Showing posts with label Organisasi Pergerakan Nasional. Show all posts
Showing posts with label Organisasi Pergerakan Nasional. Show all posts

Tuesday, 2 April 2019

Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927)

Algemeene Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 telah mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai politik dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia yang kemudian pada tahun 1928 Berganti nama dari Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia. PNI didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 oleh 8 pemimpin, yakni Ir. Soekarno (sebagai ketuanya), Ir. Anwari, Mr. Budiarto, dr. Cipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Dr. Samsi, Mr. Sunaryo dan Mr. Iskak. Mayoritas dari mereka merupakan mantan anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang baru pulang ke indonesia. Setelah berdirinya Partai Nasional Indonesia para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini.


Radikal PNI telah terlihatan sejak awal berdirinya. Hal ini tercermin melalui anggaran dasarnya bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka dengan strategi perjuangannya nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI sudah merumuskan program kerja sebagaimana dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1928, yaitu seperti berikut:

1. Usaha politik, dengan memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan negara negara di Asia, dan memberantas segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.
2. Usaha sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan derajat kaum wanita, memajukan transmigrasi, memerangi pengangguran, memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan poliklinik.
3. Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta mendirikan bank-bank dan koperasi.

Untuk menyebarluaskan gagasannya, PNI menbuat propaganda-propaganda, baik lewat surat kabar, seperti Persatuan Indonesia di Batavia dan Banteng Priangan di Bandung, maupun lewat para pemimpin khususnya Bung Karno sendiri. Dalam waktu singkat, PNI telah berkembang pesat sehingga menimbulkan kekhawatiran di sisi pemerintah Belanda. Pemerintah selanjutnya memberikan peringatan kepada pemimpin PNI agar menahan diri dalam propaganda, ucapan, serta tindakannya.

Dengan adanya isu bahwa pada awal tahun 1930 PNI akan melakukan pemberontakan maka pada tanggal 29 Desember 1929, pemerintah Hindia Belanda mengadakan penggeledahan secara masal dan menangkap 4 pemimpinnya, yaitu Ir. Soerkarno, Gatot Mangunprojo, Soepriadinata, dan Maskun Sumadiredja. Kemudian mereka ber 4 diajukan ke pengadilan di Bandung.

Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Setelah diadili di pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan ke penjara Sukamiskin. Dalam masa pengadilan ini Ir. Soekarno membuat pembelaan dengan menulis pidato Indonesia Menggugat dan membacakannya di depan pengadilan sebagai gugatannya.

Taman Siswa (3 Juli 1922)

Sekembalinya dari pengasingannya di Negeri Belanda (1919), Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara) menfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantara sukses mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Dengan berdirinya Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara memulai gerakan baru bukan lagi dalam bidang politik akan tetapi di bidang pendidikan, yakni dengan mendidik angkatan muda dengan jiwa kebangsaan Indonesia berdasarkan akar budaya bangsa.


Taman Siswa merupakan nama sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta (Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar, dan Siswa berarti murid). Pada saat pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama "National Onderwijs Institut Taman Siswa", yang merupakan realisasi gagasan dia bersama-sama dengan teman di paguyuban Sloso Kliwon. Sekolah Taman Siswa ini sekarang berpusat di balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan memiliki 129 sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Prinsip dasar dalam sekolah Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru dikenal sebagai Patrap Triloka. Konsep ini dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Rabindranath Tagore (India/Benggala) dan Maria Montessori (Italia). Patrap Triloka memiliki unsur-unsur (dalam bahasa Jawa)

1. ing ngarsa sung tulada, "(yang) di depan memberi teladan"),
2. ing madya mangun karsa, "(yang) di tengah membangun inisiatif/kemauan"),
3. tut wuri handayani, "dari belakang mendukung").

Berkat jasa dan perjuangannya yakni mencerdaskan Indonesia melalui sekolah Taman Siswa maka setiap tanggal 2 Mei (hari kelahiran Suwardi Suryaningrat / Ki Hajar Dewantara) maka ditetapkan sebagai hari Pendidikan Nasional. Selain itu, "Tut Wuri Handayani" juga ditetapkan sebagai semboyan yang terukir dalam lambang Departemen Pendidikan Nasional.

Gerakan Pemuda / Tri Koro Dharmo / Jong Java (7 Maret 1915

Gerakan pemuda Indonesia, sejatinya sudah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo, akan tetapi sejak kongresnya yang pertama, peran pemuda di Budi Utomo telah banyak diambil oleh golongan tua (kaum priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa dan keluar dari organisasi tersebut.



Baru beberapa tahun kemudian, berdirilah Tri Koro Dharmo, Tri Koro Dharmo (Jong Java) merupakan sebuah organisasi kepemudaan yang didirikan oleh Satiman Wirjosandjojo di Gedung STOVIA tanggal 7 Maret 1915 dengan nama awal Tri Koro Dharmo(Memiliki makna : Tiga Tujuan Mulia). Perkumpulan pemuda ini didirikan atas dasar banyaknya pemuda yang menganggap bahwa Budi Utomo merupakan organisasi elite.
Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan organisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri dari para siswa sekolah menengah yang berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan Trikoro Dharmo ialah sebagai berikut:

1. menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya
2. mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi putra pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan
3. membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.

Tujuan tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun tujuan yang sebenarnya ialah seperti apa yang tertulis dalam majalah Trikoro Dharmo yakni mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda-pemuda Jawa, Madura, Sunda, Lombok dan Bali. Oleh karena sifatnya yang masih Jawa sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak berbudaya Jawa) kurang senang.

Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 nama Trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). yang dimaksudkan untuk bisa merangkul para pemuda dari Madura, Bali dan Sunda. Bahkan tiga tahun kemudian atau pada tahun 1921 terbersit ide untuk menggabungkan Jong Java dengan Jong Sumatranen Bond, akan tetapi upaya ini belum bisa terlaksana.

Sejalan dengan berdirinya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga membentuk organisasi serupa, seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Selebes, dan lain-lain. Pada hakikatnya semua organisasi itu masih bersifat kedaerahan (lokal), namun semuanya mempunyai tujuan ke arah kemajuan Indonesia, khususnya memajukan daerah nya sendiri-sendiri.

Pada tahun 1925 wawasan organisasi ini makin meluas, menyerap gagasan persatuan Indonesia dan pencapaian Indonesia merdeka. Sehingga Pada tahun 1928 Jong Java siap bergabung dengan organisasi kepemudaan lainnya dan ketuanya R. Koentjoro Poerbopranoto, menegaskan kepada anggota bahwa pembubaran Jong Java semata-mata untuk kepentingan tanah air. Oleh karena nya sejak 27 Desember 1929, Jong Java pun bergabung dengan Indonesia Moeda

Partai Komunis Indonesia (9 Mei 1914)

Benih-benih paham Marxis dibawa masuk ke Indonesia oleh seorang Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet. Atas dasar Marxisme inilah kemudian pada tanggal 9 Mei 1914 di Semarang, Sneevliet bersama-sama dengan P. Bersgma, H.W. Dekker dan J.A. Brandsteder berhasil mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Ternyata ISDV tidak mampu berkembang sehingga Sneevliet melakukan infiltrasi (penyusupan) kader-kadernya ke dalam tubuh Sarekat Islam (SI) dengan menjadikan anggota-anggota ISDV sebagai anggota SI, dan sebaliknya anggota-anggota SI dijadikan anggota ISDV.

Dengan cara itu Sneevliet dan ISDV mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan Sarekat Islam, lebih-lebih setelah berhasil mengambil alih beberapa pemimpin SI, seperti Semaun dan Darsono. Mereka inilah yang dididik secara khusus untuk menjadi tokoh-tokoh Marxisme tulen. Akibatnya SI Cabang Semarang yang sudah berada di bawah pengaruh ISDV semakin jelas warna Marxisnya dan selanjutnya terjadilah perpecahan dalam Sarekat Islam.

Pada tanggal 23 Mei 1923 ISDV berubah nama menjadi Partai Komunis Hindia dan selanjutnya pada bulan Desember 1924 menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Susunan pengurus PKI, antara lain Semaun (ketua), Darsono (wakil ketua), Dekker (bendahara) dan Bersgma (sekretaris).

PKI semakin aktif dalam kancah politik dan untuk menarik massa PKI menghalalkan secara cara dalam propagandanya. Sampai-sampai tidak segan-segan untuk mempergunakan kepercayaan rakyat seperti Ramalan Jayabaya dan Ratu Adil.

Kemajuan yang diperolehnya ternyata membuat PKI lupa diri sehingga merencanakan suatu petualangan politik. Pada tanggal 13 November 1926 PKI melancarkan pemberontakan di Batavia dan disusul di daerah-daerah lain, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Sumatra Barat pemberontakan PKI dilancarkan pada tanggal 1 Januari 1927. Dalam waktu yang singkat semua pemberontakan PKI tersebut dapat ditumpas. Akhirnya, ribuan rakyat ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke Tanah Merah dan Digul Atas (Papua).

Indische Partij (25 Desember 1912)

Indische Partij (IP) berdiri di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Tiga Serangkai, yakni Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dr. Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo).


Indische Partij memiliki cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan Indonesia asli maupun golongan (keturunan) Arab, Cina dan sebagainya. Mereka akan dipadukan dalam kesatuan bangsa indonesia dengan semangat nasionalisme Indonesia. Cita-cita Indische Partij banyak disebar luaskan melalui media surat kabar De Expres. Selain itu juga disusun program kerja sebagai berikut:

1. meresapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).
2. memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dengan agama yang lainnya
3. memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik di bidang pemerintahan, maupun kemasyarakatan.
4. dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
5. berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
6. memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.

Dengan tujuan dan cara-cara mencapai tujuan seperti itu maka dapat diketahui bahwa Indische Partij berdiri di atas nasionalisme untuk mencapai Indonesia merdeka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indische Partij adalah partai politik pertama di Indonesia dengan haluan kooperasi. Sehingga dalam waktu yang relatif cepat Indische Partij memiliki 30 cabang dengan anggota mencapai 7.000 orang yang kebanyakan orang Indonesia.

Oleh karena sifatnya yang progresif dengan menyatakan diri sebagai partai politik yang memiliki tujuan Indonesia merdeka sehingga pemerintah hindia belanda tidak mau memberikan status badan hukum dengan alasan Indische Partij bersifat politik dan akan mengancam ketertiban umum. Meskipun demikian, para pemimpin Indische Partij masih terus menjalankan propaganda untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya.

Salah satu hal yang membuat pemerintah Hindia Belanda geram adalah tulisan Ki Hajar Dewantara yang berjudul Als ik een Nederlander was (seandainya saya seorang Belanda) yang isinya berupa sindiran terhadap ketidak adilan di daerah jajahan belanda. Karena kegiatan Indische Partij sangat mencemaskan pemerintah Belanda maka pada bulan Agustus 1913 ketiga pemimpin Indische Partij dijatuhi hukuman pengasingan dan mereka bertiga memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya.

Setelah diasingkannya ketiga pemimpin Indische Partij maka eksistensi Indische Partij makin berkurang. Kemudian Indische Partij merubah namanya menjadi Partai Insulinde dan pada tahun 1919 berubah lagi menjadi National Indische Partij (NIP). Pada perjalanannya National Indische Partij tidak pernah mempunyai pengaruh yang singnifikan di masyarakat sehingga pada akhirnya hanya menjadi perkumpulan orang-orang terpelajar.


Budi Utomo (20 Mei 1908)

Organisasi Budi Utomo (juga disebut Boedi Oetomo) merupakan sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. yang Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dimana sebelumnya ia telah berkeliling Pulau Jawa untuk menawarkan idenya membentuk Studiefounds..



Sejatinya organisasi ini Dipelopori oleh pemuda-pemuda dari STOVIA, Sekolah Peternakan dan Pertanian Bogor, Sekolah Guru Bandung, Sekolah Pamong Praja Magelang dan Probolinggo serta Sekolah Sore untuk Orang Dewasa di Surabaya. Para pelajar terdiri dari Muhammad Saleh, Soeradji, Soewarno A., Suwarno B., R. Gumbreg, R. Angka, Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soetomo. Nama Budi Utomo sendiri diusulkan oleh Soeradji dan semboyan yang dikumandangkan adalah Indie Vooruit (Hindia Maju) dan bukan Java Vooruit (Jawa Maju).
Gagasan Studiesfounds yang ditawarkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo sejatinya bertujuan untuk menghimpun dana guna memberikan beasiswa bagi pelajar yang berprestasi dan memiliki perekonomian yang lemah sehingga tidak dapat melanjutnya studinya. Gagasan itu tidak terwujud, akan tetapi gagasan itu melahirkan Budi Utomo. Tujuan Budi Utomo sendiri ialah memajukan pengajaran dan kebudayaan.

Untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, Budi Utomo menerapkan usaha-usaha sebagai berikut:
1. memajukan pengajaran
2. memajukan perdagangan, peternakan dan pertanian
3. menghidupkan kembali kebudayaan.
4. memajukan teknik dan industri

Seandainya dilihat dari tujuannya, Budi Utomo bukan merupakan organisasi politik akan tetapi merupakan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA yang menjadi bagian intinya. Sampai menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta organisasi ini telah memiliki 7 cabang, yakni di Bogor, Batavia, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Ponorogo dan Surabaya. dalam mengejar kepentingannya Budi Utomo pada dasarnya menerapkan strategi dengan bersifat kooperatif terhadap pemerintah belanda.

Untuk mengkonsolidasi diri (dengan dihadiri 7 cabangnya), Budi Utomo menggelar kongres yang pertama di Yogyakarta yaitu pada 3-5 Oktober 1908. Kongres menghasilkan kesepakatan sebagai berikut.

1. Kegiatan Budi Utomo terutama difokuskan pada bidang pendidikan dan kebudayaan.
2. Budi Utomo tidak ikut dalam mengadakan kegiatan politik.
3. Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat organisasi.
4. R.T. Tirtokusumo (Bupati Karanganyar) dipilih sebagai ketua Budi Utomo.
5. Ruang gerak Budi Utomo terbatas pada Pulau Jawa dan Madura .

Sampai dengan akhir tahun 1909, Budi Utomo telah memiliki 40 cabang dengan jumlah anggota sekitar 10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya kongres tersebut mulailah terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke generasi tua. Sehingga tidak sedikit anggota muda yang menyingkir dari barisan depan, dan menyisakan golongan priayi dan pegawai negeri sebagai anggota mayoritas di Budi Utomo. Dengan demikian, sifat protonasionalisme dari para pemimpin yang tampak pada awal berdirinya Budi Utomo terdepak ke belakang.

Mulai tahun 1912, saat Notodirjo menjadi ketua Budi Utomo menggantikan R.T. Notokusumo, Budi Utomo ingin mengejar ketinggalannya. Akan tetapi, hasilnya tidak begitu signifikan karena pada saat itu telah muncul organisasi-organisasi nasional lainnya, seperti Indiche Partij (IP) dan Sarekat Islam (SI). Akan tetapi Budi Utomo tetap memiliki andil dan jasa yang besar dalam sejarah pergerakan nasional, yaitu telah membuka jalan dan memelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal 20 Mei (Tanggal Berdirinya Budi Utomo) ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional.

Sarekat Islam (16 Oktober 1905)

Syarikat Islam / Sarekat Islam (disingkat SI) dahulu bernama Sarekat Dagang Islam (disingkat SDI) didirikan oleh Haji Samanhudi pada tanggal 16 Oktober 1905, Sarekat Dagang Islam merupakan organisasi pertama yang lahir di Indonesia, pada awalnya Organisasi Sarekat Islam yang dibentuk oleh Haji Samanhudi ini merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang menentang masuknya pedagang asing yang ingin menguasai ekonomi rakyat.
Atas prakarsa H.O.S. Cokroaminoto, nama Sarekat Dagang Islam kemudian diubah menjadi Sarekat Islam (SI), dengan tujuan untuk memperluas anggota sehingga tidak hanya terbatas pada pedagang saja. Tujuan SI ialah membangun persahabatan, persaudaraan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.



Berdasarkan Akte Notaris pada tanggal 10 September 1912, ditetapkan tujuan Sarekat Islam sebagai berikut:
1. memajukan perdagangan
2. membantu para anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha (permodalan)
3. memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk asli
4. memajukan kehidupan agama Islam

Karena perkembangannya yang pesat pada waktu SI pusat mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Meskipun dalam anggaran dasarnya tidak tampak adanya unsur politik, namun dalam kegiatannya Syarikat Islam menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah hindia Belanda.

Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya Syarikat Islam (SI) pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto, sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam Central Sarekat Islam menjadi anggota volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central Sarekat Islam sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh terdepan dalam Central Sarekat Islam.

Namun Tjokroaminoto tidak lama berada di lembaga yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda tersebut dan Tjokroaminoto keluar dari Volksraad (semacam Dewan Rakyat), karena volksraad di anggap sebagai "Boneka Belanda" yang hanya mementingkan urusan penjajahan di Hindia Belanda dan tetap mengabaikan hak-hak kaum pribumi.  Sebelumnya Tjokroaminoto ketika itu sudah menyuarakan agar bangsa Hindia (Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri, namun hal ini ditolak oleh pihak Belanda.

Sarekat Islam yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, namun karena paham yang mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga usahanya tidak berhasil. Kemudian mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.

Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Tan Malaka, Darsono, Alimin Prawirodirdjo dan Semaoen. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen.