Showing posts with label Kerajaan Hindu Budha. Show all posts
Showing posts with label Kerajaan Hindu Budha. Show all posts

Wednesday 24 April 2019

Kerajaan Singasari

A. Sejarah Kerajaan Singasari
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok. Asal usul Ken Arok tidak jelas. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang wanita tani dari Desa Pangkur (sebelah timur Gunung Kawi). Para ahli sejarah menduga ayah Ken Arok seorang pejabat kerajaan, mengingat wawasan berpikir, ambisi, dan strateginya cukup tinggi. Hal itu jarang dimiliki oleh seorang petani biasa. Pada mulanya Ken Arok hanya merupakan seorang abdi dari Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung. Ken Arok setelah mengabdi di Tumapel ingin menduduki jabatan akuwu dan sekaligus memperistri Ken Dedes (istri Tunggul Ametung). Dengan menggunakan tipu muslihat yang jitu, Ken Arok dapat membunuh Tunggul Ametung. Setelah itu, Ken Arok mengangkat dirinya menjadi akuwu di Tumapel dan memperistri Ken Dedes yang saat itu telah mengandung. Ken Arok kemudian mengumumkan bahwa dia adalah penjelmaan Dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Hal itu dimaksudkan agar Ken Arok dapat diterima secara sah oleh rakyat sebagai seorang pemimpin.


Tumapel pada waktu itu menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Raja Kertajaya atau Dandang Gendis. Ken Arok ingin memberontak, tetapi menunggu saat yang tepat. Pada tahun 1222 datanglah beberapa pendeta dari Kediri untuk meminta perlindungan kepada Ken Arok karena tindakan yang sewenang-wenang dari Raja Kertajaya. Ken Arok menerima dengan senang hati dan mulailah menyusun barisan, menggembleng para prajurit, dan melakukan propaganda kepada rakyatnya untuk memberontak Kerajaan Kediri.
Setelah segala sesuatunya siap, berangkatlah sejumlah besar prajurit Tumapel menuju Kediri. Di daerah Ganter terjadilah peperangan dahsyat. Semua prajurit Kediri beserta rajanya dapat dibinasakan. Ken Arok disambut dengan gegap gempita oleh rakyat Tumapel dan Kediri. Selanjutnya, Ken Arok dinobatkan menjadi raja. Seluruh wilayah bekas Kerajaan Kediri disatukan dengan Tumapel yang kemudian disebut Kerajaan Singasari. Pusat kerajaan dipindahkan ke bagian timur, di sebelah Gunung Arjuna.
Kerajaan ini pernah berjaya pada masa kepemimpinan Kertanagara yang sekaligus menjadi raja terbesar dalam sejarah Kerajaan. Beliau mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk membuat Sumatera sebagai benteng pertahanan. Kemudian pada tahun 1284, beliau juga mengadakan ekspedisi untuk menaklukkan Bali.
Runtuhnya Kerajaan ini adalah akibat dari sibuknya mengirim angkatan perang ke luar Jawa serta pemberontakan Jayakatwang dan berhasil membunuh Raja Kertanegara. Jayakatwang kemudian membangun ibukota di Kadiri atau yang sekarang disebut Kediri.

B. Raja-Raja Kerajaan Singasari
Berikut adalah raja Kerajaan Singasari dari pertama hingga akhir:
1. Ken Arok (1222–1227).
Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok yang menjadi Raja Singasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227). Pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa– Buddha.

2. Anusapati (1227–1248).
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjaya (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjaya mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjaya) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjaya menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.

3) Tohjoyo (1248)
Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.

4) Ranggawuni (1248–1268)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Pemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari.
Pada tahun 1254, Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.

5) Kertanegara (1268–1292).
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja.
Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan mengirimkan patung Amogapasa ke Dharmasraya atas perintah raja Kertanegara. Tujuannya untuk menguasai Selat Malaka. Selain itu juga menaklukkan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat) dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa, dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kublai Khan dari Dinasti Mongol. Kublai Khan menuntut rajaraja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kublai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirikan pasukannya ke Jawa.
Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol, maka Jayakatwang menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya - Raja terakhir Kerajaan Kediri.  Serangan dilancarakan oleh Jayakatwang dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanagera beserta pembesarpembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja (Buapati Sumenep). Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang serta diberikan sebidang tanah yang bernama Tanah Terik yang nantinya menjadi asal usul Kerajaan Majapahit.
Dengan gugurnya Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog, yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.

C. Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang dapat memberi keterangan secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari. Akan tetapi, berdasarkan analisis bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di sekitar Lembah Sungai Brantas dapat diduga bahwa rakyat Singasari banyak menggantungkan kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan itu juga didukung oleh hasil bumi yang melimpah sehingga menyebabkan Raja Kertanegara memperluas wilayah terutama tempat-tempat yang strategis untuk lalu lintas perdagangan.
Keberadaan Sungai Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu lintas perdagangan dari wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian, perdagangan juga menjadi andalan bagi pengembangan perekonomian Kerajaan Singasari.

D. Kehidupan Sosial-Budaya
Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa prasasti, candi, dan patung. Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Candi Jago, Candi Kidal, dan Candi Singasari. Adapun patung-patung yang berhasil ditemukan sebagai hasil kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita lambang dewi kesuburan dan Patung Kertanegara sebagai Amoghapasa.
Rakyat Singasari mengalami pasang surut kehidupan sejak zaman Ken Arok sampai masa pemerintahan Wisnuwardhana. Pada masa-masa pemerintahan Ken Arok, kehidupan sosial masyarakat sangat terjamin. Kemakmuran dan keteraturan kehidupan sosial masyarakat Singasari kemungkinan yang menyebabkan para brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok ataskekejaman rajanya.
Akan tetapi, pada masa pemerintahan Anusapati kehidupan masyarakat mulai terabaikan. Hal itu disebabkan raja sangat gemar menyabung ayam hingga melupakan pembangunan kerajaan.
Keadaan rakyat Singasari mulai berangsur-angsur membaik setelah Wisnuwardhana naik takhta Singasari. Kemakmuran makin dapat dirasakan rakyat Singasari setelah Kertanegara menjadi raja. Pada masa pemerintahan Kertanegara, kerajaan dibangun dengan baik. Dengan demikian, rakyat dapat hidup aman dan sejahtera.
Dengan kerja keras dan usaha yang tidak henti-henti, cita-cita Kertanegara ingin menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah naungan Singasari tercapai juga walaupun belum sempurna. Daerah kekuasaannya, meliputi Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

