Showing posts with label Teori Belajar. Show all posts
Showing posts with label Teori Belajar. Show all posts

Monday 2 July 2018

Teori Belajar John Watson

A.     Mengenal John Watson
John Broades Watson dilahirkan di Greenville pada tanggal 9 Januari 1878 dan wafat di New York City pada tanggal 25 September 1958.Ia mempelajari ilmu filsafat di University of Chicago dan memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1903 dengan disertasi berjudul “Animal Education”. Watson dikenal sebagai ilmuwan yang banyak melakukan penyelidikan tentang psikologi binatang.
Pada tahun 1908 ia menjadi profesor dalam psikologi eksperimenal dan psikologi komparatif di John Hopkins University di Baltimore dan sekaligus menjadi direktur laboratorium psikologi di universitas tersebut. Antara tahun 1920-1945 ia meninggalkan universitas dan bekerja dalam bidang psikologi konsumen.
John Watson dikenal sebagai pendiri aliran behaviorisme di Amerika Serikat. Karyanya yang paling dikenal adalah “Psychology  as the Behaviourist view it” (1913). Menurut Watson dalam beberapa karyanya, psikologi haruslah menjadi ilmu yang obyektif, oleh karena itu ia tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya diteliti melalui metode introspeksi. Watson juga berpendapat bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam. Oleh karena itu, psikologi harus dibatasi dengan ketat pada penyelidikan-penyelidikan tentang tingkahlaku yang nyata saja. Meskipun banyak kritik terhadap pendapat Watson, namun harus diakui bahwa peran Watson tetap dianggap penting, karena melalui dia berkembang metode-metode obyektif dalam psikologi.
Peran Watson dalam bidang pendidikan juga cukup penting. Ia menekankan pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkahlaku. Ia percaya bahwa dengan memberikan kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, maka akan dapat membuat seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu. Ia bahkan memberikan ucapan yang sangat ekstrim untuk mendukung pendapatnya tersebut, dengan mengatakan: “Berikan kepada saya sepuluh orang anak, maka saya akan jadikan ke sepuluh anak itu sesuai dengan kehendak saya”.

B.     Pandangan Utama Watson
Psikologi adalah cabang eksperimental dari natural science. Posisinya setara dengan ilmu kimia dan fisika sehingga introspeksi tidak punya tempat di dalamnya.Sejauh ini psikologi gagal dalam usahanya membuktikan jati diri sebagai natural science. Salah satu halangannya adalah keputusan untuk menjadikan bidang kesadaran sebagai obyek psikologi. Oleh karenanya kesadaran/mind harus dihapus dari ruang lingkup psikologi.
Beberapa pandangan utama Watson:
Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud dengan stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar. Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned
Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya, mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara total. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind. Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi populer.]
Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports.
Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain.
Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia (subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike salah.
Pandangannya tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauhmana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah kebutuhan.
Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture lainnya.
Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris pada eksperimen terkontrol.
           
C. Teori dan Konsep Behaviorisme dari Watson
Teori belajar S-R (stimulus-respon) yang langsung ini disebut juga dengan koneksionisme menurut Thorndike, dan behaviorisme menurut Watson, namun dalam perkembangan besarnya koneksionisme juga dikenal dengan psikologi behavioristik.
Stimulus dan respon (S-R) tersebut memang harus dapat diamati, meskipun perubahan yang tidak dapat diamati seperti perubahan mental itu penting, namun menurutnya tidak menjelaskan apakah proses belajar tersebut sudah terjadi apa belum.  Dengan asumsi demikian, dapat diramalkan perubahan apa yang akan terjadi pada anak.
Teori perubahan perilaku (belajar) dalam kelompok behaviorisme ini memandang manusia sebagai produk lingkungan. Segala perilaku manusia sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitarnya. Lingkunganlah yang membentuk kepribadian manusia.Behaviorisme tidak bermaksud mempermasalahkan norma-norma pada manusia. Apakah seorang manusia tergolong baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun irasional. Di sini hanya dibicarakan bahwa perilaku manusia itu sebagai akibat berinteraksi dengan lingkungan, dan pola interaksi tersebut harus bisa diamati dari luar.
Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya dikatakan sebagai hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar dengan respons yang ditampilkan oleh individu. Respons tertentu akan muncul dari individu, jika diberi stimulus dari luar. S singkatan dari Stimulus, dan R singkatan dari Respons.
Pada umumnya teori belajar yang termasuk ke dalam keluarga besar behaviorisme memandang manusia sebagai organisme yang netral-pasif-reaktif terhadap stimulus di sekitar lingkungannya. Orang akan bereaksi jika diberi rangsangan oleh lingkungan luarnya. Demikian juga jika stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang cukup lama, akan berakibat berubahnya perilaku individu. Misalnya dalam hal kepercayaan sebagian masyarakat tentang obat-obatan yang diiklankan di televisi. Mereka sudah tahu dan terbiasa menggunakan obat-obat tertentu yang secara gencar ditayangkan media televisi. Jika orang sakit maag maka obatnya adalah promag, waisan, mylanta, ataupun obat-obat lain yang sering diiklankan televisi. Jenis obat lain tidak pernah digunakannya untuk penyakit maag tadi, padahal mungkin saja secara higienis obat yang tidak tertampilkan, lebih manjur, misalnya : Syarat terjadinya proses belajar dalam pola hubungan S-R ini adalah adanya unsur: dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respons, dan penguatan (reinforcement). Unsur yang pertama, dorongan, adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan tersedianya sejumlah uang untuk membeli buku bacaan tertentu, maka ia terdorong untuk membelinya dengan cara meminta uang kepada ibu atau bapaknya. Unsur dorongan ini ada pada setiap orang, meskipun kadarnya tidak sama, ada yang kuat menggebu, ada yang lemah tidak terlalu peduli akan terpenuhi atau tidaknya.
Unsur berikutnya adalah rangsangan atau stimulus. Unsur ini datang dari luar diri individu, dan tentu saja berbeda dengan dorongan tadi yang datangnya dari dalam. Contoh rangsangan antara lain adalah bau masakan yang lezat, rayuan gombal, dan bahkan bisa juga penampilan seorang gadis cantik dengan bikininya yang ketat.
Dalam dunia aplikasi komunikasi instruksional, rangsangan bisa terjadi, bahkan diupayakan terjadinya yang ditujukan kepada pihak sasaran agar mereka bereaksi sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kegiatan mengajar ataupun kuliah, di mana banyak pesertanya yang tidak tertarik atau mengantuk, maka sang komunikator instruksional atau pengajarnya bisa merangsangnya dengan sejumlah cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan bertanya tentang masalah-masalah tertentu yang sedang trendy saat ini, atau bisa juga dengan mengadakan sedikit humor segar untuk membangkitkan kesiagaan peserta dalam belajar.
Dari adanya rangsangan atau stimulus ini maka timbul reaksi di pihak sasaran atau komunikan. Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada situasi, kondisi, dan bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari seseorang akibat dari adanya rangsangan dari luar inilah yang disebut dengan respons dalam dunia teori belajar ini. Respons ini bisa diamati dari luar. Respons ada yang positif, dan ada pula yang negatif. Yang positif disebabkan oleh adanya ketepatan seseorang melakukan respons terhadap stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang negatif adalah apabila seseorang memberi reaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan.
Unsur yang keempat adalah masalah penguatan (reinforcement). Unsur ini datangnya dari pihak luar, ditujukan kepada orang yang sedang merespons. Apabila respons telah benar, maka diberi penguatan agar individu tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi. Seorang anak kecil yang sedang mencoreti buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba dibentak dengan kasar oleh kakaknya, maka ia bisa terkejut dan bahkan bisa menderita guncangan sehingga berakibat buruk pada anak tadi. Memang anak tadi tidak mencoreti buku lagi, namun akibat yang paling buruk di kemudian hari adalah bisa menjadi trauma untuk mencoreti buku karena takut bentakan. Bahkan yang lebih dikhawatirkan lagi akibatnya adalah jika ia tidak mau bermain dengan buku lagi atau alat tulis lainnya. Itu penguatan yang salah dari seorang kakak terhadap adiknya yang masih kecil ketika sedang mau memulai menulis buku. Barangkali akan lebih baik jika kakaknya tadi tidak dengan cara membentak kasar, akan tetapi dengan bicara yang halus sambil membawa alat tulis lain berupa selembar kertas kosong sebagai penggantinya. Misalnya, “Bagus!, coba kalau menggambarnya di tempat ini, pasti lebih bagus”.
Dengan cara penguatan seperti itu, sang anak tidak merasa dilarang menulis. Itu namanya penguatan positif. Contoh penguatan positif lagi, setiap anak mendapat ranking bagus di sekolahnya, orang tuanya memberi hadiah berwisata ke tempat-tempat tertentu yang menarik, atau setidaknya dipuji oleh orang tuanya, maka anak akan berusaha untuk mempertahankan rankingnya tadi pada masa yang akan datang.
Ada tiga kelompok model belajar yang sesuai dengan teori belajar behaviorisme ini, yaitu yang menurut namanya disebut sebagai hubungan stimulus-respons (S-R bond), pembiasaan tanpa penguatan (conditioning with no reinforcement), dan pembiasaan dengan penguatan (conditioning through reinforcemant). Ada satu lagi teori belajar yang masih menganut paham behaviorisme ini adalah teori belajar sosial dari Bandura.

