerjakan n! Aturan-aturan lain adalah rangkaian antar kosep yang terhubung, seperti aturan bahwa keberadaan sejumlah operasi aritmetika seharusnya dikerjakan dengan urutan x, :, +, – . Jika siswa sedang belajar aturan mereka harus mempelajari sebelumnya rangkaian konsep yang menyusun aturan tersebut. Kondisi-kondisi belajar aturan mulai dengan merinci perilaku yang diinginkan pada siswa. seorang siswa telah belajar aturan apabila dapat menerapkan aturan itu dengan tepat pada beberapa situasi yang berbeda.
Robert Gagne memberikan 5 tahap dalam mengajarkan aturan:
Tahap 1 : menginformasikan pada siswa tentang bentuk perilaku yang diharapkan ketika belajar
Tahap 2 : bertanya ke siswa dengan cara yang memerlukan pemanggilan kembali konsep yang telah dipelajari sebelumnya yang menyusun konsep
Tahap 3 : menggunakan pernyataan verbal (petunjuk) yang akan mengarahkan siswa menyatakan aturan sebagai rangkaian konsep dalam urutan yang tepat.
Tahap 4 : dengan bantuan pertanyaan, meminta siswa untuk “mendemonstrasikan” satu contoh nyata dari aturan
Tahap 5 : (bersifat pilihan, tetapi berguna untuk pengajaran selanjutnya) dengan pertanyaan yang cocok, meminta siswa untuk membuat pernyataan verbal dari aturan.

8.     Pemecahan Masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan aturan-aturan yang disertai proses analisis dan penarikan kesimpulan. Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap ransangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik. Tipe belajar ini memerlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar ini kemampuan penalaran siswa dapat berkembang. Dengan demikian poses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung apabila proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai.
Kriteria suatu pemecahan masalah adalah siswa belum pernah sebelumnya menyelesaikan masalah khusus tersebut,walaupun mungkin telah dipecahkan sebelumnya oleh banyak orang. sebagai contoh pemecahan masalah, siswa yang belum pernah sebelumnya belajar rumus kuadrat, menurunkan rumusnya untuk menentukan penyelesaian umum persamaan ax2 + bx + c = 0. Siswa akan memilih keterampilan melengkapkan kuadrat tiga suku dan menerapkan keterampilan dalam cara yang tepat untuk menurunkan rumus kuadrat, dengan melaksanakan petunjuk dari guru.
Pemecahan masalah biasanya melibatkan lima tahap :
a.   Menyatakan masalah dalam bentuk umum,
b.   Menyatakan kembali masalah dalam suatu defenisi operasional,
c.   Merumuskan hipotesis alternatif dan prosedur yang mungkin tepat untuk memecahkan masalah,
d.   Menguji hipotesis dan melaksanakan prosedur untuk memperoleh solusi dan
e.   Menentukan solusi yang tepat.

D.     Fase-Fase Belajar

Fase-fase belajar ini berlaku bagi semua tipe belajar. Menurut Gagne, ada 4 buah fase dalam proses belajar, yaitu:

1.      Fase penerimaan (apprehending phase)
Pada fase ini, rangsang diterima oleh seseorang yang belajar. Ini ada beberapa langkah. Pertama timbulnya perhatian, kemudian penerimaan, dan terakhir adalah pencatatan (dicatat dalam jiwa tentang apa yang sudah diterimanya).

2.      Fase penguasaan (Acquisition phase)
Pada tahap ini akan dapat dilihat apakah seseorang telah belajar atau belum. Orang yang telah belajar akan dapat dibuktikannya dengan memperlihatkan adanya perubahan pada kemampuan atau sikapnya.

3.      Fase pengendapan (Storage phase)
Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar tidak cepat hilang sehingga dapat digunakan bila diperlukan. Fase ini berhubungan dengan ingatan dan kenangan.

4.      Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Apa yang telah dipelajari, dimiliki, dan disimpan (dsalam ingatan) dengan maksud untuk digunakan (memecahkan masalah) bila diperlukan. Jika kita akan menggunakan apa yang disimpan, maka kita harus mengeluarkannya dari tempat penyimpanan tersebut, dan inilah yang disebut dengan pengungkapan kembali. Fase ini meliputi penyadaran akan apa yang telah dipelajari dan dimiliki, serta mengungkapkannya dengan kata-kata (verbal) apa yang telah dimiliki tidak berubah-ubah.
Menurut Gagne, fase pertama dan kedua merupakan stimulus, dimana terjadinya proses belajar,sedangkan  pada fase ketiga dan keempat merupakan hasil belajar.

E.     Hasil-Hasil Belajar

Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :

1. Informasi Verbal.
Informasi verbal adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.

2. Keterampilan intelektual.
Keterampilan intelektual merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya. Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinngi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperoleh aturan-aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konket ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.

3. Strategi kognitif.
Strategi kognitif merupakan suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Beberapa strategi kogniti adalah strategi menghafal, strategi menghafal, strategi elaborasi, strategi pengaturan, strategi metakognitif, dan strategi afektif.

4. Sikap-sikap.
Merupakan pembawaan yang dapt dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadiaan atau makhluk hidup lannya. sekelompok siswa yang penting ialah sikap-sikap terhjadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu menjadi hal yang penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.

5. Keterampilan-keterampilan motorik.
Ketarampilan motorik merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggambungan kaegiatan motorik dengan intelektual seabagai hasil belajar seperti membaca, menulis, dan sebagai berikut.

F.      Kejadian-kejadian Instruksi

Mengajar dapat kita pandang sebagai usaha mengontrol kondosi eksternal. Kondisi eksternal merupakan satu bagian dari proses belaajar, namun termasuk tugas guru dalam mengajar. Menurut Gagne mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang dikenal dengan ”Nine Instruction events” yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1.   Memelihara perhatian (Gain attention).
Dengan stimulus eksternal kita berusaha membangkitkan perhatian siswa untuk belajar.

2.   Menjelaskan tujuan pembelajaran (Inform Lerners of Objectives).
Menjelaskan kepada siswa tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.

3.   Merangsang ingatan siswa (Stimulate recall of prior learning).
Meransang ingatan siswa untuk mengingat kembaali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.

4.   Menyajikan stimulus (Present the content).
Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga siswa menjadi lebih siap menerima pelajaran

5.   Memberikan bimbingan (Provide “learning guidance”). Memberikan bimbingan kepada siswa dalam proses belajar

6.   Memantapkan apa yang telah dipelajari (Elicit performance/practice).
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.

7.   Memberikan umpan balik (Provide feedback).
Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada siswa apakah hasil belajarnya benar atau tidak.

8.   Menilai hasil belajar(Assess performance).
Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan soal.

9.   Mengusahakan transfer (Enhance retention and transfer to the job).
Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasikan apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi yang lain.

Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan pengajaran yang mengacu pada sembilan kejadian-kejadian belajar, mengajarkan segitiga sama sisi.
1.   Menujukkan di komputer bentuk bangun datar segitiga yang bervariasi.
2.   Memgajukan pertanyaan : Apa yang dimaksud dengan segitiga sama sisi?
3.   Meninjau kembali definisi segitiga
4.   Memberikan deenisi segitiga sama sisi
5.   Memberikan contoh segitiga sama sisi
6.   Meminta siswa untuk membuat 5 contoh yang berbeda
7.   Memeriksa semua contoh
8.   Memberikan nilai dan pengulangan
9.   Menujukkan gambar suatu benda dan meminta siswa untuk mengidentifikasi segitiga sama sisi.

Demikian yang dapat aku paparkan mengenai Teori Belajar Gagne. Materi ini aku rangkum dari beberapa sumber.
Terimah Kasih…

Friday 6 April 2018

Cara Mencetak judul yang sama dalam dokumen Ms. Excel

Dalam mengelola suatu dokumen dalam Ms. Excel dibutuhkan ketelitian dan  pengetahuan yang cukup untuk memfungsikan beberapa fasilitas yang telah disediakan di dalam Ms. Excel. Fasilitas-fasilitas ini dapat mempermudah kita dalam menyelesaikan pekerjaan yang kita kerjakan.
Misalkan kita akan mengelola suatu dokumen yang memiliki halaman yang lebih dari satu halaman. Namun ketika kita akan mencetaknya kita ingin agar bagian tertentu dalam halaman tersebut selalu tampil dalam setiap halaman yang akan kita cetak. Terkadang untuk melakukan itu kita melakukan copy-paste pada bagian tersebut agar tampil ketika kita cetak.
Untuk memudahkan kita dalam mengatasi hal tersebut kita dapat menggunakan fasilitas yang sudah ada di dalam Ms. Excel. Berikut ini saya akan paparkan tips mencetak judul yang sama di setiap halaman pada Ms. Excel secara otomatis. Jadi kita tidak perlu lagi melakukan copy-paste judul pada setiap halaman dokumen Ms. Excel.
Berikut langkah-langkah mencetak judul secara otomatis pada semua halaman Ms.Excel.
1.     Buka dokumen Ms. Excel yang akan kita cetak


2.     Klik tab Menu Page Layout
3.     Pada Group Page Setup klik ikon Print Title


4.     Selanjutnya akan muncul tampilan seperti gambar berikut.



5.    Pada Sub Tab Sheet, tentukan Rows to repeat at top dengan klik tanda yang ditunjuk anak panah.



6.    Klik posisi judul untuk memasukkan posisi cell tempat judul tersebut berada.



7.     Setelah alamat cell masuk kemudian klik tanda yang ditunjuk panah seperti gambar berikut.



8.    Setelah itu klik OK


9.    Untuk mengetahui apakah pengaturan yang telah kita lakukan berhasil klik Print Preview
10.   Geser kursor atau klik next page untuk melihat halaman selanjutnya dari dokumen kamu.
Untuk lebih jelas perhatikan contoh dokumen berikut.
Contoh dokumen sebelum diatur pada posisi print preview



Pada halaman 2 belum ada judul pada setiap kolom seperti pada halaman 1
Contoh dokumen setelah diatur pada posisi print preview



Lihat pada halaman 2, pada halaman 2 telah muncul judul kolom yang sama pada halaman 1. Hal ini juga akan muncul pada halaman 3, 4 dan seterusnya.
Sekian pemaparan tips Ms. Excel dari saya, silahkan kamu praktikkan sendiri untuk membuktikannya.
Semoga bermanfaat
Selamat mencoba

Tuesday 3 April 2018

Teori Belajar Jean Piaget

A.   Sekilas tentang Jean Piaget

Jean Piaget adalah seorang tokoh pendidikan yang dilahirkan di Neuchâtel, Swiss, pada tanggal 9 Agustus 1896. Ayahnya bernama Arthur Piaget sedangkan ibunya bernama Rebecca Jackson. Ayahnya adalah seorang profesor sastra sedangkan ibunya orangnya cerdas dan energik. Jean Piaget terkenal dengan teorinya tentang perkembangan psikologis manusia. Selama penelitian Piaget semakin yakin akan adanya perbedaan antara proses pemikiran anak dan orang dewasa. Ia yakin bahwa anak bukan merupakan suatu tiruan dari orang dewasa. Anak bukan hanya berpikir kurang efisien dari orang dewasa, melainkan berpikir secara berbeda dengan orang dewasa. Itulah sebabnya mengapa Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif yang berbeda dari anak sampai menjadi dewasa.


B.   Tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetika, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu perkembangan system syaraf. Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya akan semakin meningkat. Jean Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.

Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif.

Proses belajar haruslah di sesuaikan dengan perkembagan syaraf seorang anak, dengan bertambahnya umur maka susunan saraf seorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Karena itu proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Perjenjangan ini bersifat hierarki, yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu yang diluar kemampuan kognitifnya.  Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu :

1.   Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
2.   Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
3.   Fungsi, Adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Menurut Pieget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi dan equilibrasi.
1.   Asimilasi, adalah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
2.   Akomodasi, adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
3.   Equilibrasi, adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget dibagi menjadi 4 tahap antara lain:

1.   Tahap sensorimotor (umur 0 – 2 tahun)

Pada tahap sensorimotor, anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik yaitu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan. Karakteristik tahap ini merupakan gerakan-gerakan akibat suatu reaksi langsung dari rangsangan. Anak mengatur alamnya dengan indera(sensori) dan tindakan-tindakannya(motor), anak belum mempunyai kesadaran-kesadaran adanya konsepsi yang tetap.
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya.

Contohnya: Diatas ranjang seorang bayi diletakkan mainan yang akan berbunyi bila talinya dipegang. Suatu saat, ia main-main dan menarik tali itu. Ia mendengar bunyi yang bagus dan ia senang. Maka ia akan mencoba menarik-narik tali itu agar muncul bunyi menarik yang sama.


2.   Tahap persiapan operasional (2 – 7 tahun)

Tahap persiapan operasional adalah suatu proses berpikir logis, dan merupakan aktifitas mental bukan aktifitas sensorimotor. Pada tahap ini anak belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental. Unsur yang menonjol dalam tahap ini adalah mulai digunakannya bahasa simbolis, yang berupa gambaran dan bahasa ucapan. Dengan menggunakan bahasa, inteligensi anak semakin maju dan memacu perkembangan pemikiran anak karena ia sudah dapat menggambarkan sesuatu dengan bentuk yang lain. Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata.

Contohnya: anak bermain pasar-pasaran dengan uang dari daun. Kemudian dalam penggunaan bahasa, anak menirukan apa saja yang baru ia dengar. Ia menirukan orang lain tanpa sadar. Hal ini dibuat untuk kesenangannya sendiri. Tampaknya ada unsur latihan disini, yaitu suatu pengulangan untuk semakin memperlancar kemampuan berbicara meskipun tanpa disadari.


3.  Tahap operasi konkret (7 – 11 tahun)

Tahap operasi konkret dinyatakan dengan perkembangan system pemikiran yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang langsung dialami. Anak masih menerapkan logika berpikir pada barang-barang yang konkret, belum bersifat abstrak maupun hipotesis. Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun massa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).

Misalnya suatu gelas diisi air. Selanjutnya dimasukkan uang logam sehingga permukaan air naik. Anak pada tahap operasi konkreat dapat mengetahui bahwa volume air tetap sama.

4.   Tahap operasi formal (11 tahun keatas)

Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Pada tahap ini anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.

Dalam perkembngan formal operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja, yakni usia 11-15 tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran. Dalam perkembangan kognitif akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni:
a.   kapasitas menggunakan hipotesis
b.   kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak

Dalam dua macam kemampuan kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualiatas skema kognitif itu tentu telah dimiliki oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa. Dalam perkembangan intelektual, ada tiga aspek yang diteliti oleh Piaget, yaitu struktur (merupakan organisasi mental tingkat tinggi), isi (pola perilaku yang khas tercermin pada respon), fungsi (untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual). Lima faktor yang mempengaruhi transisi tingkat perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan, pengalaman, fisik, pengalaman logika matematis, transmisi sosial, proses keseimbangan. Berikut adalah Tingkat perkembangan intelektual.

Menurut Piaget paling sedikit ada empat faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak, yaitu:

1.      Perkembangan organik dan kematangan system saraf.

Unsur biologis cukup jelas mempunyai pengaruh dalam perkembangan inteligensi seseorang. Kematangan fisik seseorang juga mempunyai pengaruh pada perkembangan inteligensinya. Misalnya: Pada saat anak belum dapat berjalan, sehingga anak tersebut akan sulit dan terbatas dalam berkontak dengan alamsekitar. Sehingga pemikirannya dan skema yang ia miliki belum banyak berkembang.

2.      Peran latihan dan pengalaman

Latihan berpikir, merumuskan masalah dan memecahkannya, serta mengambil kesimpulan akan membantu seseorang untuk mengembangkan pemikiran atau inteligensinya. Seorang anak yang sudah mulai dapat berpikir deduktif dan abstrak perlu mengembangkan diri dengan pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pemikirannya. Piaget membedakan dua macam pengalaman, yaitu:
a.       Pengalaman fisis, terdiri dari tindakan atau aksi seseorang terhadap objek yang dihadapi untuk mengabstraksi sifat – sifatnya.contohnya: pengalaman melihat dan mengamati anjing akan membantu mengabstraksi sifat – sifat anjing yang pada tahap selanjutnya membantu pemikiran orang itu tentang anjing.
b.      Pengalaman matematis-logis, terdiri dari tindakan terhadap objek untuk mempelajari akibat tindakan – tindakan terhadap objek itu. Contohnya: pengalaman menjumlahkan atau mengurangkan benda akan membantu pemikiran anak akan operasi benda itu.

3.      Interaksi sosial dan transmisi.

Dengan interaksi ini, seorang anak dapat membandingkan pemikiran dan pengetahuan yang telah dibentuknya dengan pemikiran dan pengetahuan orang lain. Ia tertantang untuk semakin memperkembangkan pemikiran dan pengetahuannya sendiri. Dalam interaksi sosial dan transmisi, pengetahuan itu datang dari orang lain baik itu dari orangtuanya maupun masyarakat sekitarnya. Namun, menurut Piaget meskipun interaksi sosial itu sangat penting dalam pengembangan pemikiran seseorang, tindakan interaksi sosial itu tidaklah efektif bila tidak ada tindakan aktif dari anak sendiri. Pemikiran dan pengetahuan anak kurang berkembang pesat apabila anak itu sendiri tidak secara aktif mengolah, mencerna, dan mengambil makna.