E. Peninggalan Kerajaan Singasari
Berikut adalah peninggalan Kerajaan Singasari:
1. Candi Jago
Candi Jago merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Singasari yang mana memiliki arsitekstur yang memiliki susunan layaknya teras punden berundak. Bentuk dari candi ini cukup unik, pasalnya bagian atas dari candi ini hanya tersisa sebagian saja.
Karena menurut sejarah, Candi Jago pernah tersambar petir. Jika Anda berkunjung ke Candi ini, Anda akan menemukan relief Kunjarakarna serta relief Pancatantra. Batu yang digunakan pada keseluruhan bangunan candi menggunakan batu andesit. Konon, candi ini juga digunakan Raja Kertanegara untuk beribadah.

2. Candi Singasari
Letak candi ini berada di Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang, tepatnya di lembah antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna. Disebutkan dalam Kitab Negarakertagama dan Prasasti Gajah Mada tahun 1351 Masehi, bahwa candi ini merupakan kediaman terakhir dari Raja Kertanegara. Yang tidak lain tidak bukan ialah raja Singasari terakhir.

Disebutkan bahwa Raja Kertanegara berpulang pada tahun 1292 karena diserang oleh Jayakatwang yang memimpin tentara Gelang-gelang. Diduga kuat bahwa pembangunan Candi Singasari ini tidak pernah selesai dibangun.

3. Arca Dwarapala
Arca Dwarapala merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang memiliki bentuk seperti monster dengan ukuran yang sangat besar. Menurut juru kunci tempat ini, arca Dwarapala merupakan sebuah tanda bahwa Anda masuk ke wilayah Kotaraja.
Akan tetapi hingga saat ini, letak Kotaraja Singasari tidak ditemukan secara pasti. Sehingga Arca Dwarapala dikategorikan sebagai peninggalan Kerajaan Singasari.

4. Candi Sumberawan
Candi ini merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur dan berlokasi sekitar 6 kilometer dari Candi Singasari. Selain sebagai peninggalan Kerajaan, tentu candi ini juga digunakan oleh umat Buddha pada saat itu.

5. Candi Jawi
Berada di pertengahan jalan raya antara Pandaan – Prigen serta Pringebukan, candi ini sering dikira tempat ibadah umat Buddha. Tetapi sebenarnya, tempat ini merupakan tempat untuk menyimpan abu dari Raja Kertanegara.
Selain di Candi Jawi, abu dari Raja Kertanegara juga disimpan di Candi Singasari. Sehingga Candi Jago, Candi Jawi, serta Candi Singasari memiliki hubungan yang erat.

6. Candi Kidal
Salah satu warisan dari Kerajaan Singasari adalah Candi Kidal dan dibangun sebagai sebuah penghormatan raja kedua Singasari, yaitu Anusapati. Beliau memerintah Singasari selama kurang lebih 20 tahun, yaitu sekitar tahun 1227 hingga tahun 1248.
Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bentuk perebutan kekuasaan Kerajaan serta diyakini sebagai kutukan Mpu Gandring.

7. Prasasti Singasari
Peninggalan Kerajaan Singasari ini ditemukan di Singasari, Kabupaten Malang. Prasasti ini dibuat tahun 1351 Masehi serta ditulis menggunakan aksara jawa. Penulisan prasasti ini ditujukan untuk mengenang pembangunan candi pemakaman yang dilakukan oleh Mahapatih Gajah Mada.
Bagian pertama prasasti ini berisi tanggal prasasti yang sangat detail, termasuk dengan penggambaran letak benda-benda angkasa. Lalu pada bagian kedua menggambarkan maksud serta arti dari prasasti ini, yaitu sebagai kabar pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman.

8. Prasasti Manjusri
Prasasti Manjusri merupakan sebuah manuskrip yang dibuat pada bagian belakang Arca Manjusri pada tahun 1343. Awalnya prasasti ini ditempatkan di Candi Jago, akan tetapi sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

9. Prasasti Wurare
Isi dari prasasti ini merupakan sebuah peringatan penobatan arca Mahaksobhya di tempat bernama Wurare, sehingga prasasti ini dinamai Prasasti Wurare. Ditulis menggunakan bahasa Sansekerta serta bertanggal 21 November 1289 atau sekitar tahun 1211 Saka.
Prasasti ini juga dibuat sebagai penghormatan serta pelambang bagi Raja Kertanegara yang dianggap sudah mencapai derajat Jina. Tulisan dari prasasti ini ditulis melingkar pada bagian bawah prasasti.

10. Prasasti Mula Malurung
Prasasti ini merupakan sebuah piagam penganugerahan sekaligus pengesahan Desa Mula serta Desa Malurung untuk seorang tokoh bernama Pranaraja. Bentuk dari prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Raja Kertanegara tahun 1255 atas perintah ayahnya.
Lempengan ini ditemukan di dua waktu yang berbeda, yaitu tahun 1975 di sekitar kota Kediri, Jawa Timur. Kemudian ditemukan lagi pada bulan Mei tahun 2001 di lapak penjual barang loak yang mana tidak jauh dari lokasi sebelumnya. Semua lempengan ini sudah disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Wednesday 14 November 2018

Kerajaan Kalingga (Kerajaan Holing)

A. Sejarah berdirinya Kerajaan Kalingga

Pada masa pemerintahan Prabu Wasumurti, Kerajaan Keling menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Kalingga di India. Hubungan tersebut semakin dekat, ketika Putra Mahkota Kalingga yang bernama Santanu di nikahkan dengan putri sang prabhu bernama Dewi Wasundari alias Dewi Bhadrawati. Setelah pernikahan mereka selesai, Prabu Wasumurti memberikan anugerah berupa sebagian wilayah kerajaan Keling kepada Santanu. Untuk menandai adanya hubungan kekerabatan antara Keling dan Kalingga, maka wilayah tersebut dinamakan Kerajaan Kalingga sedangkan Ibukotanya disebut Keling.
Santanu kemudian dilantik menjadi raja Kalingga  yang pertama di Jawa pada tahun 632 M. Kerjaan Kalingga biasa juga disebut dengan kerajaan Ho-Ling.

B. Raja-Raja Kerajaan Kalingga
1. Santanu (632-648)
Bergelar Prabhu Kirathasingha. Beliau pernah mengirimkan duta besarnya ke Cina, pada tahun 632 M dan 640 M. Menurut catatan I-Tshing, diketahui bahwa pada tahun 644 M, datang seorang pendeta buddha dari cina bernama Hwi-Ning. Ia menetap di Kalingga selama 3 tahun. Kemudian, Hwi-Ning menerjemahkan salah satu kitab suci agama Budha Hinayana yang berbahasa Sanksekerta ke dalam bahasa Cina. Dalam usahanya tersebut Hwi-Ning dibantu oleh seorang pendeta kerajaan Kalingga yang bernama Janabadra.

2. Selendra (648-674)
Bergelar Prabhu Kartikeyasingha sang mokteng Mahamerwacala. Beliau telah dua kali mengirimkan duta besarnya ke Cina, pertama pada tahun 648 M, dan kedua pada tahun 666 M. Diketahui, Beliau wafat di Gunung Mahameru. Dari pernikahan Prabu Kartikeyasingha dengan Dewi Sima, dikaruniai satu Putri dan satu Putra. yaitu :
a. Dewi Parwati, diperisteri oleh raja Mandiminyak dari Galuh,
b. Radiyah Narayana, menjadi menantu raja Jayasinghanegara dari Keling.

3. Maharani Sima (674-695)
Bergelar Sri Maharani Mahisa Suramardini Satyaputikeswara. Beliau adalah Raja yang terkenal dari kerajaan Kalingga. Pada masa pemerintahannya, Hukum dan Keadilan diterapkan secara disiplin. Hal tersebut berlaku bagi seluruh warga negara Kalingga yang melanggar aturan akan diberikan sanksi tegas. Suatu saat seorang saudagar Arab berkeinginan untuk membuktikan ketaatan rakyat Kalingga terhadap hukum yang diterapkan. Ia meletakkan pundi-pundi uang di jalanan pusat kota. Ternyata tak ada seorangpun yang berani menyentuh atau pun mengambilnya. Hingga suatu hari secara tidak sengaja kaki Putra Mahkota menyentuh pundi-pundi itu. Maka Ratu Sima memerintahkan agar anaknya di potong kakinya sebagai hukuman. Karena hukuman itu dirasa terlalu berat, para penasehat Ratu memohon agar hukuman diperingan, namun Ratu tetap teguh dengan pendiriannya. Setelah didesak, Ratu Sima memutuskan untuk meringankan hukumannya. Kaki putra mahkota tidak jadi dipotong tetapi hanya jari-jari kakinya saja.
Setelah Ratu Sima wafat pada tahun 695 M, kerajaan Kalingga dibagi menjadi dua wilayah kerajaan, untuk Dewi Parwati di sebelah utara, dan untuk Radiyah Narayana di sebelah selatan. Sang Mandiminyak, suami Dewi Parwati, tidak menggantikan di situ, karena ia menjadi raja di kerajaan Galuh.

Kerajaan Kalingga Utara
4. Dewi Parwati (695-717)
Dari pernikahan Prabhu Mandiminyak dengan Dewi Parwati dikaruniai seorang Putri, bernama Dewi Sannaha. Kemudian Dewi Sannaha naik tahta menggantikan ibundanya.

5. Dewi Sannaha (717-732)
Sannaha menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasenawa. Mereka berdua memiliki Putra yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Kerajaan Kalingga Selatan
4. Narayana (695-732)
Setelah Prabhu Narayana wafat, Beliau digantikan oleh puteranya yaitu Sang Prabhu Dewa Singha.

5. Dewa Singha
Pada waktu itu Sang Prabhu Dewa Singha memerintah wilayah selatan yang tunduk di bawah kekuasaan Sanjaya.

C. Kehidupan Politik, Ekonomi, Agama dan Sosial Budaya
1. Kehidupan Politik Kerajaan Kalingga
Kehidupan Politik Pada abad 7 Masehi Kerajaan Kalingga pernah dipimpin seorang ratu bernama Sima. Ratu Sima menjalankan pemerintahan dengan tegas, keras, adil, dan bijaksana. Dia melarang rakyatnya untuk menyentuh dan mengambil barang bukan milik mereka yang tercecer di jalan. Bagi siapa pun yang melanggar akan memperoleh hukuman berat. Hukum di Kalingga dapat ditegakkan dengan baik. Rakyat taat pada peraturan yang dibuat ratu mereka. Oleh sebab itu, ketertiban dan ketentraman di Kalingga berjalan baik. Menurut naskah Carita Parahyangan, Ratu Sima mempunyai cucu bernama Sahana yang menikah dengan Raja Brantasenawa dari Kerajaan Galuh. Sahana mempunyai anak bernama Sanjaya yang kelak menjadi Dinasti Sanjaya. Sepeninggalan Ratu Sima, Kerajaan Kalingga ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya.

2. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga mengembangkan perekonomian perdagangan dan pertanian. Letaknya yang dekat dengan pesisir utara Jawa Tengah menyebabkan Kalingga gampang diakses oleh para pedagang dari luar negeri. Kalingga adalah daerah penghasil kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading sebagai barang dagangan. Sementara wilayah pedalaman yang subur, dimanfaatkan penduduk untuk mengembangkan pertanian. Hasil-hasil pertanian yang diperdagangkan antara lain beras dan minuman. Penduduk Kalingga dikenal pandai membuat minuman berasal dari bunga kelapa dan bunga aren. Minuman tesebut mempunyai rasa manis dan bisa memabukkan. Dari hasil perdagangan dan pertanian itu, penduduk Kalingga hidup makmur.

3. Kehidupan Agama Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga adalah pusat agama Buddha di Jawa. Agama Buddha yang berkembang di Kalingga adalah ajaran Buddha Hinayana. Pada tahun 664 seseorang pendeta Buddha dari Cina bernama Hwi-ning berkunjung ke Kalingga. Dia datang untuk menerjemahkan sebuah naskah terkenal agama Buddha Hinayana dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Cina. Usaha Hwing-ning ditolong oleh seorang pendeta Buddha dari Jawa bernama Jnanabadra.

4. Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Kalingga
Penduduk Kalingga hidup dengan teratur. Ketertiban dan ketentraman sosial di Kalingga dapat berjalan dengan baik berkat kepemimpinan Ratu Sima yang tegas dan bijaksana dalam menjalankan hukum dan pemerintahan. Dalam menegakkan hukum Ratu Sima tidak membedakan antara rakyat dengan anggota kerabatnya sendiri. Berita mengenai ketegasan hukum Ratu Sima pernah didengar oleh Raja Ta-Shih. Ta-Shih adalah sebutan Cina untuk kaum muslim Arab dan Persia. Raja Ta-Shih lalu menguji kebenaran khabar tersebut. Dia memerintahkan anak buahnya untuk meletakkan satu kantong emas di jalan wilayah Kerajaan Ratu Sima. Selama tiga tahun kantong itu dibiarkan tergeletak di jalan dan tidak seorang pun berani menyentuh. Setiap orang melewati kantong emas itu berusaha menyingkir. Pada suatu hari putra mahkota tidak sengaja menginjak kantong itu sehingga isinya berhamburan. Kejadiaan ini membuat Ratu Sima marah dan memerintahkan hukuman mati untuk putra mahkota. Akan tetapi, para menteri berusaha memohon pengampunan untuk putra mahkota. Ratu Sima menanggapi permohonan itu dengan memerintahkan agar jari kaki putra mahkota yang menyentuh kantong emas dipotong. Peristiwa ini adalah bukti ketegasan Ratu Sima dalam menegakkan hukum.

D. Peninggalan Kerajaan Kalingga
1. Prasasti
a. Prasasti Tukmas
Prasasti Tukmas ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

b. Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu. Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.

2. Candi dan situs bersejarah
a. Candi Angin Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
b. Candi Bubrah Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
c. Situs Puncak Sanga Likur Gunung Muria. Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi dan empat orang tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.

Friday 19 October 2018

Kerajaan Kutai

A.   Sejarah Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai (Martadipura) merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan Kutai diperkirakan muncul pada abad 5 M atau ± 400 M. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur (dekat kota Tenggarong), tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah.


Keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan sumber berita yang ditemukan yaitu berupa prasasti yang berbentuk yupa / tiang batu berjumlah 7 buah. Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta tersebut, dapat disimpulkan tentang keberadaan Kerajaan Kutai dalam berbagai aspek kebudayaan, antara lain politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Adapun isi prasati tersebut menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai bernama Kudungga.
Ia mempunyai seorang putra bernama Asawarman yang disebut sebagai wamsakerta (pembentuk keluarga). Setelah meninggal, Asawarman digantikan oleh Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman dan nama-nama raja pada generasi berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh ajaran Hindu dalam Kerajaan Kutai dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-raja Kutai adalah orang Indonesia asli yang telah memeluk agama Hindu.

B. Raja-Raja Kerajaan Kutai
1. Maharaja Kudungga
Adalah raja pertama yang berkuasa di kerajaan kutai. Nama Maharaja Kudungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.Dapat kita lihat, nama raja tersebut masih menggunakan nama lokal sehingga para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya sebagai raja, sehingga penggantian raja dilakukan secara turun temurun.
2. Maharaja Asmawarman
Prasasti yupa menceritakan bahwa Raja Aswawarman adalah raja yang cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya Upacara Asmawedha pada masanya. Upacara-upacara ini pernah dilakukan di India pada masa pemerintahan Raja Samudragupta ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara itu dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai ( ditentukan dengan tapak kaki kuda yang nampak pada tanah hingga tapak yang terakhir nampak disitulah batas kekuasaan Kerajaan Kutai ). Pelepasan kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit Kerajaan Kutai.
3. Maharaja Mulawarman
Raja Mulawarman merupakan anak dari Raja Aswawarman yang menjadi penerusnya. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Raja Mulawarman adalah raja terbesar dari Kerajaan Kutai. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami masa kejayaannya. Rakyat-rakyatnya hidup tentram dan sejahtera hingga Raja Mulawarman mengadakan upacara kurban emas yang amat banyak.
4. Maharaja Irwansyah
5. Maharaja Sri Aswawarman
6. Maharaja Marawijaya Warman
7. Maharaja Gajayana Warman
8. Maharaja Tungga Warman
9. Maharaja Jayanaga Warman
10. Maharaja Nalasinga Warman
11. Maharaja Nala Parana Tungga
12. Maharaja Gadingga Warman Dewa
13. Maharaja Indra Warman Dewa
14. Maharaja Sangga Warman Dewa
15. Maharaja Singsingamangaraja XXI
16. Maharaja Candrawarman
17. Maharaja Prabu Nefi Suriagus
18. Maharaja Ahmad Ridho Darmawan
19. Maharaja Riski Subhana
20. Maharaja Sri Langka Dewa
21. Maharaja Guna Parana Dewa
22. Maharaja Wijaya Warman
23. Maharaja Indra Mulya
24. Maharaja Sri Aji Dewa
25. Maharaja Mulia Putera
26. Maharaja Nala Pandita
27. Maharaja Indra Paruta Dewa
28. Maharaja Dharma Setia

C.   Bukti Sejarah Peninggalan Kerajaan Kutai
Peninggalan Sejarah Kerajaan Kutai Di abad 21 sekarang ini, beberapa peninggalan sejarah Kerajaan Kutai masih bisa kita temukan di Museum Mulawarman yang letaknya ada di Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara. Jika Anda suatu saat berkunjung ke kota itu, sempatkanlah diri Anda untuk menengok bukti kebesaran dari kerajaan kutai. Saya sendiri beberapa waktu lalu berkunjung ke sana. Dengan tiket masuk Rp. 2.000, saya telah berhasil menikmati bukti eksotika masa lampau dengan melihat beberapa penginggalan kerajaan kutai. Apa saja peninggalannya yaitu sebagai berikut :

1. Prasasti Yupa
Prasasti Yupa adalah salah satu peninggalan sejarah kerajaan kutai yang paling tua. benda bersejarah satu ini merupakan bukti terkuat adanya kerajaan hindu yang bercokol di atas tanah Kalimantan. Sedikitnya ada 7 prasasti yupa yang hingga kini masih tetap ada.

2. Ketopong Sultan
Ketopong adalah mahkota Sultan Kerajaan Kutai yang terbuat dari emas. Beratnya 1,98 kg dan saat ini disimpan di Musium Nasional di Jakarta. Ketopong sultan kutai ditemukan pada 1890 di daerah Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Di Musium Mulawarman sendiri, ketopong yang dipajang adalah ketopong tiruan.

3. Kalung Ciwa
Kalung Ciwa adalah peninggalan sejarah kerajaan Kutai yang ditemukan pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Penemuan terjadi pada tahun 1890 oleh seorang penduduk di sekitar Danau Lipan, Muara Kaman. Kalung Ciwa sendiri hingga saat ini masih digunakan sebagai perhiasan kerajaan dan dipakai oleh sultan saat ada pesta penobatan sultan baru.

4. Kalung Uncal
Kalung Uncal adalah kalung emas seberat 170 gram yang dihiasi liontin berelief cerita ramayana.  Kalung ini menjadi atribut kerajaan Kutai Martadipura dan mulai digunakan oleh Sultan Kutai Kartanegara pasca Kutai Martadipura berhasil di taklukan. Adapun berdasar penelitian para ahli, kalung uncal sendiri diperkirakan berasal dari India (Unchele). Di dunia, saat ini hanya ada 2 kalung uncal, satu berada di India dan satunya lagi ada di Museum Mulawarman, Kota Tenggarong.

5. Kura-Kura Emas
Peninggalan sejarah kerajaan kutai yang menurut saya cukup unik adalah kura-kura emas. Benda ini sekarang ada di Musium Mulawarman. Ukurannya sebesar setengah kepalan tangan. Dan berdasarkan label yang tertera di dalam etalasenya, benda unik ini ditemukan di daerah Long Lalang, daerah yang terletak di hulu sungai Mahakam. Adapun berdasar riwayat, benda ini diketahui merupakan persembahan dari seorang pangeran dari Kerajaan di China bagi sang putri raja Kutai, Aji Bidara Putih. Sang Pangeran memberikan beberapa benda unik pada kerajaan sebagai bukti kesungguhannya yang ingin mempersunting sang putri.

6. Pedang Sultan Kutai
Pedang Sultan Kutai terbuat dari emas padat. Pada gagang pedang terukir gambar seekor harimau yang sedang siap menerkam, sementara pada ujung sarung pedang dihiasi dengan seekor buaya. Pedang Sultan Kutai saat ini dapat Anda lihat di Museum Nasional, Jakarta.

7. Tali Juwita
Tali juwita adalah peninggalan kerajaan kutai yang menyimbolkan 7 muara dan 3 anak sungai (sungai Kelinjau, Belayan dan Kedang Pahu) yang dimiliki sungai mahakam. Tali juwita terbuat dari benang yang banyaknya 21 helai dan biasanyan digunakan dalam upacara adat Bepelas.

8. Keris Bukit
Kang Keris bukit kang adalah keris yang digunakan oleh Permaisuri Aji Putri Karang Melenu, permaisuri Raja Kutai Kartanegara yang pertama. Berdasarkan legenda, permaisuri ini adalah putri yang ditemukan dalam sebuah gong yang hanyut di atas balai bambu. Dalam gong tersebut, selain ada seorang bayu perempuan, di dalamnya juga terdapat sebuah telur ayam dan sebuah keris, keris bukit kang.

9. Kelambu Kuning
Ada beberapa benda peninggalan kerajaan yang dipercaya memiliki kekuatan magis oleh masyarakat adat Kutai hingga saat ini. benda-benda ini ditempatkan dalam kelambu kuning untuk menghindari tuah dan bala yang bisa ditimbulkannya. Beberapa benda peninggalan sejarah kerajaan kutai tersebut antara lain kelengkang besi, tajau, gong raden galuh, gong bende, arca singa, sangkoh piatu, serta Keliau Aji Siti Berawan.

10. Singgasana Sultan
Singgasana sultan merupakan peninggalan sejarah kerajaan kutai yang masih tetap terjaga hingga kini. Benda tersebut terletak di Museum Mulawarman. Dahulu Setinggil / Singgasana ini digunakan oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sultan Aji Muhammad Parikesit, dan raja-raja kerajaan kutai sebelumnya. Singgasana ini juga dilengkapi dengan payung, umbul-umbul, dan peraduan pengantin Kutai Keraton.

11. Meriam Kerajaan kutai
merupakan kerajaan yang dilengkapi dengan sistem pertahanan kuat. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya peninggalan sejarah berupa meriam dan beberapa alat bela diri lainnya. Adapun meriam, kerajaan kutai memiliki 4 yang hingga kini masih terjaga dengan rapi. Keempat meriam tersebut antara lain Meriam Sapu Jagat, Meriam Gentar Bumi, Meriam Aji Entong, dan Meriam Sri Gunung. Peninggalan

12. Tombak Kerajaan Majapahit
Tombak-tombak tua yang berasal dari Kerajaan Majapahit juga merupakan peninggalan sejarah  kerajaan kutai. Ya, tombak-tombak tersebut telah ada di Muara Kaman sejak dulu. Ini membuktikan jika kerajaan kutai dan Kerajaan Majapahit pada masa silam memiliki hubungan yang sangat erat. Peninggalan

13. Keramik Kuno Tiongkok
Ratusan keramik kuno yang diperkirakan berasal dari berbagai dinasti di kekaisaran Cina tempo dulu yang sempat ditemukan tertimbun di sekitar danau Lipan membuktikan bahwa kerajaan kutai dan kekaisaran china telah melakukan hubungan perdagangan yang erat pada masa silam. Ratusan keramik kuno yang menjadi peninggalan sejarah kerajaan Kutai itu kini tersimpan di ruang bawah tanah musium mulawarman di Tenggarong, Kutai kartanegara. Peninggalan

14. Gamelan Gajah Prawoto
Di Museum Mulawarman saat ini juga terdapat seperangkat gamelan. Gamelan-gamelan ini diyakini berasal dari pulau Jawa. Tak hanya itu, beberapa topeng, keris, pangkon, wayang kulit, serta barang-barang kuningan dan perak yang ada sebagai peninggalan sejarah kerajaan kutai tempo silam juga membuktikan bahwa telah ada hubungan erat antara kerajaan-kerajaan di Jawa dengan Kerajaan Kutai Kartanegara

D.   Kehidupan Politik Kerajaan Kutai
Kehidupan politik yang dijelaskan dalam yupa bahwa raja terbesar Kutai adalah Mulawarman, putra Aswawarman dan Aswawarman adalah putra Kudungga. Dalam yupa dijelaskan bahwa Aswawarman disebut sebagai Dewa Matahari dan pendiri keluarga raja. Hal ini berarti Aswawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang sebagai pendiri keluarga. Berikut adalah penjelasan mengenai raja – raja di Kutai.
Raja Kudungga adalah raja pertama yang berkuasa di Kerajaan Kutai. Tetapi, apabila dilihat dari nama Raja yang masih menggunakan nama Indonesia, para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah kepala suku.
Aswawarman adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putra dan salah satunya adalah Mulawarman.
Mulawarman kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta jika dilihat dari cara penulisannya. Mulawarman adalah raja terbesar dari Kerajaan Kutai. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami masa yang gemilang. Dari Yupa diketahui bahwa masa pemerintahan Mulawarman, kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur

E.   Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kutai
Kehidupan ekonomi di kutai disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan menghadiahkan 20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana. Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.

F.   Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Kutai
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan Kaum Brahmana, seperti yang dijelaskan dalam Yupa, bahwa Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada Kaum Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Istilah Waprakeswara tempat suci untuk memuja Dewa Siwa.
Dalam kehidupan budaya Kerajaan Kutai sudah maju. Hal ini dibuktikan melalui upacara penghinduan yang disebut Vratyastoma. Pada masa Mulawarman upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta Brahmana dari orang Indonesia asli. Adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, terutama penguasaan terhadap bahasa Sanskerta.

G.   Kejayaan Kerajaan Kutai
Masa kejayaan Kerajaaan Kutai berada pada massa pemerintahan Raja Mulawarman. Hal ini karena beliau begitu bijaksana dan royal bagi hal-hal yang religius. Para brahmana dihadiahi emas, tanah, dan ternak secara adil, pengadaan upacara sedekah di tempat yang dianggap suci atau Waprakeswara. Dan dibuktikan juga dengan pemberian sedekah kepada kaum Brahmana berupa 20.000 ekor sapi. Jumlah 20.000 ekor sapi ini membuktikan bahwa pada masa itu kerajaan Kutai telah mempunyai kehidupan yang makmur dan telah mencapai massa kejayaannya.

H.   Runtuhnya Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

Thursday 18 October 2018

Kerajaan Tarumanegara

A. Sejarah Kerajaan Tarumanagara
Kerajaan Terumanagara merupakan kerajaan Hindu tertua ke dua setelah Kerajaan Kutai. Kerajaan Tarumanagara atau Kerajaan Tarum merupakan kerajaan yang berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi. Kata Tarumanagara berasal dari kata Tarum dan Nagara. Tarum yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat yang sekarang bernama sungai Citarum dan kata Nagara yang diartikan sebagai negara atau kerajaan. Berdirinya Kerajaan Tarumanagara masih dipertanyakan oleh para ahli sejarah. Satu-satunya sumber sejarah yang secara lengkap membahas mengenai Kerajaan Tarumanagara adalah Naskah Wangsakerta. Naskah Wangsakerta tersebut masih menjadi perdebatan diantara para sejarawan tentang keaslian isinya.


Menurut Naskah Wangsakerta, pada abad ke-4 Masehi, pulau dan beberapa wilayah Nusantara lainnya didatangi oleh sejumlah pengungsi dari India yang mencari perlindungan akibat terjadinya peperangan besar di sana. Para pengungsi itu umumnya berasal dari daerah Kerajaan Palawa dan Calankayana di India, pihak yang kalah dalam peperangan melawan Kerajaan Samudragupta (India).
Salah satu dari rombongan pengungsi Calankayana dipimpin oleh seorang Maharesi yang bernama Jayasingawarman. Setelah mendapatkan persetujuan dari raja yang berkuasa di barat Jawa (Dewawarman VIII, raja Salakanagara), maka Jayasingawarman membuka tempat pemukiman baru di dekat sungai Citarum. Pemukimannya oleh Jayasingawarman diberi nama Tarumadesya (desa Taruma).
Sepuluh tahun kemudian desa ini banyak didatangi oleh penduduk dari desa lain, sehingga Tarumadesya menjadi besar. Akhirnya dari wilayah setingkat desa berkembang menjadi setingkat kota (Nagara). Semakin hari, kota ini semakin menunjukan perkembangan yang pesat, karena itulah Jayasingawarman kemudian membentuk sebuah Kerajaan yang bernama Tarumanagara.

B. Raja-raja Kerajaan Tarumanagara
Selama berdirinya Kerajaan Tarumanagara dari abad ke-4 sampai abad ke-7 Masehi, kerajaan tersebut pernah dipimpin oleh 12 orang raja, diantaranya:
1. Jayasingawarman (358-382 M)
Pendiri kerajaan Tarumanagara, dengan gelar Rajadirajaguru Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang memerintah selama 24 tahun (358-382 M).
Pada awalnya ia merupakan pewaris tahta Salakanagara, menggantikan mertuanya, raja DewawarmanVIII. Tetapi setelah ia berkuasa pusat pemerintahan dipindahkan dari Rajatapura ke Tarumanagara, sehingga kemudian nama salakanagara berubah menjadi Tarumanagara. Dan Salakanagarapun secara  otomatis menjadi negara bawahan Tarumanagara.
Jayasaingawarman merupakan  seorang maharesi dari Salankayana di India, yang mengungsi ke daerah pasundan, karena daerahnya diserang dan ditaklukan  maharaja Samudragupta dari kerajaan magada, yang mengungsi ke wilayah tanah Sunda.
Tidak seperti penguasa-penguasa salakanagara, keberadaan Jayasingawarman jelas tertulis dalam prasasti Tugu, yang ditemukan di desa Cilincing Jakarta.  Pada parsasti ini ia disebut gelarnya saja, Rajadirajaguru, bersama  dua raja sesudahnya, Rajarsi dan Purnawarman.
Berdasar  keterangan prasasti Tugu, setelah wafat pad tahun 382 M, Abu jenazahnya dilarungkan (dihanyutkan)  di sungai Gomati (sekitar bekasi), maka itu kemudian dikenal sebagai Sang Lumahing Gomati. Ia lalu digantikan oleh anaknya, Rajarsi (rajaresi) Dharmayawarmanguru.

2. Dharmayawarman (382-395 M)
Dharmayawarman atau lengkapnya Rajarsi (Rajaresi) Dharmayawarmanguru yang  berkuasa di Tarumanagara dari tahun 382-395 M, menggantikan ayahnya, Jayasingawarman. Dinamakan Rajarsi  dan guru karena ia juga pemimpin agama.
Setelah meninggal ia dikenal  dengan nama Lumah  ri Chandrabaga karena dipusarakan di sungai Chandrabaga. Ia mempunyai  2 orang anak laki-laki dan seorang perempuan,. Putra pertamanya bernama  Purnawarman, yang kemudian menggantikannya.

3. Purnawarman (395-434 M)
Purnawarman merupakan raja ke-3 dan Raja terbesar Tarumanagara, yang memerintah selama 39 tahun (antara tahun 395 hungga 434 M). Ia naik tahta Tarumanagara menggantikan ayahnya, Dharmayawarman, dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaarakrama Suryamahapurusa Jagatati atau Sang Pramdara Saktipurusa.
Zaman Purnawarman merupakan zaman keemasan tarumanagara. Banyak prasasti memuat kebesaran namanya. Setidaknya ada 7 prasasti yag berkaitan dengannya.
Dalam memerintah ia dibantu adiknya, Cakrawarman, yang menjadi panglima perang (didarat). Sedangkan pamanya, Nagawarman menjadi panglima angkatan laut. Dari prameswarinya, ia mempunyai beberapa anak laki-laki dan perempuan. Diantaranya Wisnuwarman, yang kemudian menggantikannya.
Setelah meninggal, ia digelari Sang Limahing  Tarumanadi, karena abu jenazahnya di larungkan di Sungai Citarum, dan tahta selalunjutnya jatuh kepada anak sulungnya, Wisnuwarman.

4. Wisnuwarman (434-455 M)
Wisnuwarman menggantikan ayahnya, Purnawarman dan berkuasa  di tarumanagara dari tahun 434 sampai dengan 455 M, dengan gelar  Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya  Tunggal Jagatpati.
 Wisnuwarman dinobatkan pada tanggal 14 paro terang bulan posdya tahun 356 saka (434 M). Tiga tahun setelah penobatannya, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya,  Cakrawarman, mahapatih di era ayahnya, (adik Purnawarman).  Cakrawarman merasa bahwa dirinya yang lebih pantas dari Wisnuwarman sehingga memberontak selama 28 hari dari tanggal 14 parogelap bulan asuji sampai dengan 11 parogelap bulan kartika 350 saka atau bertepatan dengan 21 okteober sampai 18 november 437 M, tetapi gagal, dan dapat ditumpas.
Wisnuwarman berkuasa selama 21 tahun (dari tahun 434-455 M). Prameswarinya bernama Suklawarmandewi, adik raja Bakulapura. Suklawarmandewi tidak memberinya keturunan,karena keburu meninggal akibat sakit. Yang menjadi prameswari selanjutnya adalah Suklawatidewi, putri Wiryabanyu yang terkenal kecantikaannya. Dari Suklawatidewi ini, Wisnuwarman  memiliki beberapa putra. Putra sulungnya, yang bernaa Indrawarman kemudian menggantikannya.

5. Indrawarman (455-515 M)
6. Candrawarman (515-535 M)
7. Suryawarman (535-561 M)
8. Kertawarman (561-628 M)
9. Sudhawarman (628-639 M)
10. Hariwangsawarman (639-640 M)
11. Nagajayawarman (640-666 M)
12. Linggawarman (666-669 M)
Linggawarman  dinobatkan sebagai raja Traumanagara ke-12, menggantikan Nagajayawarman, dengan gelar Srimaharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi. Ia merupakan raja terakhir Tarumanagara, yang memerintah hanya 3 tahun  dari tahun 666 hingga 669 M.
Ia menikah dengan Dewi Ganggasari dari Indraprahasta, suatu kerajaan otonom di daerah Cirebon sekarang. Dari Ganggasari, ia memiliki  2 anak, yang keduanya perempuan. Yang pertama, Dewi Manasih, menikah dengan Tarusbawa dari Sundasambawa. Sedang yang kedua, Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Setelah ia meninggal dunia, kekuasaan jatuh ke tangan  menantunya, tarusbawa. Dan tarausbawa ini kemudian memidahkan ibukotanya, di sekitar sungai Pakancilan.

Transisi Tarumanagara ke Kerajan Sunda
Tarumanagara hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Raja terakhir Linggawarman tidak mempunyai  anak laki-laki. Ia mempunyai 2 anak laki-laki. Ia mempunyai 2 anak perempuan, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua, Subakancana menjadi istri Depuntahyang Srijayanasa, pendiri kerajaan Sriwijaya.
Tarusbawa (669-723 M), yang berasal dari kerajaan Sunda Sumbawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa  tarumanagara ke-13. Karena pamor Tarumanagara, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dengan demikian sejak tahun 670 M, nama kerajaan Tarumanagara berubah menjadi kerajaan Sunda.

C. Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanagara
Kerajaan Tarumanagara banyak meninggalkan bukti sejarah, diantaranya ditemukannya 7 buah prasati yaitu:
1. Prasasti Ciareteun yang ditemukan di Ciampea, Bogor. Pada prasasti tersebut terdapat ukiran laba-laba dan tapak kaki serta puisi beraksara Palawa dan berbahasa Sanskerta. Puisi tersebut berbuyi "Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara."
2. Prasasti Pasri Koleangkak yang ditemukan di perkebunan Jambu. Parsasti ini juga sering disebut sebagai Prasasti Jambu. Prasasti Jambu berisi "Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya."
3. Prasasti Kebonkopi yang ditemukan di kampung Muara Hilir, Cibungbulang. Isi prasasti Kebon Kopi : yakni adanya dua kaki gajah yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawati (gajah kendaran Dewa Wisnu). Sedangkan Prasasti Jambu berisi tentang kegagahan raja Purnawarman. Bunyi prasasti itu antara lain :"gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termasyhur Sri Purnawarman, yang memerintah di taruma dan yang baju zirahnya tak dapat ditembus oleh musuh ..."
4. Prasasti Tugu yang ditemukan di dareah Tugu, Jakarta.
5. Prasasti Pasir Awi yang ditemukan di daerah Pasir Awi, Bogor.
6. Prasasti Muara Cianten yang juga ditemukan di Bogor.
7. Prasasti Cidanghiang atau Lebak yang ditemukan di kampung Lebak, pinggir Sungai Cidanghiang, Pandeglang-Banten. Prasasti Didanghiang berisi “Inilah tanda keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja”.
Selain dari prasasti, terdapat juga suber-sumber lain yang berasal dari Cina, diantarnya:
1. Berita dari Fa-Hien, seorang musafir Cina (pendeta Budha) yang terdampar di Yepoti (Yawadhipa/Jawa) tepatnya Tolomo (Taruma) pada tahun 414. Dalam catatannya di sebutkan rakyat Tolomo sedikit sekali memeluk Budha yang banyak di jumpainya adalah Brahmana dan Animisme.
2. Berita dari Dinasti Soui yang menyatakan bahwa pada tahun 528 dan 535 datang utusan dari negeri Tolomo (Taruma) yang terletak disebelah selatan.
3. Berita dari Dinasti Tang Muda yang menyebutkan tahun 666 dan tahun 669 M datang utusan dari Tolomo.

D. Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan Tarumanagara
Kehidupan perekonomian masyarakat Tarumanegara adalah pertanian dan peternakan. Hal ini dapat diketahui dari isi Prasasti Tugu yakni tentang pembangunan atau penggalian saluran Gomati yang panjangnya 6112 tombak (12 km) selesai dikerjakan dalam waktu 21 hari. Masyarakat Kerajaan Tarumanagara juga berprofesi sebagai pedagang mengingat letaknya yang strategis berada di dekat selat sunda.
Pembangunan/penggalian itu mempunyai arti ekonomis bagi rakyat, karena dapat digunakan sebagai sarana pengairan dan pencegahan banjir. Selain penggalian saluran Gomati dalam prasasti Tugu juga disebutkan penggalian saluran Candrabhaga. Dengan demikian rakyat akan hidup makmur, aman, dan sejahtera.
Dari segi kebudayaan sendiri, Kerajaan Tarumanagara bisa dikatakan kebudayaan mereka sudah tinggi. Terbukti dengan penggalian sungai untuk mencegah banjir dan sebagai saluran irigasi untuk kepentingan pertanian. Terlihat pula dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf pada prasasti yang ditemukan, menjadi bukti kebudayaan masyarakat pada saat itu tergolong sudah maju.

E. Masa Kejayaan Kerajaan Tarumanegara
Tak butuh waktu lama, Kerajaan Tarumanegara mengalami masa kejayaan atau masa keemasan hanya sekitar 3 generasi dari awal pembentukannya. Ya, Kerajaan Tarumanegara berhasil mencapai masa kejayaan pada kepemimpinan raja ketiga, Purnawarman, cucu dari Rajadirajaguru Jayasingawarman.
Pada masa kejayaannya itu, Tarumanegara mengalami perkembangan pesat. Selain dengan memperluas wilayah kerajaan melalui ekspansi ke kerajaan-kerajaan kecil di sekitar kekuasaannya, Raja Purnawarman juga membangun berbagai infrastruktur yang mendukung perekonomian kerajaan. Adapun salah satunya adalah sungai Gomati dan Candrabaga. Kedua sungai ini selain untuk mencegah terjadinya banjir saat musim hujan, juga berperan penting dalam pengairan lahan pertanian sawah yang dulu menjadi salah satu penggerak kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Tarumanegara. Masa kepemimpinan Raja Purnawarman dianggap sebagai masa kejayaan Kerajaan Tarumanegara selain itu juga karena kemampuan kerajaan yang mampu berkurban 1000 ekor sapi saat pembangunan ke dua sungai itu.

F. Masa Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
Masa keruntuhan kerajaan Tarumanegara dialami setelah kerajaan ini dipimpin oleh raja generasi ke 13, Raja Tarusbawa namanya. Keruntuhan kerajaan Hindu pertama  di Pulau Jawa ini dilatarbelakangi oleh kekosongan kepemimpinan karena Raja Tarusbawa lebih menginginkan untuk memimpin kerajaan kecilnya di hilir sungai Gomati. Selain itu, gempuran beberapa kerajaan lain di nusantara pada masa itu, terutama kerajaan Majapahit juga memegang andil penting dalam keruntuhan Kerajaan Tarumanegara itu.