Friday 1 June 2018

Teori Belajar Edwin Ray Guthrie

A.     Riwayat Edwin Ray Guthrie
Guthrie lahir di Lincoln Nebrazka tanggal 9 Januari  pada tahun 1886 dan meninggal pada tahun 1959. Setelah SMA kemudian meneruskan studinya ke universitas Nebraska dan lulus dengan sarjana matematika dan kemudian mengajar matematika di beberapa sekolah menengah sambil memperdalam filsafat di Universitas Pennsylvania dan lulus sebagai doktor. Kemudian menjadi instruktur filsafat di Universitas Washington. Setelah lima tahun ia pindah ke Departemen Psikologi sampai karirnya berakhir. Guthrie adalah profesor psikologi di University of Washington   dari tahun 1914 sampai pensiun pada tahun 1952. Gaya tulisan Gutrie lebih mudah untuk dipelajari karena penuh humor, dan menggunakan banyak kisah untuk menunjukkan contoh ide-idenya supaya mudah dipahami oleh mahasiswanya. Dia sangat menekankan pada aplikasi praktis dari gagasanya dan dalam hal ini mirip dengan Thorndike dan Skinner. Dia sebenarnya bukan eksperimentalis meskipun jelas dia punya pandangan dan orientasi dan eksperimental. Bersama dengan Horton ia melakukan satu percobaan yang tekait dengan teori belajarnya.
Pada usia 33 tahun Guthrie pemenang nobel yang diberikan asosiasi psikologi Amerika dalam kontribusi terakhir. Karya dasarnya adalah The Psycholoy of Learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direvisi pada 1952.
Pada publikasi terahirnya sebelum meninggal, Guthrie sempat merevisi hukum kontiguitasnya menjadi, “apa-apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa- apa yang dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimulus yang dihadapi oleh organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimulus itu. Organisme hanya akan memproses secara efektif pada sebagian kecil dari stimulus yang dihadapinya, dan selanjutnya proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respons.
Meskipun Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimulus lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimulus (stimulus yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimulus dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.

B.     Konsep Teoritis Utama
1.     Pandangan Guthrie Tentang Hukum Belajar
Sebagian besar teori belajar dapat dianggap sebagai usaha untuk menentukan kaidah yang mengatur terjadinya asosiasi antara stimulus dan respons. Guthrie (1952) berpendapat bahwa kaidah yang dikemukakan oleh parateoritis seperti Thorndike dan Pavlov adalah terlalu ruwet dan tak perlu, dan sebagai penggantinya dia mengusulkan satu hukum belajar, Law of contiguity (hukum kontiguitas), yang dinyatakan sebagai berikut : “kombinasi stimulus yang mengirirngi suatu gerakan akan cenderung diikuti oleh gerakan itu jika kejadiannya berulang. Perhatikan bahwa disini tidak dikatakan tentang “gelombang konfirmasi” atau penguatan atau efek menyenangkan”. Cara lain menyatakan hukum kontiguitas adalah jika anda cenderung akan melakukan hal yang sama. Kunci teori guthrie terletak pada prinsip tunggal bahwa kontiguitas merupakan fondasi pembelajaran.
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sering diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap dan karena itu pula diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) bila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Hukum tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan bahwa, jika respons menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model kondisional berupa CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan.
Stimulus dan respon cendrung bersifat sementara, persetujuan umum di kalangan psikolog, bahwa kontiguitas stimulus dan respon merupakan kondisi yang penting bagi proses belajar, maka dari itu diperlukan pemberian stimulus yang sering, agar hubungan itu menjadi lebih langgeng, suatu respon akan lebih kuat dan menjadi kebiasaan bila respon tersebut berhubungan dengan berbagaimacam stimulus, situasi belajar merupakan gabungan stimulus dan respon, akan tetapi asosiasi ini bisa benar dan bisa salah.
Dalam publikasinya terakhir sebelum dia meninggal, Guithrie (1959) merevisi kontiguitasnya menjadi, “apa-apa yang dilihat akan menjadi sinyal untuk apa-apa yang dilakukan”. ini adalah cara Guithrie mengakui begitu banyaknya jumlah stimulus yang dihadapi organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimulus itu. Organisme akan merespons secara selektif pada sebagian kecil dari stimulus yang dihadapinya, dan proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respon. Disini kita dapat melihat ada kemiripan antara pemikiran Guthrie dengan konsep Thorndike tentang “prapotensi elemen”, yang juga menyatakan bahwa organism merespon secara selektif terhadap aspek-aspek ligkungan yang berbeda-beda.
2.     Belajar Satu Percobaan
Unsur lain dari hukum asosiasi Aristoteles adalah hukum frekuensi, yang menyatakan bahwa kekuatan asosiasi akan tergantung pada frekuensi kejadiannya. Jika hukum frekuensi dimodifikasi untuk merujuk pada asosiasi antara respons yang menimbulkan “keadaan yang memuaskan” dengan kondisi pemicu yang mendahului respons, Thorndike, Skinner, dan Hull akan menerimanya. Semakin sering suatu proses dikuatkan dalam situasi tertentu akan semakin besar kemungkinan respons itu akan dilakukan saat situasi itu terjadi lagi. Jika asosiasinya adalah antara CS dan US, Pavlov akan menerima hukum frekuensi. Semakin banyak jumlah penyandingan antara CS dan US, semakin besar respons yang dikondisikan yang diakibatkan oleh CS.

Namun prinsip One-Trial Learning (belajar suatu percobaan) dari Guthrie (1942) menolak hukum frekuensi sebagai prinsip belajar : “Suatu pola stimulus mendapatkan kekuatan asosiatif penuh pada saat pertama kali dipasangkan dengan suatu respons”. Jadi, menurut Guithrie, belajar adalah hasil dari kontiguitas antara pola stimulus dengan satu respon, dan belajar akan lengkap (asosiasi penuh) hanya setelah penyandingan antara stimulus dan respon.
3.     Prinsip kebaruan
Prinsip kontiguitas dan belajar satu percobaan membutuhkan recency principle (prinsip kebaruan), yang menyatakan bahwa repsons yang dilakukan terakhir kali dihadapat seperangkat stimulus adalah respons yang akan dilakukan ketika kombinasi stimulus itu terjadi lagi di waktu lain. Dengan kata lain, apapun yang kita lakukan terakhir kali dalam situasi tertentu akan cenderung kita lakukan lagi jika situasi itu kita jumpai lagi.
4.     Stimulus yang Dihasilkan oleh Gerakan
Meskipun Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimulus lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimulus yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimulus dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.
5. Mengapa Praktik latihan Meningkatkan Performa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Guthrie membedakan antara acts (tindakan) dengan movement (gerakan). Gerakan adalah kontraksi otot; tindakan terdiri dari berbagai macam gerakan. Tidakan biasanya didefinisikan dalam term apa- apa yang dicapainya, yakni perubahan apa yang mereka lakukan dalam lingkungan. Sebagai contoh tindakan, Guthrie menyebut misalnya mengetik surat, makan pagi, melempar bola, membaca buku, atau menjual mobil.
Adapun untuk belajar tindakan membutuhkan praktik latihan. Belajar bertindak, yang berbeda dari gerakan, jelas membutuhkan praktik sebab ia mengharuskan gerakan yang tepat telah diasosiasikan dengan petunjuknya. Bahkan menurut Guthrie, tindakan sederhana seperti memegang raket membutuhkan beberapa gerakan berbeda sesuai jarak dan arah posisi subjek itu.Untuk itulah diperlukan sebuah latihan, karena dengan menguasai sebuah tindakan tidak menjamin pada saat waktu, jarak, dan posisi yang berbeda tindakan itu masih dapat dilakukan.
6.     Sifat Penguatan menurut Edwin Ray Guthrie
Gutrie menggunakan isu yang dibahas Thorndike, ketika satu respons menimbulkan keadaan yang memuaskan, maka selanjutnya terulangnya respons akan meningkat. Guthrie menganggap hukum efek tidak dibutuhkan. Menurut Guthrie, reinformance (penguatan) hanyalah aransemen mekanis, yang dianggap dapat dijelaskan dengan hukum belajaranya.
Gutrie menganggap, penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi, dan karenanya mencegah terjadinya nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka teki, hal yang dilakukan hewan sebelum menerima satu penguat adalah menggerakkan satu tuas atau menarik cincin, yang membuatanya bisa keluar dari kotak itu, dan seterusnya. Oleh karena itulah, Guthrie dan Horton mengatakan, menurut pendapat mereka tindakan yang dilakukan oleh kucing itu akan selalu sama, karena kucing itu menganggap itulah caranya membebaskan diri dari kotak. Oleh karena itu, tidak memungkinkan adanya respons baru yang dihubungkan dengan kotak tersebut.
7.     Eksperimen Guthrie-Horton
Guthrie dan Horton (1946) secara cermat mengamati sekitar delapan ratus kali tindak melepaskan diri dari kontak teka teki yang dilakukan oleh kucing. Observasi ini dilaporkan dalam buku berjudul Cats in a Puzlle Box. Kotak yang mereka pakai sama dengan yang dipakai Thorndike dalam melakukan eksperimennya. Guithrie dan Horton menggunakan banyak kancing sebagai subjek percobaan, tetapi mereka melihat setiap kucing belajar keluar dari kotak dengancara sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Repons khusus yang dipelajari oleh hewan tertentu adalah respons yang dilakukan hewan sebelum ia keluar dari kotak.karena respons ini cenderung diulang lagi saat kucing diletakkan di kotak di waktu yang lain, maka dinamakan stereotyped behavior (perilaku stereotip). Misalnya, kucing A akan menekan tuas dengan pantatnya, kucing B dengan kepalanya, atau kucing C dengan cakarnya. Guthrie mengatakan bahwa dalam masing-masing kaus, terbykanya pintu kotak merupakan perubahan yang mendadak dalam kondisi yang menstimulasi.demham mengubah kondisi yang menstimulasi, respons menggerakan tuas dengan pantas, misalnya, tidak akan dilupakan. Hal terakhir yang dilakukan hewan sebelum pintu terbuka adalah mendorong tuas dengan pantat, dank arena ia mendorong dengan pantat itulah kondisi yang menstimulasi berubah. Jadi, berdasarkan hukum kebaruan, ketika kita menempatkan hewan itu lagi ke kotak diwaktu lain, hewan itu akan merespons dengan mendorong tuas dengan pantatnya, dan inilah yang dilihat oleh Guthrie dan Horton dalam percobaannya.
Guthrie dan Horton (1946) mengamati baehwa sering kali hewan, setelah bebas dari kotak, akan mengabaikan ikan yang diberikan kepadanya. Meskipun hewan itu mengabaikan objek yang disebut penguatan tersebut, hewan itu tetap bisa keluar dari kotak dengan lancer ketika diwaktu yang lain ia dimasukkan lagi ke dalam kotak. Observasi ini, menurut Guthrie, memperkuat pendapatnya bahwa penguatan hanyalah aransemen mekanis yang mencegah terjadinya unlearning. Guthrie menyimpulkan bahwa setiap kejadian yang diikuti dengan respons yang diinginkan dari hewan akan mengubah kondisi yang menstimulasi dan karenanya mempertahankan respons didalam kondisi yang menstimulasi sebelumnya. Tetapi, seperti yang akan kita lihat nanti, ada alternative untuk interpretasi Guthrie atas observasi ini.
8.     Lupa Menurut Guthrie
Menurut Guthrie, lupa disebabkan oleh munculnya respons alternatif dalam satu pola stimulus. Setelah pola stimulus menghasilkan respons alternatif, pola stimulus itu kemudian akan cenderung menghasilkan respons baru. Jadi menurut Guthrie, lupa pasti melibatkan proses belajar baru. Ini adalah bentuk retroactive inhibition (hambatan retroaktif) yang ekstrem, yakni fakta bahwa proses belajar lama diintervensi oleh proses belajar baru.
Untuk menunjukkan hambatan retroaktif, contohnya sebagai berikut: Seseorang yang belajar tugas A dan kemudian belajar tugas B lalu diuji untuk tugas A. satu orang lainnya belajar tugas A, tetapi tidak belajar tugas B, dan kemudian diuji pada tugas A. secara umum akan ditemukan bahwa orang pertama mengingat tugas A lebih sedikit ketimbang orang kedua. Jadi, tampak bahwa mempelajari hal baru (tugas B) telah mencampuri retensi dari apa yang dipelajari sebelumnya (tugas A).
Guthrie menerima bentuk hambatan retroaktif ekstrim ini. Pendapatnya adalah bahwa setiap kali mempelajari hal yang baru, maka proses itu akan menghambat sesuatu yang lama. Dengan kata lain, lupa disebabkan oleh intervensi. Tak ada intervensi, maka lupa tidak akan terjadi.

C.     Penerapan Teori dalam  Memutuskan Kebiasaan
Kebiasaan adalah respon yang diasosiasikan dengan sejumlah besar stimulus. Semakin banyak stimulus yang menimbulkan respon, semakin kuat kebiasaan. Untuk memutus kebiasaan aturannya selalu sama, yaitu cari petunjuk yang memicu kebiasaan buruk dan lakukan respon lain saat petunjuk itu muncul. Berikut ini metode-metode yang dinyatakan oleh Guthrie:
[     Metode Ambang: dengan memperkenalkan stimulus lemah yang tidak menimbulkan respon dan kemudian pelan-pelan menaikkan intensitas stimulus itu, tetapi selalu berhati-hati agar ia tetap berada di bawah “ambang batas” respon. Contoh memasang pelana kuda: mulai dengan selimut yang ringan, kemudian yang lebih berat, baru kemudian pelana kuda.
[     Metode Kelelahan: dengan mendorong stimulus secara terus menerus sampai respon yang diberikan berhenti atau tidak ada respon lagi. Contoh penjinakan dimana pelana dilempar ke punggung kuda kemudian penunggangnya menaikinya dan berusaha mengendarai kuda itu sampai kuda itu menyerah.
[     Metode Respon yang Tidak Sesuai: stimulus untuk respon yang tidak diinginkan disajikan bersama stimulus lain yang menghasilkan respon yang tidak sesuai dengan respon yang tidak diinginkan tersebut. Contoh seorang anak mendapat hadiah boneka panda namun reaksi pertamanya takut dan menghindar. Sebaliknya ibu si anak memberikan rasa kehangatan dan kenyamanan pada diri si anak. Dengan menggunakan metode respon yang tak kompatibel anda akan memasangkan ibu dan boneka panda diharapakkan ibu akan menjadi setimulus dominan. Jika ibu menjadi stimulus dominan, reaksi anak terhadap kombinasi ibu-boneka itu akan berupa relaksasi. Setelah reaksi relaksai muncul ketika ada boneka panda, maka boneka itu dapat dihadirkan sendirian dan akan muncul relaksasi dalam diri anak.
1.     Membelokkan Kebiasaan
Ada perbedaan antara memutus kebiasaan dengan membelokkan kebiasaan. Membelokkan kebiasaan dilakukan dengan menghindari petujnjuk yang menimbulkan perilaku yang tak diinginkan. Jika anda mengumpulkan sejumlah besar pola perilaku tak efektif atau menyebabkan kecemasan, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah meningkatkan situasi itu. Guthrie menyarankan agar anda pergi kesuatu lingkungan baru yang memberi anda kesegaran baru karena anda tidak punya banyak asosiasi dengan lingkungan baru itu. Pergi kelingkungan baru akan membuat anda legah dan bisa mengembangkan pola perilaku yang baru. Tetapi ini hanyalah pelarian parsial karena banyak stimulus yang menyebabkan perilaku yang tak diinginkan adalah stimulus internal anda, dan anda karenanya akan membawa stimulus itu ke lingkungan yang baru. Juga stimulus dalam lingkungan baru yang identik atau mirip dengan stimulus di lingkungan lama akan cenderung menimbulkan respon yang sebelumnya di kaitkan dengannya.
2.     Hukuman Menurut Guthrie
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Hukuman yang diberikan dalam proses pembelajaran harus sesuai dengan asumsi dan ideologi yang ada dalam diri siswa.
Meskipun menurut sekolah hukuman itu tidak edukatif dan tidak efektif, bisa saja menurut sekolah yang lain sangat efektif. Hal ini disebabkan oleh asusmi ideologis yang diyakini di kalangan siswa. Contoh jenis hukuman di pondok pesantren tidak sesuai jika diterapkan di sekolah formal yang jauh dari budaya pondok pesantren.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini dapat terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain seperti minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain.
Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang dari sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topik dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide tentang penguatan (reinforcement).
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie yaitu:
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.
Ketidak samaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respon.
Efektifitas hukuman ditentukan oleh apa penyebab apa penyebab tindakan yang dilakukan oleh organisme yang dihukum itu. Hukuman bekerja dengan baik bukan kerena rasa sakit yang dialami oleh individu yang terhukum, akan tetapi karena hukuman mengubah cara indiviu merespons stimulus yang sama. Hukuman dikatakan berhasil ketika hukuman berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena hukuman menimbulkan perilaku yang tidak kompatibel dengan perilaku yang dihukum. Dan hukuman dikatakan gagal apabila perilaku yang disebabkan oleh hukuman selaras dengan perilaku yang dihukum.
Karena pandangan Guthrie tentang asosiasi tergantung pada stimulus dan respon, peran penguatan memiliki interpretasi unik. Guthrie percaya pada pembelajaran satu kali mencoba, dengan kata lain kedekatan hubungan antara elemen-elemen stimulus dan respon langsung menghasilkan ikatan asosiatif penuh.
3.     Dorongan Menurut Guthrie
Drives (dorongan) fisiologis merupkan apa yang oleh Guthrie dikatakan maintaining stimulus (stimulus yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai. Misalnya, rasa lapar menghasilkan stimulus internal yang terus ada sampai makanan dikonsumsi. Ketika makan diperoleh, maintaining stimulus akan hilang, dan karenanya kondisi yang menstimulasi telah berubah.
4.     Niat Menurut Guthrie
Respons yang dikondisikan ke maintaining stimuli dinamakan intentions (niat). Respons tersebut dinamakan niat karena maintaining stimuli dari dorongan biasanya berlangsung selama periode waktu tertentu (sampai dorongan berkurang).
Gambarannya, ketika seseorang lapar dan ada roti di dalam kantor, dia akan memakannya. Tetapi jika dia lupa membawa bekal makan siang, dia akan berdiri dari kursi, mengenakan jaket, mencari restoran, dsb. Perilaku yang dipicu oleh maintaining stimuli inilah yang tampak purposive atau intensional (diniatkan).
5.     Transfer Training Menurut Guthrie
Gutrhrie dalam hal ini kurang terlalu berharap. Karena pada dasarnya seseorang akan menunjukkan respons yang sesuai dengan stimulus jika pada kondisi yang sama. Guthrie selalu mengatakan pada mahasiswa universitasnya, jika anda ingin mendapat manfaat terbesar dari studi anda, anda harus berlatih dalam situasi yang persis sama-dalam kursi yang sama-di mana anda akan diuji. Jika anda belajar sesuatu di kamar, tidak ada jaminan pengetahuan yang diperoleh disitu akan ditransfer ke kelas.
Saran Guthrie adalah selalu mempraktikkan perilaku yang persis sama yang akan diminta kita lakukan nanti, selain itu, kita harus melatihnya dalam kondisi yang persis sama dengan kondisi ketika nanti kita diuji. Gagasan mengenai pemahaman, wawasan dan pemikiran hanya sedikit, atau tidak ada maknanya bagi Guthrie. Satu-satunya hukum belajar adalah hokum kontiguitas, yang menyatakan bahwa ketika dua kejadian terjadi bersamaan, keduanya akan dipelajari.
D.     Teori Conditioning dari Guthrie
Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan-­deretan tingkah laku yang terdiri dari unitunit. Unitunit tingkah laku ini merupakan reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demi­kianlah seterusnya sehingga merupakan deretanderetan unit tingkah laku yang terus-menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unitunit tingkah laku satu sama lain yang ber­urutan. Ulanganulangan atau latihan yang berkalikali mem­perkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
Sebagai penjelasan dari percobaan Pavlov sebagai berikut: Pada mulanya anjing percobaan keluar air liur ketika disodorkan makanan. Setelah berkalikali sambil menyodorkan makanan dilakukan juga menyorotkan sinar merah kepada anjing itu; pada suatu ketika hanya dengan menyorotkan sinar merah, anjing itu keluar juga air liurnya. Jadi, dalam hal ini terjadi asosiasi yang makin kuat antara sinar merah (stimulus) dengan keluar­nya air liur (respons). Yang penting pula diperhatikan dalam percobaan itu ialah; dapat diubahnya suatu stimulus (unit) tertentu dengan stimulus yang lain. Karena itu, menurut Guthrie untuk mengubah kebiasaankebiasaan yang tidak baik, harus dilihat dalam rentetan deretan unitunit tingkah lakunya, kemudian kita usahakan untuk menghilangkan unit yang tidak baik itu atau menggantinya dengan yang lain yang seharusnya.
Berikut ini sebuah contoh sebagai penjelasan. Seorang ibu datang menanyakan kepada Guthrie, bahwa anak perempuannya setiap pulang dari sekolah selalu melemparkan tas dan pakaiannya ke sudut kamarnya, kemudian ganti pakaian dan terus makan tanpa meletakkan tas dan pakaiannya pada gantungan yang telah tersedia untuk itu. Teguranteguran ibu untuk menggantungkan tas dan pakaian pada tempatnya, hanya berlaku satu atau dua, hari saja, sesudah itu kebiasaan yang buruk berulang lagi. Bagaimana cara memperbaiki kebiasaan buruk pada anak tersebut?
Guthrie menyarankan (sesuai dengan teori conditioning) perbaikan seperti berikut:
Teguran ibu jangan hanya menyuruh menggantungkan tas dan pakaiannya sesudah anak itu makan, akan tetapi anak tersebut harus disuruh memakai pakaian itu lagi dan menyandang tasnya dan kemudian anak itu masuk ke rumah lagi terus menggantungkan tasnya dan pakaiannya, berganti pakaian, dan selanjutnya makan. Jadi, proses berlangsungnya unitunit tingkah.
E.     Teori Keterhubungan Guthrie
Guthrie lebih menekankan pada hubungan antara stimulus dan respons, dan beranggapan bahwa setiap respons yang didahului atau dibarengi suatu stimulus atau gabungan dari beberapa stimulus akan timbul lagi bila stimulus tersebut diulang lagi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu stimulus tertentu akan menimbulkan respons tertentu. Suatu respons hanya terbina oleh satu kali percobaan saja, oleh karena itu pengulangan atau repetisi tidak memperkuat hubungan stimulus respons. Namun demikian, Guthrie menekankan pada pentingnya pengulangan atau drill. Pengulangan tersebut bukan dimaksudkan untuk memperkuat hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok dengan respons yang diharapkan. Guthrie memulai proses pendidikannya dengan memaparkan tujuan-tujuannya serta dengan mengemukakan respons-respons apa yang perlu dibuat terhadap rangsangan tertentu. Kemudian dia akan menciptakan lingkungan belajar yang tertata sedemikian rupa sehingga respons yang diinginkan dihasilkan sesuai dengan rangsangan yang ada. Motivasi bagi Guthrie bahkan lebih tidak penting lagi sebagaimana yang dianggap penting oleh Thorndike. Apa yang diperlukan dalam proses belajar hanyalah agar siswa memberikan respons yang tepat ketika hadir suatu rangsangan.
Latihan dianggap penting sekiranya hal ini menyebabkan lebih banyak terjadinya rangsangan yang menghasilkan perilaku yang diinginkan. Karena setiap pengalaman sifatnya unik, maka siswa harus mempelajarinya berulang-ulang. Tidak ada jaminan bahwa siswa yang sudab belajan dua tambah dua sama dengan empat (2 + 2 = 4) di papan tulis akan menjawab sama ketika ia telah duduk di bangkunya. Dengan demikian siswa tidak hanya diharuskan belajar bahwa dua balok tambah dua balok sama dengan empat balok, tetapi mereka harus juga membuat pertambahan yang baru dengan menggunakan benda-benda lain, seperti apel, buku, kucing, dll.
Meskipun pembelajaran secara konstan berlangsung terus, pendidikan dalam kelas merupakan suatu usaha untuk menghubungkan stimulus tertentu dengan responsnya dengan penuh tujuan. Seperti juga Thorndike, Guthrie percaya bahwa pendidikan formal harus menyerupai situasi kehidupan nyata sebanyak mungkin. Para guru penganut teori Guthrie akan diperbolehkan untuk kadang-kadang menggunakan hukuman untuk menangani perilaku siswa yang menyimpang. Agar pemakaiannya efektif, hukuman harus digunakan ketika perilaku menyimpang tadi terjadi.
Lebih jauh lagi hukuman harus menyebabkan timbulnya perilaku yang bertentangan dengan perilaku menyimpang tadi. Jika misalnya siswa yang sedang membuat kegaduhan di kelas dihukum dengan cara diteriaki oleh guru, tetapi reaksinya malah membuat kegaduhan yang lebih besar, maka hukuman itu malah akan menguatkan perilaku yang sedang dilakukannya.

F.     Pendapat dan Penerapan Teori Belajar Behaviorisme Guthrie dalam Pendidikan
Seperti halnya Thorndike, Guthrie menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk stimulus. Dia menyarankan lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang diinginkan bersama dengan adanya stimulus yang akan diletakkan padanya. Jadi motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa mesti merespons dengan tepat dalam kehadiran stimulus tertentu.
Latihan (praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimulus untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah unik, seseorang harus “belajar ulang” berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa belajar 2 + 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa 2 + 2 ketika dibangku. Karena memungkinkan siswa akan belajar meletakkan respons pada setiap stimulus (di dalam atau di luar kelas).
Mengasosiasikan rangsangan dan respons secara tepat merupakan inti dari teori belajar yang dibangun oleh Guthrie. Untuk penerapan teori ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Guthrie memberikan beberapa saran bagi guru :
1.     Guru harus dapat mengarahkan performa siswa akan menjadi apa ketika mempelajari sesuatu. Dengan kata lain, apakah stimulus yang ada dalam buku atau pelajaran yang menyebabkan siswa melakukan belajar.
2.     Oleh karena itu, jika siswa mencatat atau membaca buku secara sederhana mereka dapat mengingat lebih banyak informasi. Maka dalam hal ini buku akan menjadi stimulus yang dapat digunakan sebagai perangsang untuk menghafal pelajaran.
3.     Dalam mengelola kelas, guru dianjurkan untuk tidak memberikan perintah yang secara langsung akan menyebabkan siswa menjadi tidak taat terhadap peraturan kelas. Misalnya permintaan guru agar siswa tenang jika diikuti oleh kegaduhan dalam kelas akan menjadi tanda (memunculkan stimulus) bagi munculnya perilaku distruptif.

Monday 16 April 2018

Teori Belajar Gagne

A.     Teori Belajar Menurut Robert M. Gagne


Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya ia banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk mengujipenerapan teorinya (Depdiknas, 2005:13).
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang paling besar pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Lingkungan indiviu seseorang meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai lingkungan sosial. Berbagai lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh seseorang dan selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa ia nantinya.
Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu bersifat kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan mengakibatkan perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan, perubahan sikap, perubahan minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat menetap meskipun hanya sementara.
Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru.

B.      Objek Belajar Matematika

Menurut Gagne belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, ketekunan, ketelitian, disiplin diri, bersikap positif terhadap matematika. Sedangkan objek tak langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip.

1.    Fakta
Fakta adalah konvensi (kesepakatan) dalam matematika seperti simbol-simbol matematika. Fakta bahwa 2 adalah simbol untuk kata ”dua”, simbol untuk operasi penjumlahan adalah ”+” dan sinus suatu nama yang diberikan untuk suatu fungsi trigonometri. Fakta dipelajari dengan cara menghafal, drill, latiahan, dan permainan.

2.    Ketrampilan
Keterampilan(Skill) adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil tertentu. Contohnya; keterampilan melakukan pembagian bilangan yang cukup besar, menjumlahkan pecahan dan perkalian pecahan desimal. Para siswa dinyatakan telah memperoleh keterampilan jika ia telah dapat menggunakan prosedur atau aturan yang ada dengan cepat dan tepat. Ketrampilan menunjukkan kemampuan memberikan jawaban dengan cepat dan tepat.

3.     Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengelompokkan suatu objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Contohnya ; konsep himpunan, segitiga, kubus, lingkaran, dll. Siswa dikatakan telah mempelajari suatu konsep jika ia telah dapat membedakan contoh dan bukan contoh. Untuk sampai ke tingkat tersebut, siswa harus dapat menunjukkan atribut atau sifat-sifat khusus dari objek yang termasuk contoh dan yang bukan contoh.

4.     Prinsip
Prinsip adalah pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau lebih. Prinsip merupakan yang paling abstrak dari objek matematika yang berupa sifat atau teorema. Contohnya, teorema Pytagoras yaitu kuadrat hipotenusa pada segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat dari dua sisi yang lain. Untuk mengerti teorema Pytagoras harus mengetahui konsep segitiga siku-siku, sudut dan sisi. Seorang siswa dinyatakan telah memahami prinsip jika ia dapat mengingat aturan, rumus, atau teorema yang ada; dapat mengenal dan memahami konsep-konsep yang ada pada prinsip tersebut; serta dapat menggunakannya pada situasi yang tepat.

C.     Sistematika ”Delapan Tipe Belajar”

Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu:

1.     Belajar Isyarat (Signal Learning)
Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya. Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, stimulus-stimulus tertentu secara berulang kali. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional, selainnya timbulnya dengan tak sengaja dan tidak dapat dikuasai.
Beberapa ucapan kasar untuk mempermalukan, siswa yang gelisah pada saat pelajaran matematika mungkin karena kondisi tidak suka matematika pada orang itu. Belajar isyarat sukar dikontrol oleh siswa dan dapat mempunyai pengalaman yang pantas dipertimbangkan pada tindakannya. konsekuensinya, seorang guru matematika, seharusnya mencoba membangkitkan stimulus yang tidak dikondisikan yang akan menimbulkan perasaan senang pada siswa dan berharap mereka akan mengasosiasikan beberapa perasaan senang dengan isyarat netral pada pelajaran matematika. Apabila perlakuan yang disenangi membangkitkan hal-hal positif, stimulus yang tidak diharapkan mungkin gagal menimbulkan asosiasi keinginan positif dengan isyarat netral, kecerobohan menimbulkan stimulus negatif, pada satu waktu akan merusak keinginan siswa untuk mempelajari pelajaran yang diajarkan.

2.     Belajar Stimulus-Respons (Stimulus-Respon Learning)
Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat penguatannya. Kemampuan tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respon dapat diatur dan dikuasai. Respon bersifat spesifik, tidak umum, dan kabur. Respon diperkuat dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respon itu.

3.      Rantai atau Rangkaian hal (Chaining)
Tipe belajar ini masih mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik. Chaining ini terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi, jadi berdasarkan ”contiguity”. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe balajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Kebanyakan aktivitas dalam matematika memerlukan manipulasi dari peralatan fisik seperti mistar, jangka, dan model geometri membutuhkan chaining. Belajar membuat garis bagi suatu sudut dengan menggunakan jangka membutuhkan penerapan keterampilan tipe stimulus respn yang telah dipelajari sebelumnya. Diantaranya kemampuan menggunakan jangka untuk menarik busur dan membuat garis lurus antara dua titik.
Ada dua karakteristik dari belajar stimulus respon dan belajar rangkaian dalam pengajaran Matematika yaitu siswa tidak dapat menyempurnakan rangkaian stimulus respon apabila tidak menguasai salah satu keterampilan dari rangkaian tersebut, dan belajar stimulus respon dan rangkaian diafasilitasi dengan cara memberikan penguatan bagi tingkah laku yang diinginkan. Meskipun memberi hukuman dapat digunakan untuk meningkatkan belajar stimulus respon, tetapi hal tersebut dapat berakibat negatif terhadap emosi, sikap, dan motivasi belajar.

4.    Asosiasi Verbal (Verbal Association)
Asosiasi verbal adalah rangkaian dari stimulus verbal yang merupakan hubungan dari dua atau lebih tindakan stimulus respon verbal yang telah dipelajari sebelumnya. Tipe paling sederhana dari belajar rangkaian verbal adalah asosiasi antara suatu objek dengan namanya yang melibatkan belajar rangkaian stimulus respon dari tampilan objek dengan karakteristiknya dan stimulus respon dari pengamatan terhadap suatu objek dan memberikan tanggapan dengan menyebutkan namanya.
Asosiasi verbal melibatkan proses mental yang sangat kompleks. Asosiasi verbal yang memerlukan penggunaan rangkaian mental intervening yang berupa kode dalam bentuk verbal, auditory atau gambar visual. Kode ini biasanya terdapat dalam pikiran siswa dan bervariasi pada tiap siswa dan mengacu kepada penyimpanan kode-kode mental yang unik. Contoh seseorang mungkin menggunakan kode mental verbal ”y ditentukan oleh x” sebagai petunjuk kata fungsi, orang lain mungkin memberi kode fungsi dengan menggunakan simbol ”y=f(x)” dan orang yang lain lagi mungkin menggunakan visualisasi diagram panah dari dua himpunan.

5.     Belajar Diskriminasi (Discrimination Learning)
Discrimination learning atau belajar menmbedakan sejumlah rangkaian, mengenal objek secara konseptual dan secara fisik. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua peransang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Contohnya: anak dapat membedakan manusia yang satu dengan yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak-anak.
Terdapat dua macam diskriminasi yaitu diskriminasi tunggal dan diskriminasi ganda. Contoh mengenalkan angka 2 pada anak dengan memperlihatkan 50 angka 2 pada kertas dan menggambar angka 2. Melalui stimulus respon sederhana anak belajar mengenal (nama ”dua” untuk konsep dua). Sedangkan untuk diskriminasi ganda anak belajar mengenal angka 0, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan membedakan angka-angka tersebut.

6.     Belajar konsep (Concept Learning)
Belajar konsep adalah mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan mengelompokan objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal ini belajar konsep adalah lawan dari belajar dari diskriminasi. Belajar diskriminasi menuntut siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam karakteristik yang berbeda sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek karena dalam karakteristik umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum.
Dalam belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari prasyarat harus dilibatkan. Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan dengan prasyarat rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan diskriminasi dari karakteristik yang berbeda . Sebagai contoh, tahap pertama belajar konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai suatu membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat mengulangi kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda sebagai lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa mungkin belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti dan lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran. Kemampuan membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang baru merupakan Kemampuan yang membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar lain. Ketika siswa telah mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan waktu lama untuk mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari suatu konsep, sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah dipelajari adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu konsep baru kepada siswa:
a. Memberikan variasi hal-hal yang berbeda konsep untuk menfasilitasi generalisasi.
b. Memberikan contoh-contoh perbedaan dikaitkan dengan konsep untuk membantu diskriminasi.
c. Memberikan yang bukan contoh dari konsep untuk meningkatkan pemahaman diskriminasi dan generalisasi.
d. Menghindari pemberian konsep yang mempunyai karakteristik umum.

7.      Belajar Aturan (Rule Learning)
Belajar aturan (Rule learning) adalah kemampuan untuk merespon sejumlah situasi (stimulus) dengan beberapa tindakan (Respon). Kebanyakan belajar matematika adalah belajar aturan. sebagai contoh, kita ketahui bahwa 5 x 6 = 6 x 5 dan bahwa 2 x 8 = 8 x 2; akan tetapi tanpa mengetahui bahwa aturannya dapat dinyatakan dengan a x b = b x a. Kebanyakan orang pertama belajar dan menggunakan aturan bahwa perkalian komutatif adalah tanpa dapat menyatakan itu, dan biasanya tidak menyadari bahwa mereka tahu dan menerapkan aturan tersebut. Untuk membahas aturan ini, harus diberikan verbal(dengan kata-kata) atau rumus seperti “ urutan dalam perkalian tidak memberikan jawaban yang berbeda” atau “untuk setiap bilangan a dan b, a x b = b x a.
Aturan terdiri dari sekumpulan konsep. Aturan mungkin mempunyai tipe berbeda dan tingkat kesulitan yang berbeda. Beberapa aturan adalah definisi dan mungkin dianggap sebagai konsep terdefinisi.
konsep terdefinisi n! = n (n – 1) (n -2). . . (2)(1) adalah aturan yang menjelaskan bagaimana mengerjakan n! Aturan-aturan lain adalah rangkaian antar kosep yang terhubung, seperti aturan bahwa keberadaan sejumlah operasi aritmetika seharusnya dikerjakan dengan urutan x, :, +, – . Jika siswa sedang belajar aturan mereka harus mempelajari sebelumnya rangkaian konsep yang menyusun aturan tersebut. Kondisi-kondisi belajar aturan mulai dengan merinci perilaku yang diinginkan pada siswa. seorang siswa telah belajar aturan apabila dapat menerapkan aturan itu dengan tepat pada beberapa situasi yang berbeda.
Robert Gagne memberikan 5 tahap dalam mengajarkan aturan:
Tahap 1 : menginformasikan pada siswa tentang bentuk perilaku yang diharapkan ketika belajar
Tahap 2 : bertanya ke siswa dengan cara yang memerlukan pemanggilan kembali konsep yang telah dipelajari sebelumnya yang menyusun konsep
Tahap 3 : menggunakan pernyataan verbal (petunjuk) yang akan mengarahkan siswa menyatakan aturan sebagai rangkaian konsep dalam urutan yang tepat.
Tahap 4 : dengan bantuan pertanyaan, meminta siswa untuk “mendemonstrasikan” satu contoh nyata dari aturan
Tahap 5 : (bersifat pilihan, tetapi berguna untuk pengajaran selanjutnya) dengan pertanyaan yang cocok, meminta siswa untuk membuat pernyataan verbal dari aturan.

8.     Pemecahan Masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan aturan-aturan yang disertai proses analisis dan penarikan kesimpulan. Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap ransangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik. Tipe belajar ini memerlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar ini kemampuan penalaran siswa dapat berkembang. Dengan demikian poses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung apabila proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai.
Kriteria suatu pemecahan masalah adalah siswa belum pernah sebelumnya menyelesaikan masalah khusus tersebut,walaupun mungkin telah dipecahkan sebelumnya oleh banyak orang. sebagai contoh pemecahan masalah, siswa yang belum pernah sebelumnya belajar rumus kuadrat, menurunkan rumusnya untuk menentukan penyelesaian umum persamaan ax2 + bx + c = 0. Siswa akan memilih keterampilan melengkapkan kuadrat tiga suku dan menerapkan keterampilan dalam cara yang tepat untuk menurunkan rumus kuadrat, dengan melaksanakan petunjuk dari guru.
Pemecahan masalah biasanya melibatkan lima tahap :
a.   Menyatakan masalah dalam bentuk umum,
b.   Menyatakan kembali masalah dalam suatu defenisi operasional,
c.   Merumuskan hipotesis alternatif dan prosedur yang mungkin tepat untuk memecahkan masalah,
d.   Menguji hipotesis dan melaksanakan prosedur untuk memperoleh solusi dan
e.   Menentukan solusi yang tepat.

D.     Fase-Fase Belajar

Fase-fase belajar ini berlaku bagi semua tipe belajar. Menurut Gagne, ada 4 buah fase dalam proses belajar, yaitu:

1.      Fase penerimaan (apprehending phase)
Pada fase ini, rangsang diterima oleh seseorang yang belajar. Ini ada beberapa langkah. Pertama timbulnya perhatian, kemudian penerimaan, dan terakhir adalah pencatatan (dicatat dalam jiwa tentang apa yang sudah diterimanya).

2.      Fase penguasaan (Acquisition phase)
Pada tahap ini akan dapat dilihat apakah seseorang telah belajar atau belum. Orang yang telah belajar akan dapat dibuktikannya dengan memperlihatkan adanya perubahan pada kemampuan atau sikapnya.

3.      Fase pengendapan (Storage phase)
Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar tidak cepat hilang sehingga dapat digunakan bila diperlukan. Fase ini berhubungan dengan ingatan dan kenangan.

4.      Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Apa yang telah dipelajari, dimiliki, dan disimpan (dsalam ingatan) dengan maksud untuk digunakan (memecahkan masalah) bila diperlukan. Jika kita akan menggunakan apa yang disimpan, maka kita harus mengeluarkannya dari tempat penyimpanan tersebut, dan inilah yang disebut dengan pengungkapan kembali. Fase ini meliputi penyadaran akan apa yang telah dipelajari dan dimiliki, serta mengungkapkannya dengan kata-kata (verbal) apa yang telah dimiliki tidak berubah-ubah.
Menurut Gagne, fase pertama dan kedua merupakan stimulus, dimana terjadinya proses belajar,sedangkan  pada fase ketiga dan keempat merupakan hasil belajar.

E.     Hasil-Hasil Belajar

Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :

1. Informasi Verbal.
Informasi verbal adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.

2. Keterampilan intelektual.
Keterampilan intelektual merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya. Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinngi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperoleh aturan-aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konket ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.

3. Strategi kognitif.
Strategi kognitif merupakan suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Beberapa strategi kogniti adalah strategi menghafal, strategi menghafal, strategi elaborasi, strategi pengaturan, strategi metakognitif, dan strategi afektif.

4. Sikap-sikap.
Merupakan pembawaan yang dapt dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadiaan atau makhluk hidup lannya. sekelompok siswa yang penting ialah sikap-sikap terhjadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu menjadi hal yang penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.

5. Keterampilan-keterampilan motorik.
Ketarampilan motorik merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggambungan kaegiatan motorik dengan intelektual seabagai hasil belajar seperti membaca, menulis, dan sebagai berikut.

F.      Kejadian-kejadian Instruksi

Mengajar dapat kita pandang sebagai usaha mengontrol kondosi eksternal. Kondisi eksternal merupakan satu bagian dari proses belaajar, namun termasuk tugas guru dalam mengajar. Menurut Gagne mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang dikenal dengan ”Nine Instruction events” yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1.   Memelihara perhatian (Gain attention).
Dengan stimulus eksternal kita berusaha membangkitkan perhatian siswa untuk belajar.

2.   Menjelaskan tujuan pembelajaran (Inform Lerners of Objectives).
Menjelaskan kepada siswa tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.

3.   Merangsang ingatan siswa (Stimulate recall of prior learning).
Meransang ingatan siswa untuk mengingat kembaali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.

4.   Menyajikan stimulus (Present the content).
Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga siswa menjadi lebih siap menerima pelajaran

5.   Memberikan bimbingan (Provide “learning guidance”). Memberikan bimbingan kepada siswa dalam proses belajar

6.   Memantapkan apa yang telah dipelajari (Elicit performance/practice).
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.

7.   Memberikan umpan balik (Provide feedback).
Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada siswa apakah hasil belajarnya benar atau tidak.

8.   Menilai hasil belajar(Assess performance).
Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan soal.

9.   Mengusahakan transfer (Enhance retention and transfer to the job).
Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasikan apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi yang lain.

Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan pengajaran yang mengacu pada sembilan kejadian-kejadian belajar, mengajarkan segitiga sama sisi.
1.   Menujukkan di komputer bentuk bangun datar segitiga yang bervariasi.
2.   Memgajukan pertanyaan : Apa yang dimaksud dengan segitiga sama sisi?
3.   Meninjau kembali definisi segitiga
4.   Memberikan deenisi segitiga sama sisi
5.   Memberikan contoh segitiga sama sisi
6.   Meminta siswa untuk membuat 5 contoh yang berbeda
7.   Memeriksa semua contoh
8.   Memberikan nilai dan pengulangan
9.   Menujukkan gambar suatu benda dan meminta siswa untuk mengidentifikasi segitiga sama sisi.

Demikian yang dapat aku paparkan mengenai Teori Belajar Gagne. Materi ini aku rangkum dari beberapa sumber.
Terimah Kasih…

Tuesday 3 April 2018

Teori Belajar Jean Piaget

A.   Sekilas tentang Jean Piaget

Jean Piaget adalah seorang tokoh pendidikan yang dilahirkan di Neuchâtel, Swiss, pada tanggal 9 Agustus 1896. Ayahnya bernama Arthur Piaget sedangkan ibunya bernama Rebecca Jackson. Ayahnya adalah seorang profesor sastra sedangkan ibunya orangnya cerdas dan energik. Jean Piaget terkenal dengan teorinya tentang perkembangan psikologis manusia. Selama penelitian Piaget semakin yakin akan adanya perbedaan antara proses pemikiran anak dan orang dewasa. Ia yakin bahwa anak bukan merupakan suatu tiruan dari orang dewasa. Anak bukan hanya berpikir kurang efisien dari orang dewasa, melainkan berpikir secara berbeda dengan orang dewasa. Itulah sebabnya mengapa Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif yang berbeda dari anak sampai menjadi dewasa.


B.   Tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetika, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu perkembangan system syaraf. Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya akan semakin meningkat. Jean Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.

Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif.

Proses belajar haruslah di sesuaikan dengan perkembagan syaraf seorang anak, dengan bertambahnya umur maka susunan saraf seorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Karena itu proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Perjenjangan ini bersifat hierarki, yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu yang diluar kemampuan kognitifnya.  Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu :

1.   Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
2.   Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
3.   Fungsi, Adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Menurut Pieget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi dan equilibrasi.
1.   Asimilasi, adalah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
2.   Akomodasi, adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
3.   Equilibrasi, adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget dibagi menjadi 4 tahap antara lain:

1.   Tahap sensorimotor (umur 0 – 2 tahun)

Pada tahap sensorimotor, anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik yaitu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan. Karakteristik tahap ini merupakan gerakan-gerakan akibat suatu reaksi langsung dari rangsangan. Anak mengatur alamnya dengan indera(sensori) dan tindakan-tindakannya(motor), anak belum mempunyai kesadaran-kesadaran adanya konsepsi yang tetap.
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya.

Contohnya: Diatas ranjang seorang bayi diletakkan mainan yang akan berbunyi bila talinya dipegang. Suatu saat, ia main-main dan menarik tali itu. Ia mendengar bunyi yang bagus dan ia senang. Maka ia akan mencoba menarik-narik tali itu agar muncul bunyi menarik yang sama.


2.   Tahap persiapan operasional (2 – 7 tahun)

Tahap persiapan operasional adalah suatu proses berpikir logis, dan merupakan aktifitas mental bukan aktifitas sensorimotor. Pada tahap ini anak belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental. Unsur yang menonjol dalam tahap ini adalah mulai digunakannya bahasa simbolis, yang berupa gambaran dan bahasa ucapan. Dengan menggunakan bahasa, inteligensi anak semakin maju dan memacu perkembangan pemikiran anak karena ia sudah dapat menggambarkan sesuatu dengan bentuk yang lain. Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata.

Contohnya: anak bermain pasar-pasaran dengan uang dari daun. Kemudian dalam penggunaan bahasa, anak menirukan apa saja yang baru ia dengar. Ia menirukan orang lain tanpa sadar. Hal ini dibuat untuk kesenangannya sendiri. Tampaknya ada unsur latihan disini, yaitu suatu pengulangan untuk semakin memperlancar kemampuan berbicara meskipun tanpa disadari.


3.  Tahap operasi konkret (7 – 11 tahun)

Tahap operasi konkret dinyatakan dengan perkembangan system pemikiran yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang langsung dialami. Anak masih menerapkan logika berpikir pada barang-barang yang konkret, belum bersifat abstrak maupun hipotesis. Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun massa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).

Misalnya suatu gelas diisi air. Selanjutnya dimasukkan uang logam sehingga permukaan air naik. Anak pada tahap operasi konkreat dapat mengetahui bahwa volume air tetap sama.

4.   Tahap operasi formal (11 tahun keatas)

Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Pada tahap ini anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.

Dalam perkembngan formal operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja, yakni usia 11-15 tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran. Dalam perkembangan kognitif akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni:
a.   kapasitas menggunakan hipotesis
b.   kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak

Dalam dua macam kemampuan kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualiatas skema kognitif itu tentu telah dimiliki oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa. Dalam perkembangan intelektual, ada tiga aspek yang diteliti oleh Piaget, yaitu struktur (merupakan organisasi mental tingkat tinggi), isi (pola perilaku yang khas tercermin pada respon), fungsi (untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual). Lima faktor yang mempengaruhi transisi tingkat perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan, pengalaman, fisik, pengalaman logika matematis, transmisi sosial, proses keseimbangan. Berikut adalah Tingkat perkembangan intelektual.

Menurut Piaget paling sedikit ada empat faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak, yaitu:

1.      Perkembangan organik dan kematangan system saraf.

Unsur biologis cukup jelas mempunyai pengaruh dalam perkembangan inteligensi seseorang. Kematangan fisik seseorang juga mempunyai pengaruh pada perkembangan inteligensinya. Misalnya: Pada saat anak belum dapat berjalan, sehingga anak tersebut akan sulit dan terbatas dalam berkontak dengan alamsekitar. Sehingga pemikirannya dan skema yang ia miliki belum banyak berkembang.

2.      Peran latihan dan pengalaman

Latihan berpikir, merumuskan masalah dan memecahkannya, serta mengambil kesimpulan akan membantu seseorang untuk mengembangkan pemikiran atau inteligensinya. Seorang anak yang sudah mulai dapat berpikir deduktif dan abstrak perlu mengembangkan diri dengan pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pemikirannya. Piaget membedakan dua macam pengalaman, yaitu:
a.       Pengalaman fisis, terdiri dari tindakan atau aksi seseorang terhadap objek yang dihadapi untuk mengabstraksi sifat – sifatnya.contohnya: pengalaman melihat dan mengamati anjing akan membantu mengabstraksi sifat – sifat anjing yang pada tahap selanjutnya membantu pemikiran orang itu tentang anjing.
b.      Pengalaman matematis-logis, terdiri dari tindakan terhadap objek untuk mempelajari akibat tindakan – tindakan terhadap objek itu. Contohnya: pengalaman menjumlahkan atau mengurangkan benda akan membantu pemikiran anak akan operasi benda itu.

3.      Interaksi sosial dan transmisi.

Dengan interaksi ini, seorang anak dapat membandingkan pemikiran dan pengetahuan yang telah dibentuknya dengan pemikiran dan pengetahuan orang lain. Ia tertantang untuk semakin memperkembangkan pemikiran dan pengetahuannya sendiri. Dalam interaksi sosial dan transmisi, pengetahuan itu datang dari orang lain baik itu dari orangtuanya maupun masyarakat sekitarnya. Namun, menurut Piaget meskipun interaksi sosial itu sangat penting dalam pengembangan pemikiran seseorang, tindakan interaksi sosial itu tidaklah efektif bila tidak ada tindakan aktif dari anak sendiri. Pemikiran dan pengetahuan anak kurang berkembang pesat apabila anak itu sendiri tidak secara aktif mengolah, mencerna, dan mengambil makna.

4.      Ekuilibrasi (kesetimbangan).

Ekuilibrasi adalah kemampuan untuk mencapai kembali kesetimbangan selama periode ketidaksetimbangan melalui asimilasi dan akomodasi. . Ekuilibrasi ini sering juga disebut dengan motivasi dasar seseorang yang memungkinnya selalu berusaha memperkembangkan pemikiran dan pengetahuannya.
Menurut Piaget (Hudojo, 1979:82), struktur kognitif terbentuk karena proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah menyaring atau mendapatkan pengalaman – pengalaman baru ke dalam skema.
Misalnya seorang anak mempunyai konsap mengenai “lembu”. Dalam pemikiran anak itu, ada skema “lembu”. Mungkin skema anak itu menyatakan bahwa lembu itu binatang yang berkaki empat. Berwarna putih dan makan rumput.
Dimana pengertian Skema yaitu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan lingkungannya.
Misalnya Skema yang terjadi pada anak tersebut pertama kali melihat lembu tetangganya yang memang berwarna putih, berkaki empat, dan makan rumput. Suatu saat, anak itu bertemu dengan dengan bermacam-macam lembu yang lain, yang warnanya lain, dan tidak sedang makan rumput, tetapi sedang menarik gerobak. Berhadapan dengan pengalaman yang lain tersebut, anak memperkembangkan skema awalnya. Skemanya menjadi: lembu itu binatang berkaki empat, ada berwarna putih atau kelabu, makanannya rumput dan dapat menarik gerobak. Jelas bahwa skema lembu anak itu menjadi bertambah lengkap. Skema awalnya tidak hanya tetap dipakai, tetapi juga dikembangakan dan dilengkapi.
Akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali pengalaman –pengalaman baru dengan jalan mengadakan modifikasi skema yang ada atau bahkan membentuk pengalaman yang benar – benar baru.
Contohnya: seorang siswa telah memahami bahwa himpunan bilangan itu tetap saja sama, walaupun urutannya diubah. Kemudian siswa tersebut mengalami pengalaman baru tentang adanya bilangan kardinal dan ordinal, bulat dan pecahan. Walaupun ada tambah pengetahuan baru, struktur kognitifnya tetap yang ada tetap saja ada dan tidak berubah, artinya bahwa sifat bilangan itu tetap sama walaupun pengaturannya diubah.

C.  Penerapan Teori Belajar Piaget Dalam Pengajaran Matematika

Penerapan dari empat tahap perkembangan intelektual anak yang dikemukakan oleh Piaget, adalah sebagai berikut:

1.      Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)

Untuk mengembangkan kemampuan matematika anak di tahap ini, kemampuan anak mungkin ditingkatkan jika dia cukup diperbolehkan untuk bertindak terhadap lingkungan. Anak – anak pada tahap sensorimotor memiliki beberapa pemahaman tentang konsep angka dan menghitung. Misalnya: Orang tua dapat membantu anak- anak mereka menghitung dengan jari, mainan dan permen. Sehingga anak dapat menghitung benda yang dia miliki dan mengingat apabila ada benda yang  ia punya hilang.

2.      Tahap persiapan operasional ( 2 -7 tahun)

Piaget membagi perkembangan kognitif tahap persiapan operasional dalam dua bagian:
a.       Umur 2 – 4 tahun
Pada umur 2 tahun, seorang anak mulai dapat menggunakan symbol atau tanda untuk mempresentasikan suatu benda yang tidak tampak dihadapannya. Penggunaan symbol itu tampak dalam 4 gejala berikut:
1)      Imitasi tidak langsung
Menurut Wadsworth (dalam Paul Suparno, 2001:51), Anak mulai dapat menggambarkan suatu hal yang sebelumnya dapat dilihat, yang sekarang sudah tidak ada. Dengan kata lain, ia mulai dapat membuat imitasi yang tidak langsung dari bendanya sendiri.
Contohnya:  Bola sesungguhnya dalam bentuk bola plastik.
2)      Permainan simbolis
Dalam permainan simbolis, seringkali terlihat bahwa seorang anak berbicara sendirian dengan mainannya. Misalnya: Jika si anak merasa senang dengan bola, maka ia akan bermain bola – bolaan. Menurut Piaget, permainan tersebut merupakan ungkapan diri anak dalam menghadapi masalah, suasana hati, ketakutan dan lain – lain
3)      Menggambar
Menggambar pada tahap pra operasional merupakan jembatan antara permainan simbolis dengan gambaran mental. Unsur permainan simbolisnya terletak pada segi “kesenangan” pada diri anak yang sedang menggambar. Unsur gambaran mentalnya terletak pada usaha anak untuk mulai meniru sesuatu yang real.
4)      Gambaran mental
Gambaran mental adalah penggambaran secara pikiran suatu objek atau pengalaman yang lampau. Pada tahap ini, anak masih mempunyai kesalahan yang sistematis dalam menggambarkan kembali gerakan atau transformasi yang ia amati.

b.      Umur 4 – 7 tahun (pemikiran intuitif)
Pada umur 4 – 7 tahun, pemikiran anak semakin berkembang pesat. Tetapi perkembangan itu belum penuh karena anak masih mengalami operasi yang tidak lengkap dengan suatu bentuk pemikiran atau penalaran yang tidak logis. Contoh: Terdapat 20 kelereng, 16 berwarna merah dan 4 putih diperlihatkan kepada seorang anak dengan pertanyaan berikut: “Manakah yang lebih banyak kelereng merah ataukah kelereng-kelereng itu?”
A usia 5 tahun menjawab: “lebih banyak kelereng merah.”
B usia 7 tahun menjawab: “Kelereng kelereng lebih banyak daripada kelereng yang berwarna merah.” Tampak bahwa A tidak mengerti pertanyaan yang diajukan, sedangkan B mampu menghimpun kelereng merah dan putih menjadi suatu himpunan kelereng atau dapat disimpulkan bahwa anak masih sulit untuk menggabungkan pemikiran keseluruhan dengan pemikiran bagiannya. Contoh lain, seorang anak dihadapkan dengan pertanyaan: “Manakah yang lebih berat 1 Kg kapas atau 1 Kg besi?”. Anak tersebut pasti menjawab 1 Kg besi tanpa berpikir terlebih dahulu.
3.      Tahap operasi konkret (7 – 11 tahun)
Tahap operasi konkret dicirikan dengan perkembangan system pemikiran yang didasarkan pada aturan – aturan tertentu yang logis. Tahap operasi konkret ditandai dengan adanya system operasi berdasarkan apa- apa yang kelihatan nyata/konkret. Anak masih mempunyai kesulitan untuk menyelesaikan persoalan yang mempunyai banyak variabel. ya. Misalnya, bila suatu benda A dikembangkan dengan cara tertentu menjadi benda B, dapat juga dibuat bahwa benda B dengan cara tertentu kembali menjadi benda A. Dalam matematika, diterapkan dalam operasi penjumlahan (+), pengurangan (-), urutan (<), dan persamaan (=).
Contohnya, 5 + 3 = 8 dan 8 – 3 = 5
Pada umur 8 tahun, anak sudah memahami konsep penjumlahanyang sterusnya berlanjut pada perkalian. Misalnya guru memberikan soal kepada siswa mengenai perkalian.
Guru: “Berapa 8 × 4, Dony?”
Dony: “ 32 Pak!”
Pada umur 9 tahun, penalaran anak masih cenderung tidak dapat menghubungkan suatu rangkaian atau gagasan yang terpisah dalam suatu keseluruhan yang masih kurang jelas.
Contohnya dalam menyelesaikan persoalan berikut:
Rambut Tina (T) kurang gelap daripada rambut Sinta (S).
Rambut Tina (Ts) lebih gelap daripada rambut Lily (L).
Rambut siapa yang lebih gelap?
4.      Tahap operasi formal (11 tahun keatas)
Pada tahap ini, anak sudah mampu berpikir abstrak bila dihadapkan kepada suatu masalah dan ia dapat mengisolasi untuk sampai kepada penyelesaian masalah tersebut. Pikirannya sudah dapat melampaui waktu dan tempat tidak hanya terikat pada hal yang sudah dialami.
Contoh: Seorang anak mengamati topi ayahnya yang berbentuk kerucut. Ia ingin mengetahui volum dari topi ayahnya tersebut. Lalu ia mengukur topi tersebut dan memperoleh tinggi kerucut 30 cm dengan jari – jari 21 cm.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka guru sudah terlebih dahulu memberikan konsep kepada siswa mengenai bangun ruang(volum limas).
Volum limas = (luas alas)(tinggi limas)
                     = × Ð» × r­² × t²
                     = × 3,14 × 7² cm² × 3 cm
                     = 154 cm³