4.      Ekuilibrasi (kesetimbangan).

Ekuilibrasi adalah kemampuan untuk mencapai kembali kesetimbangan selama periode ketidaksetimbangan melalui asimilasi dan akomodasi. . Ekuilibrasi ini sering juga disebut dengan motivasi dasar seseorang yang memungkinnya selalu berusaha memperkembangkan pemikiran dan pengetahuannya.
Menurut Piaget (Hudojo, 1979:82), struktur kognitif terbentuk karena proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah menyaring atau mendapatkan pengalaman – pengalaman baru ke dalam skema.
Misalnya seorang anak mempunyai konsap mengenai “lembu”. Dalam pemikiran anak itu, ada skema “lembu”. Mungkin skema anak itu menyatakan bahwa lembu itu binatang yang berkaki empat. Berwarna putih dan makan rumput.
Dimana pengertian Skema yaitu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan lingkungannya.
Misalnya Skema yang terjadi pada anak tersebut pertama kali melihat lembu tetangganya yang memang berwarna putih, berkaki empat, dan makan rumput. Suatu saat, anak itu bertemu dengan dengan bermacam-macam lembu yang lain, yang warnanya lain, dan tidak sedang makan rumput, tetapi sedang menarik gerobak. Berhadapan dengan pengalaman yang lain tersebut, anak memperkembangkan skema awalnya. Skemanya menjadi: lembu itu binatang berkaki empat, ada berwarna putih atau kelabu, makanannya rumput dan dapat menarik gerobak. Jelas bahwa skema lembu anak itu menjadi bertambah lengkap. Skema awalnya tidak hanya tetap dipakai, tetapi juga dikembangakan dan dilengkapi.
Akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali pengalaman –pengalaman baru dengan jalan mengadakan modifikasi skema yang ada atau bahkan membentuk pengalaman yang benar – benar baru.
Contohnya: seorang siswa telah memahami bahwa himpunan bilangan itu tetap saja sama, walaupun urutannya diubah. Kemudian siswa tersebut mengalami pengalaman baru tentang adanya bilangan kardinal dan ordinal, bulat dan pecahan. Walaupun ada tambah pengetahuan baru, struktur kognitifnya tetap yang ada tetap saja ada dan tidak berubah, artinya bahwa sifat bilangan itu tetap sama walaupun pengaturannya diubah.

C.  Penerapan Teori Belajar Piaget Dalam Pengajaran Matematika

Penerapan dari empat tahap perkembangan intelektual anak yang dikemukakan oleh Piaget, adalah sebagai berikut:

1.      Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)

Untuk mengembangkan kemampuan matematika anak di tahap ini, kemampuan anak mungkin ditingkatkan jika dia cukup diperbolehkan untuk bertindak terhadap lingkungan. Anak – anak pada tahap sensorimotor memiliki beberapa pemahaman tentang konsep angka dan menghitung. Misalnya: Orang tua dapat membantu anak- anak mereka menghitung dengan jari, mainan dan permen. Sehingga anak dapat menghitung benda yang dia miliki dan mengingat apabila ada benda yang  ia punya hilang.

2.      Tahap persiapan operasional ( 2 -7 tahun)

Piaget membagi perkembangan kognitif tahap persiapan operasional dalam dua bagian:
a.       Umur 2 – 4 tahun
Pada umur 2 tahun, seorang anak mulai dapat menggunakan symbol atau tanda untuk mempresentasikan suatu benda yang tidak tampak dihadapannya. Penggunaan symbol itu tampak dalam 4 gejala berikut:
1)      Imitasi tidak langsung
Menurut Wadsworth (dalam Paul Suparno, 2001:51), Anak mulai dapat menggambarkan suatu hal yang sebelumnya dapat dilihat, yang sekarang sudah tidak ada. Dengan kata lain, ia mulai dapat membuat imitasi yang tidak langsung dari bendanya sendiri.
Contohnya:  Bola sesungguhnya dalam bentuk bola plastik.
2)      Permainan simbolis
Dalam permainan simbolis, seringkali terlihat bahwa seorang anak berbicara sendirian dengan mainannya. Misalnya: Jika si anak merasa senang dengan bola, maka ia akan bermain bola – bolaan. Menurut Piaget, permainan tersebut merupakan ungkapan diri anak dalam menghadapi masalah, suasana hati, ketakutan dan lain – lain
3)      Menggambar
Menggambar pada tahap pra operasional merupakan jembatan antara permainan simbolis dengan gambaran mental. Unsur permainan simbolisnya terletak pada segi “kesenangan” pada diri anak yang sedang menggambar. Unsur gambaran mentalnya terletak pada usaha anak untuk mulai meniru sesuatu yang real.
4)      Gambaran mental
Gambaran mental adalah penggambaran secara pikiran suatu objek atau pengalaman yang lampau. Pada tahap ini, anak masih mempunyai kesalahan yang sistematis dalam menggambarkan kembali gerakan atau transformasi yang ia amati.

b.      Umur 4 – 7 tahun (pemikiran intuitif)
Pada umur 4 – 7 tahun, pemikiran anak semakin berkembang pesat. Tetapi perkembangan itu belum penuh karena anak masih mengalami operasi yang tidak lengkap dengan suatu bentuk pemikiran atau penalaran yang tidak logis. Contoh: Terdapat 20 kelereng, 16 berwarna merah dan 4 putih diperlihatkan kepada seorang anak dengan pertanyaan berikut: “Manakah yang lebih banyak kelereng merah ataukah kelereng-kelereng itu?”
A usia 5 tahun menjawab: “lebih banyak kelereng merah.”
B usia 7 tahun menjawab: “Kelereng kelereng lebih banyak daripada kelereng yang berwarna merah.” Tampak bahwa A tidak mengerti pertanyaan yang diajukan, sedangkan B mampu menghimpun kelereng merah dan putih menjadi suatu himpunan kelereng atau dapat disimpulkan bahwa anak masih sulit untuk menggabungkan pemikiran keseluruhan dengan pemikiran bagiannya. Contoh lain, seorang anak dihadapkan dengan pertanyaan: “Manakah yang lebih berat 1 Kg kapas atau 1 Kg besi?”. Anak tersebut pasti menjawab 1 Kg besi tanpa berpikir terlebih dahulu.
3.      Tahap operasi konkret (7 – 11 tahun)
Tahap operasi konkret dicirikan dengan perkembangan system pemikiran yang didasarkan pada aturan – aturan tertentu yang logis. Tahap operasi konkret ditandai dengan adanya system operasi berdasarkan apa- apa yang kelihatan nyata/konkret. Anak masih mempunyai kesulitan untuk menyelesaikan persoalan yang mempunyai banyak variabel. ya. Misalnya, bila suatu benda A dikembangkan dengan cara tertentu menjadi benda B, dapat juga dibuat bahwa benda B dengan cara tertentu kembali menjadi benda A. Dalam matematika, diterapkan dalam operasi penjumlahan (+), pengurangan (-), urutan (<), dan persamaan (=).
Contohnya, 5 + 3 = 8 dan 8 – 3 = 5
Pada umur 8 tahun, anak sudah memahami konsep penjumlahanyang sterusnya berlanjut pada perkalian. Misalnya guru memberikan soal kepada siswa mengenai perkalian.
Guru: “Berapa 8 × 4, Dony?”
Dony: “ 32 Pak!”
Pada umur 9 tahun, penalaran anak masih cenderung tidak dapat menghubungkan suatu rangkaian atau gagasan yang terpisah dalam suatu keseluruhan yang masih kurang jelas.
Contohnya dalam menyelesaikan persoalan berikut:
Rambut Tina (T) kurang gelap daripada rambut Sinta (S).
Rambut Tina (Ts) lebih gelap daripada rambut Lily (L).
Rambut siapa yang lebih gelap?
4.      Tahap operasi formal (11 tahun keatas)
Pada tahap ini, anak sudah mampu berpikir abstrak bila dihadapkan kepada suatu masalah dan ia dapat mengisolasi untuk sampai kepada penyelesaian masalah tersebut. Pikirannya sudah dapat melampaui waktu dan tempat tidak hanya terikat pada hal yang sudah dialami.
Contoh: Seorang anak mengamati topi ayahnya yang berbentuk kerucut. Ia ingin mengetahui volum dari topi ayahnya tersebut. Lalu ia mengukur topi tersebut dan memperoleh tinggi kerucut 30 cm dengan jari – jari 21 cm.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka guru sudah terlebih dahulu memberikan konsep kepada siswa mengenai bangun ruang(volum limas).
Volum limas = (luas alas)(tinggi limas)
                     = × л × r­² × t²
                     = × 3,14 × 7² cm² × 3 cm
                     = 154 cm³

Tujuan, Fungsi dan Pilar Pendidikan Karakter


A.    Tujuan Pendidikan Karakter

Tujuan pendidikan karakter adalah membentuk bangsa yang tangguh, berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bekerja sama atau bergotong royong. Selain itu Pendidikan karakter juga membentuk bangsa mempunyai jiwa patriotik atau suka menolong sesama, berkembang dengan dinamis, berorientasi pada ilmu pengetahuan serta teknologi, beriman dan bertakwa pada Tuhan yang Maha Esa.

B.    Fungsi Pendidikan Karakter

Fungsi pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan potensi dasar seorang anak agar berhati baik, berperilaku baik, serta berpikiran yang baik. Dengan fungsi besarnya untuk memperkuat serta membangun perilaku anak bangsa yang multikultur. Selain itu pendidikan karakter juga berfungsi meningkatkan peradaban manusia dan bangsa  yang baik  di dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dapat dilakukan bukan hanya di bangku sekolah, melainkan juga dari bergai media yang meliputi keluarga, lingkungan, pemerintahan, dunia usaha, serta media tegnologi.

C.    Pilar – Pilar Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap orang dapat menyetujui – nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religius, atau bias budaya. Beberapa hal di bawah ini yang dapat kita jelaskan untuk membantu siswa memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter, yaitu sebagai berikut :

1. Trustworthiness (Kepercayaan)

Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal – melakukan apa yang anda katakan anda akan melakukannya, minta keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun reputasi yang baik, patuh – berdiri dengan keluarga, teman dan negara.

2. Recpect(Respek)

Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun, bukan bahasa yang buruk, pertimbangkan perasaan orang lain, jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain, damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan.

3. Responsibility  (Tanggungjawab)

Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri, disiplin, berpikirlah sebelum bertindak – mempertimbangkan konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan anda.

4. Fairness (Keadilan)

Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan berbagi, berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain, jangan mengambil keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan orang lain sembarangan.

5. Caring (Peduli)

Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda peduli, ungkapkan rasa syukur, maafkan orang lain, membantu orang yang membutuhkan.

6. Citizenship (Kewarganegaraan)

Menjadikan sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik, bekerja sama, melibatkan diri dalam urusan masyarakat,  menjadi tetangga yang baik, mentaati hukum dan aturan, menghormati otoritas, melindungi lingkungan hidup.

Pendidikan Karakter

Seiring dengan digalakkannya pendidikan karakter, karakter itu sendiri mulai banyak dibicarakan dalam dunia pendidikan. Para ahli telah mendefinisikan beberapa pengertian dari karakter itu sesuai dengan kapabilitas keilmuan masing-masing. Di bawah ini akan dijelaskan secara jelas apa pengertian dari karakter itu sendiri.


A.    Definisi Pendidikan

Menurut UU Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik.

Menurut Wikipedia, pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indnesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Menurut Carter V. Good, Pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah) sehingga iya dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan kepribadiannya.
Sedangkan Pendidikan Menurut Carter V. Good adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah) sehingga iya dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan kepribadiannya.

B.    Definisi Karakter

Menurut kamus umum bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yag lain; tabiat; watak. Berkarakter artinya mempunyai tabiat; mempunyai kepribadian; watak (W. J. S Poerwadarminta. 1926: 669).

Hermawan Kertajaya mengemukakan bahwa karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah “asli” dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut. Dan merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar dan merespons sesuatu. Ciri khas inipun yang diingat oleh orang lain tentang orang tersebut dan menentukan suka atau tidak sukanya mereka terhadap sang individu. Karakter memungkinkan perusahaan atau individu mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan karena karakter memberikan konsistensi, integritas dan energi (M. Furqon Hidayatullah. 2010: 13).

Sedangkan menurut Hamka karakter adalah watak atau sifat, fitrah yang ada pada diri manusia. Sebagai contoh sederhana adalah kayu yang ada di hutan, yang masih berupa pohon-pohon adalah karakter. Sedangkan kayu yang sudah menjadi bangku, meja, lemari, dan sebagainya adalah komoditas. Pada hakikatnya semua adalah kayu hutan. Bedanya, kayu yang masih ada di hutan belum dicemari oleh gergaji, mesin, bahan atau zat kimia tertentu dan lain sebagainya. Sedangkan kayu yang sudah menjadi komoditas; meja, kursi, lemari dan sebagainya, sudah dikemas oleh “polesan dunia” berupa berbagai macam bentuk, desain, fungsi, dan zat kimia yang menempel pada kayu tersebut (Hamka Abdul Aziz. 2011: 73).

Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi  secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, sosial, emosional, dan etika. Individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik (Victor Battistich. 2007)

Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah karakter, diantaranya yaitu:

1.       Karakter: watak atau sifat, fitrah yang ada pada diri manusia yang terikat dengan nilai hukum dan ketentuan tuhan. Bersemayam dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Tidak bisa berubah, meski apapun yang terjadi. Bisa tertutupi dengan berbagai kondisi (Hamka Abdul Aziz. 2011: 48).

2.      Tabiat: sifat, kelakuan, perangai, kejiwaan seseorang yang bisa berubah-ubah karena interaksi sosial dan sangat dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan. Sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia yanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan (M. Furqon Hidayatullah. 2010: 11).

3.       Adat: sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginan.

4.      Kepribadian: tingkah laku atau perangai sebagai hasil bentukan dari pendidikan dan pengajaran baik secara klasikal atau non formal. Bersifat tidak abadi, karena selalu berhubungan dengan lingkungan (Hamka Abdul Aziz. 2011: 50).

5.       Identitas: alat bantu untuk mengenali sesuatu. Sesuatu yang bisa digunakan untuk mengenali manusia.

6.       Moral: ajaran tentang budi pekerti, mulia, ajaran kesusilaan. Moralitas adal adat istiadat, sopan santun, dan perilaku (Bambang Mahirjanto. 1995: 414).

7.      Watak: sifat batin manusia yang mempengaruhi pikiran dan prilaku. Cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal0hal yang diupayakan hingga menjadi adat (Bambang Mahirjanto. 1995: 572).

8.      Etika: ilmu tentang akhlak dan tata kesopanan; peradaban atau kesusilaan. Menurut Ngainum dan Achmad yaitu, Pertama; nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, merupakan “sistem nilai” yang bisa berfungsi dalam kehidupan seseorang atau kelompok sosial. Kedua; kumpulan asas atau nilai moral, atau kode etik. Ketiga; ilmu tentang baik dan buruk (Ngainun Naim dan Achmad Sauqi: 113).

9.      Akhlak: budi pekerti atau kelakuan, dalam bahasa arab; tabiat, perangai, kebiasaan. Ahmada mubarok mengemukakan 2001; 14 mengemukakan bahwa akhlak adalah keadaaan batin seseorang yang menjadi seumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa memikirkan untung dan rugi.

10.   Budi pekerti: perilaku, sikap yang dicerminkan oleh perilaku (M. Furqon Hidayatullah. 2010: 11).

Lingkungan  sosial  dan  budaya  bangsa  adalah  Pancasila;  jadi  pendidikan  budaya  dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya  dan  karakter  bangsa  adalah  mengembangkan  nilai-nilai  Pancasila  pada  diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.

C.    Definisi Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi atau kelompok yang unik baik sebagai warga negara. Dalam kamus lain Pendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter  kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi Insan Kamil (Masnur Muslich. 2011: 84).

Thomas lickona (1991) menyatakan pendidikan karakter by definition adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik. Jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Pengertian itu mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku (Ratna Megawangi. 2007: 82).

Sedangkan menurut Zaim Elmubarok (2008:102) Membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga “berbentuk” unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau “berkarakter” tercela).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik dengan melibatkan seluruh komponen yang ada di sekolah (isi kurikulum, proses pembelajaran, kualitas hubungan, penanganan mata pelajaran, pelaksanaan kurikuler, dan etos seluruh lingkungan sekolah) agar mereka memiliki nilai-nilai karakater itu dalam dirinya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka bisa menjadi Insan Kamil.

Oleh karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.

Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab.