Showing posts with label Model Pembelajaran. Show all posts
Showing posts with label Model Pembelajaran. Show all posts

Friday 24 May 2019

Model Pembelajaran Make A Match

A.  Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
Menurut Rusman (2011: 223-233) Model Make A Match (membuat pasangan) merupakan salah satu jenis dari metode dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu cara keunggulan teknik ini adalah peserta didik mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik, dalam suasana yang menyenangkan.
Anita Lie (2008: 56) menyatakan bahwa model pembelajaran tipe Make A Match atau bertukar pasangan merupakan teknik belajar yang memberi kesempatan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.


Salah satu keunggulan Make A Match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia.  Model ini cukup menyenangkan yang digunakan untuk mengulang materi yang telah diberikan sebelumnya. Namun demikian, materi baru pun tetap bisa diajarkan dengan metode ini.

B.  Langkah-langkah Pembelajaran Make A Match
Teknik pembelajaran Make A Match dilakukan di dalam kelas dengan suasana yang menyenangkan karena dalam pembelajarannya siswa dituntut untuk berkompetisi mencari pasangan dari kartu yang sedang dibawanya dengan waktu yang cepat.
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match (membuat pasangan) ini adalah sebagai berikut:
1.        Guru menyiapkan beberapa konsep/topik yang cocok untuk sesi review (satu sisi kartu soal dan satu sisi berupa kartu jawaban beserta gambar).
2.        Setiap peserta didik mendapat satu kartu dan memikirkan jawaban
3.        atau soal dari kartu yang dipegang.
4.        Peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (kartu soal/kartu jawaban), peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi point)
5.        Setelah itu babak dicocokkan lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.
Model pembelajaran  Make A Match dapat melatih siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran secara merata serta menuntut siswa bekerjasama  dengan  anggota  kelompoknya  agar tanggung  jawab dapat  tercapai,  sehingga  semua siswa aktif dalam proses pembelajaran.

C.  Konsep Pembelajaran Make a Match
Model pembelajaran make a match bisa juga di artikan sebagai pembelajaran yang kreatif dan produktif yang mana meliputi:
a. Landasan Pengembangan
Model pembelajaran make a match termasuk pembelajaran yang kreatif dan produktif merupakan model yang di kembangkan dengan mengacu pada pembelajaran yang mampu meningkatkan kualitas hasil belajar, yang mempunyai beberapa karakter sebagai berikut :
1). Keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran, keterlibatan ini difasilitasi melalui pemberian kesempatan pada peserta didik untuk melakukan eksplorasi dari konsep bidang ilmu dari berbagai sumber yang relevan dengan topik atau konsep yang sedang di kaji dan menafsirkan hasil eksplotasi tersebut
2). Peserta didik didorong untuk menemukan atau mengkontruksi sendiri konsep yang dikaji melalui penafsiran yang di lakukan dari berbagai cara, seperti observasi, diskusi, atau melakukan percobaan menemukan pasangan kartu yang sesuai
3). Peserta didik diberi kesempatan untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama yang merupakan arena intraksi untuk memperkaya pengalaman
4). Dalam kontek pembelajaran yang kreatif dapat menciptakan suasana kelas yang memungkinkan peserta didik dan guru merasa bebas mengkaji dan mengekplorasi topik atau materi, dimana guru memberi kartu materi. Kartu tersebut berisikan soal dan materi, sehingga membuat peserta didik berfikir, kemudian mengejar peserta didik tentang ide-ide dari berbagai perspektif, guru juga mendorong peserta didik untuk menunjukan atau mendemonstrasikan pemahamannya tentang topik penting dalam materi menurut caranya sendiri. Dengan mengacu pada karakteristik tersebut, model pembelajaran ini dapat diasumsikan untuk memotivasi peserta didik dalam melaksanakan berbagai kegiatan, sehingga mereka tertantang untuk menyelesaikan tugasnya secara kreatif
b. Tujuan
1) Dampak intruksional
Dampak intruksional yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini antara lain:
a) Pemahaman terhadap suatu nilai, konsep atau masalah tertentu
b) Kemampuan menerapkan konsep atau memecahkan masalah
c) Kemampuan mengkreasikan sesuatu berdasarkan pemahaman tersebut
2) Dampak pengiring
Melalui pembelajaran ini diharapkan dapat membentuk kemampuan berfikir kritis dan kreatif, bertanggung jawab dan bekerja sama serta merupakan tujuan pembelajaran yang bersifat jangka panjang
c. Materi Pembelajaran
Materi yang sesuai diartikan dengan model kreatif dan produktif mengadakan materi yang menuntut pemahaman yang tinggi terhadap nilai, konsep, atau masalah aktual di masyarakat serta keterampilan menerapkan pemahaman tersebut dalam bentuk karya nyata.

D.  Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Make A Match
Kelebihan dan kelemahan model Cooperative Learning tipe Make A Match menurut Miftahul Huda (2013: 253-254) adalah :
Kelebihan model pembelajaran tipe Make A Match antara lain:
(1) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik;
(2) karena ada unsur permainan, metode ini menyengkan;
(3) meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa;
(4) efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi; dan
(5) efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.
Kelemahan media Make A Match antara lain:
(1) jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang terbuang;
(2) pada awal-awal penerapan metode, banyak siswa yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya;
(3) jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan;
(4) guru harus hati-hati dan bijaksana saat member hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu; dan
(5) menggunakan metode ini secara terus menerus akan menimbulkan kebosanan.

Saturday 18 May 2019

Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS)


A.  Pengertian model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)
Model pembelajaran think pair share adalah salah satu model (tipe) pembelajaran yang memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan partisipasi kepada orang lain. Model pembelajaran koperatif tipe think pair share (TPS) ini memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain. Keunggulan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa (Lie: 2004).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi teknik pembelajaran kooperatif model think pair share (TPS) adalah suatu tipe pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat bekerja dengan sendirinya (secara individu) serta dapat juga siswa bekerja sama dengan yang lainnya (siswa lainnya).
Adapun definisi pembelajaran kooperatif tipe think pair share menurut Arends (dalam Komalasari, 2010: 84) yang menyatakan bahwa, model pembelajaran think pair share adalah suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan dan prosedur yang digunakan dalam think pair share dapat memberi murid lebih banyak waktu untuk berfikir, untuk merespon dan saling membantu.
Pelaksanaan Think Pair Share meliputi tiga tahap yaitu Think (berpikir), Pairing (berpasangan), dan Sharing (berbagi). TPS memiliki keistimewaan, yaitu siswa selain bisa mengembangkan kemampuan individunya sendiri, juga bisa mengembangkan kemampuan berkelompoknya serta keterampilan atau kecakapan sosial.
Keterampilan sosial dalam proses pembelajaran tipe TPS antara lain:
1.      Keterampilan sosial siswa dalam berkomunikasi meliputi dua aspek, yaitu:
a. Aspek bertanya
Aspek bertanya meliputi keterampilan sosial siswa dalam hal bertanya kepada teman dalam satu kelompoknya ketika ada materi yang kurang dimengerti serta bertanya pada diskusi kelas.
b. Aspek menyampaikan ide atau pendapat
Meliputi keterampilan siswa menyampaikan pendapat saat diskusi kelompok serta berpendapat (memberikan tanggapan atau sanggahan) saat kelompok lain presentasi.
2.      Keterampilan sosial aspek bekerjasama
Keterampilan sosial siswa pada aspek yang bekerjasama meliputi keterampilan sosial siswa dalam hal bekerjasama dengan teman dalam satu kelompok untuk menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru.
3.      Keterampilan sosial aspek menjadi pendengar yang baik
Keterampilan sosial siswa pada aspek menjadi pendengar yang baik yaitu keterampilan dalam hal mendengarkan guru, teman dari kelompok lain saat sedang presentasi maupun saat teman dari kelompok lain berpendapat.

B. Tahapan dalam pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS)
Dibawah ini adalah tahapan-tahapan didalam model pembelajaran kooperatif tipe think pair share menurut Ibrahim (2000:40), yaitu antara lain sebagai berikut :
Tahap 1 : Berpikir (Thinking)
Guru mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian meminta kepada siswa untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap 2 : Berpasangan (Pairing)
Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang teah dipikirkannya pada tahap berpikir. Pada tahap ini setiap anggota pada kelompok membandingkan jawaban atau hasil pemikiran mereka dengan mendefinisikan jawaban yang dianggap paling benar atau paling meyakinkan.
Tahap 3 : Berbagi (Sharing)
Guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Keterampilan berbagi dalam seluruh kelas dapat dilakukan dengan menunjuk pasangan yang secara sukarela bersedia melaporkan hasil kerja kelompoknya atau bergiliran pasangan.

C. Langkah-langkah dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share
Langkah-langkah dalam pembelajaran Think Pair Share pada umumnya adalah:
a.      Pendahuluan
Fase1: Persiapan
1.      Guru melakukan apersepsi
2.      Guru menjelaskan tentang pembelajaran TPS
3.      Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
4.      Guru memberikan motivasi
b.      Kegiatan inti
Fase 2: pelaksanaan pembelajaran tipe TPS
Langkah pertama
1.      Menyampaikan pertanyaan : Guru menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang akan disampaikan.
2.      Siswa memperhatikan/mendengarkan dengan aktif penjelasan dan pertanyaan dari guru.
Langkah kedua
1.      Berpikir : siswa berpikir secara individual.
2.      Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan jawaban dari permasalahan yang disampaikan oleh guru. Langkah ini dapat dikembangkan dengan meminta siswa untuk menuliskan hasil pemikiran masing-masing.
Langkah ketiga
1.      Berpasangan : setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing dengan pasangan.
2.      Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang menurut mereka paling benar atau meyakinkan. Guru memotivasi siswa untuk aktif dalam kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi dengan LKS sebagai lembar kerja, kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan secara kelompok.
Langkah keempat
1.      Berbagi : siswa berbagi jawaban mereka dengan seluruh kelas.
2.      Siswa mempresentasikan jawaban atau pemecahan masalah secara individual atau kelompok didepan kelas. Individu/kelompok yang lain diberi kesempatan untuk bertanya atau memberikan pendapat terhadap hasil diskusi kelompok tersebut.
3.       Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap hasil pemecahan masalah yang telah mereka diskusikan, dan memberikan pujian bagi kelompok yang berhasil baik dan memberi semangat bagi kelompok yang belum berhasil dengan baik (jika ada).
Fase 3 : Penutup
1.      Dengan bimbingan guru siswa membuat simpulan dari materi yang telah didiskusikan.
2.      Guru memberikan evaluasi atau latihan soal mandiri.
3.      Siswa diberi PR dari buku paket/LKS, atau mengerjakan ulang soal evaluasi
D. Kelebihan dan Kekurangan model pembelajaran think pair share (TPS)
Menurut Fadholi (2009:1) yang menyatakan bahwa terdapat 5 kelebihan model pembelajaran think pair share yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Memberi murid waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain.
2. Lebih mudah dan cepat membentuk kelompoknya.
3. Murid lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang.
4. Murid memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan hasil diskusinya dengan seluruh murid, sehingga ide yang ada menyebar.
5. Memungkinkan murid untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang diajarkan, karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan.
Kemudian menurut Fadholi (2009:1) yang menyatakan bahwa terdapat 4 kelemahan (kekurangan) model pembelajaran think pair and share yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Jumlah murid yang ganjil berdampak pada saat pembentukan kelompok, karena ada satu murid tidak mempunyai pasangan.
2. Jika terdapat perselisihan, maka tidak ada penengah.
3. Jumlah kelompok yang terbentuk banyak.
4. Sulit untuk diterapkan disekolah yang rata-rata kemampuan muridnya rendah.

Monday 13 May 2019

Model Pembelajaran Team Games Tournament (TGT)

A.  Pengertian Model Pembelajaran Team Games Tournament (TGT)

Model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model Teams Games Tournament (TGT) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.


Teams games tournament (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh Davied Devries dan Keith Edward, ini merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Dalam model ini kelas terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 3 sampai dengan 5 siswa yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya, kemudian siswa akan bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecilnya. Pembelajaran dalam Teams games tournament (TGT) hampir sama seperti STAD dalam setiap hal kecuali satu, sebagai ganti kuis dan sistem skor perbaikan individu, TGT menggunakan turnamen permainan akademik. Dalam turnamen itu siswa bertanding mewakili timnya dengan anggota tim lain yang setara dalam kinerja akademik mereka yang lalu. Nur & Wikandari (2000) menjelaskan bahwa Teams games tournament TGT telah  digunakan dalam berbagai macam mata pelajaran, dan paling cocok digunakan untuk mengajar tujuan pembelajaran yang dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar, seperti perhitungan dan penerapan berciri matematika, dan fakta-fakta serta konsep IPA.

B. Ciri – ciri model pembelajaran kooperatif tipe TGT sebagai  berikut ( Slavin ) :
1.         Siswa Bekerja Dalam Kelompok – Kelompok Kecil
2.         Games Tournament
3.         Penghargaan Kelompok

C. Fase Kegiatan Guru
Fase – 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa. Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase – 2
Menyajikan informasi. Guru menyampaikan informasi singkat sebagai pendahuluan terkait dengan materi ajar.
Fase – 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelom-pok-kelompok belajar. Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan permainan secara efektif dan efisien.
Fase – 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar. Guru membimbing pembentukan kelompok-kelompok belajar pada saat mereka akan melakukan permainan.
Fase – 5
Evaluasi. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau hasil permainan kuis dari masing-masing kelompok.
Fase – 6
Memberikan penghargaan.  Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. Sumber: Muslich (2007: 230).

D.  Pendekatan Kelompok Kecil dalam Teams Games Tournament
Pendekatan yang digunakan dalam Teams games tournament adalah pendekatan secara kelompok yaitu dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran. Pembentukan kelompok kecil akan membuat siswa semakin aktif dalam pembelajaran. Ciri dari pendekatan secara berkelompok dapat ditinjau dari segi.
1) Tujuan Pengajaran dalam Kelompok Kecil
Tujuan pembelajaran dalam kelompok kecil yaitu;
(a) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional,
(b) mengembangkan sikap social dan semangat bergotong royong
(c) mendinamisasikan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga setiap kelompok merasa memiliki tanggung jawab, dan
(d) mengembangkan kemampuan kepemimpinan dalam kelompok tersebut (Dimyati dan Mundjiono, 2006).
2) Siswa dalam Pembelajaran Kelompok Kecil
Agar kelompok kecil dapat berperan konstruktif dan produktif dalam pembelajaran  diharapkan;
(a) anggota kelompok sadar diri menjadi anggota kelompok,
(b) siswa sebagai anggota kelompok memiliki rasa tanggung jawab,
(c) setiap anggota kelompok membina hubungan yang baik dan mendorong timbulnya semangat tim, dan
(d) kelompok mewujudkan suatu kerja yang kompak (Dimyati dan Mundjiono, 2006).
3) Guru dalam Pembelajaran Kelompok
Peranan guru dalam pembelajaran kelompok yaitu;
(a) pembentukan kelompok
(c) perencanaan tugas kelompok,
(d) pelaksanaan, dan
(d) evalusi hasil belajar kelompok.

E.  Komponen dan Pelaksanaan Team Game Tournament dalam Pembelajaran
Ada lima komponen utama dalam TGT,yaitu:
1.  Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini , siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang diberikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2.  Kelompok ( team )
Kelompok biasanya terdiri atas empat sampai dengan lima orang siswa. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Permainan ( Games )
Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapatkan skor.
4. Pertandingan atau lomba ( Tournament )
Untuk memulai turnamen masing-masing peserta mengambil nomor undian. Siswa yang mendapatkan nomor terbesar sebagai reader 1, terbesar kedua sebagai chalennger 1, terbesar ketiga sebagai chalenger 2, terbesar keempat  sebagai chalenger 3. Dan kalau jumlah peserta dalam kelompok itu lima orang maka yang mendapatkan nomor terendah sebagai reader 2. Reader 1 tugasnya membaca soal dan menjawab soal pada kesempatan yang pertama. Chalenger 1 tugasnya menjawab soal yang dibacakan oleh reader1 apabila menurut chalenger 1 jawaban reader 1 salah. Chalenger 2 tugasnya adalah menjawab soal yang dibacakan oleh reader 1 tadi apabila jawaban reader 1 dan chalenger 1 menurut chalenger 2 salah. Chalenger 3 tugasnya adalah menjawab soal yang dibacakan oleh reader 1 apabila jawaban reader1, chalenger 1, chalenger 2 menurut chalenger 3 salah. Reader 2 tugasnya adalah membacakan kunci jawaban . Permainan dilanjutkan pada soal nomor dua. Posisi peserta berubah searah jarum jam. Yang tadi menjadi chalenger 1 sekarang menjadi reader1, chalenger 2 menjadi chalenger 1, chalenger3 menjadi chalenger 2, reader 2 menjadi chalenger 3 dan reader 1 menjadi reader2. Hal itu terus dilakukan sebanyak jumlah soal yang disediakan guru.
5. Penghargaan kelompok (team recognise)
Setelah turnamen atau lomba berakhir, guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing tim atau kelompok akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Tim atau kelompok mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 50 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 50-40 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 40 kebawah. Hal ini dapat menyenangkan para peserta didik atas prestasi yang telah mereka buat.

F.  Implementasi Model Pembelajaran TGT
Dalam pengimplementasian yang hal yang harus diperhatikan yaitu.
1)  Pembelajaran terpusat pada siswa
2)  Proses pembelajaran dengan suasana berkompetisi
3)  Pembelajaran bersifat aktif ( siswa berlomba untuk dapat menyelesaikan persoalan)
4)  Pembelajaran diterapkan dengan mengelompokkan siswa menjadi tim-tim
5)  Dalam kompetisi diterapkan system point
6) Dalam kompetisi disesuaikan dengan kemampuan siswa atau dikenal kesetaraan dalam kinerja akademik
7) Kemajuan kelompok dapak diikuti oleh seluruh kelas melalui jurnal kelas yang diterbitkan secara mingguan
8)  Dalam pemberian bimbingan guru mengacu pada jurnal
9)  Adanya system penghargaan bagi siswa yang memperoleh point banyak

G.  Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran TGT
Riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran telah banyak dilakukan oleh pakar pembelajaran maupun oleh para guru di sekolah. Dari tinjuan psikologis, terdapat dasar teoritis yang kuat untuk memprediksi bahwa metode-metode pembelajaran kooperatif yang menggunakan tujuan kelompok dan tanggung jawab individual akan meningkatkan pencapaian prestasi siswa. Dua teori utama yang mendukung pembelajaran kooperatif adalah teori motivasi dan teori kognitif.
Dari pespektif motivasional, struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi di mana satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka sukses. Oleh karena itu, mereka harus membantu teman satu timnya untuk melakukan apa pun agar kelompok berhasil dan mendorong anggota satu timnya untuk melakukan usaha maksimal.
Sedangkan dari perspektif teori kognitif, Slavin (2008) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif menekankan pada pengaruh dari kerja sama terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Asumsi dasar dari teori pembangunan kognitif adalah bahwa interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugas-tugas yang sesuai mengingkatkan penguasaan mereka terhadap konsep kritik. Pengelompokan siswa yang heterogen mendorong interaksi yang kritis dan saling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan atau kognitif. Penelitian psikologi kognitif menemukan bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari materi. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang lain.
Namun demikian, tidak ada satupun model pembelajaran yang cocok untuk semua materi, situasi dan anak. Setiap model pembelajaran memiliki karakteristik yang menjadi penekanan dalam proses implementasinya dan sangat mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara psikologis, lingkungan belajar yang diciptakan guru dapat direspon beragama oleh siswa sesuai dengan modalitas mereka. Dalam hal ini, pembelajaran kooperatif dengan teknik TGT, memiliki keunggulan dan kelemahan dalam implementasinya terutama dalam hal pencapaian hasil belajar dan efek psikologis bagi siswa.
Slavin (2008), melaporkan beberapa laporan hasil riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap pencapaian belajar siswa yang secara inplisit mengemukakan keunggulan dan kelemahan pembelajaran TGT, sebagai berikut:
1. Para siswa di dalam kelas-kelas yang menggunakan TGT memperoleh teman yang secara signifikan lebih banyak dari kelompok rasial mereka dari pada siswa yang ada dalam kelas tradisional.
2. Meningkatkan perasaan/persepsi siswa bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung dari kinerja dan bukannya pada keberuntungan.
3. TGT meningkatkan harga diri sosial pada siswa tetapi tidak untuk rasa harga diri akademik mereka.
4. TGT meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama verbal dan nonberbal, kompetisi yang lebih sedikit)
5. Keterlibatan siswa lebih tinggi dalam belajar bersama, tetapi menggunakan waktu yang lebih banyak.
6. TGT meningkatkan kehadiran siswa di sekolah pada remaja-remaja dengan gangguan emosional, lebih sedikit yang menerima skors atau perlakuan lain.
Sebuah catatan yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok tidaklah mencerminkan nilai individual siswa. Dengan demikian, guru harus merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar siswa secara individual.
Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran TGT  Metode pembelajaran kooperatif Team Games Tournament (TGT) ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut Suarjana (2000:10) dalam Istiqomah (2006), yang merupakan kelebihan dari pembelajaran TGT antara lain:
1) Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas
2) Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu
3) Dengan waktu yang sedikit dapat menguasai materi secara mendalam
4) Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa
5) Mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain
6) Motivasi belajar lebih tinggi
7) Hasil belajar lebih baik
8) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
Sedangkan kelemahan TGT adalah:
1.  Bagi Guru
Sulitnya pengelompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen dari segi akademis. Kelemahan ini akan dapat diatasi jika guru yang bertindak sebagai pemegang kendali teliti dalam menentukan pembagian kelompok waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak sehingga melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika guru mampu menguasai kelas secara menyeluruh.
2.  Bagi Siswa
Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi kelemahan ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa yang mempunyai kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu menularkan pengetahuannya kepada siswa yang lain.

Tuesday 8 January 2019

Model Pembelajaran Role Playing

A.  Pengertian Model Pembelajaran Role Playing
Menurut Uno (2007:   26) Role Playing adalah   suatu   model pembelajaran   yang   bertujuan   untuk   membantu siswa menemukan   makna   diri (jati diri) di dunia      sosial     dan     memecahkan masalah  dilema dengan bantuan  kelompok. Artinya melalui  bermain peran     siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain”.
Sedangkan menurut Jill Hadfield (Agus, 2012), Role Playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang.
Esensi role playing adalah keterlibatan partisipan dan peneliti dalam situasi permasalahan dan adanya keinginan untuk memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang dihasilkan dari keterlibatan langsung ini. Role playing berfungsi untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah laku, dan (4) mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda (Miftahul Huda, 2013: 115-116).


Uno (2007: 26) menyatakan bahwa keberhasilan model pembelajaran melalui role playing tergantung pada kualitas permainan peran (enactment) yang diikuti dengan analisis terhadapnya”. Di samping itu, tergantung pula pada persepsi siswa tentang peran yang dimainkan terhadap situasi yang nyata (real life situation). Sedangkan Santoso (Agus, 2012) mengatakan bahwa “model role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.
Hamalik (2004: 214) mengemukakan bahwa model bermain peran (role playing) adalah model pembelajaran dengan cara memberikan peran-peran tertentu kepada siswa dan mendramatisasikan peran tersebut ke dalam sebuah pentas. Bermain peran (role playing) adalah salah satu model pembelajaran interaksi sosial yang menyediakan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif dengan personalisasi. Oleh karena itu, lebih lanjut Hamalik (2004: 214) mengemukakan bahwa bentuk pengajaran role playing memberikan pada siswa seperangkat/serangkaian situasi-situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru.

B.  Sintaks Model Pembelajaran Role Playing
Sintaks model pembelajaran role playing ada sembilan sebagai berikut:
Tahap 1: Pemanasan Suasana Kelompok
1. Guru mengidentifikasi dan memaparkan masalah
2. Guru menjelaskan masalah
3. Guru menafsirkan masalah
4. Guru menjelaskan role playing
Tahap 2: Seleksi Partisipan
1. Guru menganilisis peran
2. Guru memilih pemain (siswa) yang akan melakukan peran
Tahap 3: Pengaturan Setting
1. Guru mengatur sesi-sesi peran
2. Guru menegaskan kembali tentang peran
3. Guru dan siswa mendekati situasi yang bermasalah.
Tahap 4: Persiapkan Pemilihan Siswa sebagai Pengamat
1. Guru dan siswa memutuskan apa yang akan dibahas.
2. Guru memberikan tugas pengamatan terhadap seorang siswa.
Tahap 5: Pemeranan
1. Guru dan siswa memulai role playing
2. Guru mengukuhkan role playing
3. Guru menyudahi role playing.
Tahap 6: Diskusi dan Evaluasi
1. Guru dan siswa mereview pemeranan (kejadian, posisi kenyataan)
2. Guru mendiskusikan fokus-fokus utama
3. Guru mengembangkan pemeranan selanjutnya.
Tahap 7: Pemeranan Kembali
1. Guru dan siswa memainkan peran yang berbeda.
2. Guru memberi masukan atau alternatif perilaku dalam langkah selanjutnya.
Tahap 8: Diskusi dan Evaluasi
1. Dilakukan sebagaimana pada tahap 6
Tahap 9: Sharing dan Generalisasi Pengalaman
1. Guru menghubungkan situasi yang diperankan dengan kehidupan di dunia nyata masalah-masalah lain yang mungkin muncul.
2. Guru menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku

Langkah-langkah model pembelajaran role playing yaitu:
1. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan;
2. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum KBM;
3. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya lima orang;
4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai;
5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan;
6. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang di peragakan;
7. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas;
8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya;
9. Guru memberikan kesimpulan secara umum;
10. Evaluasi;
11. Penutup.

C.  Kelebihan dan kekurangan Model Pembelajaran Role Playing
Kelebihan Model Pembelajaran role playing adalah:
1. Menarik perhatian siswa karena masalah-masalah sosial berguna bagi mereka;
2. Bagi siswa berperan seperti orang lain, ia dapat merasakan perasaan orang lain, mengakui pendapat orang lain itu, saling pengertian, tenggang rasa, dan toleransi;
3. Melatih siswa untuk mendesain penemuan;
4. Berpikir dan bertindak kreatif;
5. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis karena siswa dapat menghayatinya;
6. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan;
7. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan;
8. Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat;
9. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia;
10. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh;
11. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan;
12. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias;
13. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.

Kekurangan-kekurangan tersebut di antaranya:
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan model ini;
2. Guru harus memahami betul langkah-langkah pelaksanaannya, jika tidak dapat mengacaukan pembelajaran;
3. Memerlukan alokasi waktu yang lebih lama;
4. Kebanyakan  siswa  yang   ditunjuk   sebagai   pemeran   merasa   malu  untuk memerankan suatu adegan tertentu